Ekowisata Gunung Karang, Harmoni Wisata Alam dan Kuliner Lokal

pine trees field near mountain under sunset

Penulis: Fitria Nurhayati
22 Mei 2023

Hamparan sawah di kanan kiri jalan menuju Gunung Karang. (Fitria Nurhayati/Katadata)

Matahari bersinar cerah. Udara pagi di Majalengka terasa segar. Hari itu, Rabu (25/1)  sekitar pukul 07.30 WIB pagi, matahari sudah tinggi. Tim Katadata bersiap berangkat menuju ekowisata Gunung Karang yang berlokasi di Pancurendang Landeuh, Kelurahan Babakan Jawa, Majalengka.

Tim Katadata berangkat mengendarai mobil. Jarak antara pusat kota dengan lokasi wisata 7,3 km dan cukup ditempuh 20 menit saja. Jarak ini menjadikan Gunung Karang sebagai ekowisata dataran tinggi yang dekat dengan pusat kota. 

Jalanan mulai berkelok. Rumah-rumah warga mulai jarang terlihat, berganti menjadi sawah, ladang jagung, perkebunan mangga, serta aliran sungai. Saat mulai melihat pohon-pohon pinus, itu tandanya Gunung Karang semakin dekat.

Hamparan sawah di kanan kiri jalan menuju Gunung Karang. (Fitria Nurhayati/Katadata)

Hamparan sawah di kanan kiri jalan menuju Gunung Karang. (Fitria Nurhayati/Katadata)

Seorang pengelola parkir, Kang Sena panggilannya, menghampiri Tim Katadata. “Wilujeng sumping teteh, selamat datang di Gunung Karang,” ucapnya ramah. 

Pengelola Gunung Karang memasang tarif parkir Rp 10 ribu untuk mobil, Rp 3 ribu untuk sepeda motor, dan Rp 10 ribu untuk tiket masuk per orang.

Selain Kang Sena, juga ada Ketua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Gunung Karang Tayum Gunawan, Didin Wahyudin (Kang Didin) dan Adi Hardian (Kang Adi). Ketiganya akan memandu Tim Katadata menjelajahi Gunung Karang. 

Setelah bertukar sapa, Tim Katadata berjalan menuju puncak Gunung Karang. Untuk memudahkan pengunjung, pengelola menyusun bebatuan sebagai pijakan. “Kita jalan santai saja teh. 10-15 menit sudah bisa sampai puncak,” ucap Apih Tayum sapaan akrab Tayum Gunawan.

Tim Katadata dan pengunjung lainnya didampingi pengelola berjalan menuju puncak Gunung Karang. (Fitria Nurhayati/Katadata)

Tim Katadata dan pengunjung lainnya didampingi pengelola berjalan menuju puncak Gunung Karang. (Fitria Nurhayati/Katadata)

Selama perjalanan menuju puncak, terlihat bebatuan dalam berbagai ukuran. Paling besar, lebarnya mencapai lebih dari dua meter. Bentuknya pun beragam. “Ini semua batu alam. Dari awal sudah demikian adanya, kami tinggal mengelola,” jelas Apih Tayum. 

Sembari berjalan, Apih Tayum menceritakan awal mula dibukanya ekowisata Gunung Karang. Katanya, dulu Gunung Karang ini merupakan hutan belantara. Baru pada tahun 2018 ada diskusi antara pemerintah daerah dengan warga mengenai potensi wisata Gunung Karang ini. 

Tumpukan bebatuan di puncak Gunung Karang. (Fitria Nurhayati/Katadata)

Tumpukan bebatuan di puncak Gunung Karang. (Fitria Nurhayati/Katadata)

Setelah bermusyawarah, warga gotong royong membuka Gunung Karang. Sebagian warga bertugas membersihkan semak belukar dan membenahi akses jalan. Sebagian lainnya, bertugas keluar masuk gua, mencari jalur aman untuk bisa dijelajahi wisatawan. 

Warga membenahi Gunung Karang selama tiga bulan. “Awal 2018, Gunung Karang akhirnya dibuka dan siap menyambut wisatawan,” ucap Apih Tayum.

Keindahan Alam dan Aktivitas Menyusuri Gua

Tak terasa, sembari berbincang, Tim Katadata sudah menginjakkan kaki di puncak. Udara lebih terasa segar di sini. Sejauh mata memandang, tampak keindahan hamparan hijau perbukitan berpadu dengan aliran sungai.

Di puncak, pengelola menyediakan tiga area foto. Di titik depan dari arah Tim Katadata datang, terdapat pemandangan perbukitan dan Sungai Cilutung. Di sebelah kiri perbukitan terdapat area persawahan warga, dan di sebelah kanan perbukitan tampak deretan hutan pinus. 

Posisi puncak Gunung Karang yang strategis juga bisa dimanfaatkan pengunjung untuk menikmati sunrise maupun sunset di sini. “Beberapa kali, kami menemani calon pengantin yang hendak foto prewedding di dua waktu tersebut,” ujar Apih Tayum.

Selain Tim Katadata, pagi itu juga ada dua pengunjung lainnya. Mereka merupakan sepasang suami istri dari Indramayu yang sedang berlibur. 

“Kami tahu tempat ini dari teman. Ternyata bagus pemandangannya. Gak nyesel sudah jalan jauh dari Indramayu,” ucap Wiwin.  

Di puncak, tumpukan bebatuan besar tampak lebih banyak. Pengunjung bisa menikmati keindahan alam sambil bercengkrama di situ. Jika merasa cukup lelah setelah melakukan soft tracking, pengunjung bisa berbaring dengan nyaman di bebatuan besar tersebut.

Pengunjung duduk di batu besar sambil berbincang dan menikmati keindahan alam. (Fitria Nurhayati/Katadata)

Pengunjung duduk di batu besar sambil berbincang dan menikmati keindahan alam. (Fitria Nurhayati/Katadata)

Selain pemandangan indah dari puncak bukit, Gunung Karang juga menawarkan aktivitas susur gua. Untuk pengunjung yang ingin memacu adrenalin, aktivitas ini patut dicoba. 

“Pengunjung yang ingin melakukan susur gua harus didampingi pengelola. Sebab jalurnya cukup ekstrem dan bercabang,” kata Kang Didin sambil mempersiapkan senter. 

Untuk keamanan, Tim Katadata membentuk formasi. Kang Adi memandu di depan, Tim Katadata berada di tengah, kemudian Apih Tayum dan Kang Didin bertugas menjaga di belakang.

Tim Katadata memasuki gua dengan merangkak. (Fitria Nurhayati/Katadata)

Tim Katadata memasuki gua dengan merangkak. (Fitria Nurhayati/Katadata)

Sepanjang susur gua, selain gua yang gelap, Tim Katadata juga melewati pintu gua yang hanya bisa dilalui satu orang. Kemudian di titik tertentu harus merangkak, sampai naik bebatuan lewat celah yang sempit. 

Untuk beberapa orang, jalur susur gua tersebut cukup menyulitkan. Namun, para pemandu bersiaga membantu para pengunjung. 

Ketika pintu keluar gua terlihat,  Tim Katadata pun keluar satu persatu. Tim Katadata pun beristirahat sejenak di hamparan bebatuan. Kembali menikmati sepoi-sepoi angin sambil berbincang, sebelum kembali melangkahkan kaki menuruni Gunung Karang. 

Liwetan dan Rujakan, Sajian Kuliner dengan Cita Rasa Lokal 

Setelah menikmati pemandangan dan susur gua di atas sana, Tim Katadata berjalan menuju warung di dekat lokasi parkir. Nasi liwet beserta lauk pauk sudah dihidangkan. Sebelum ke atas, Tim Katadata memang memesan makanan khas sunda ini kepada pengelola. 

Tersaji nasi liwet di dalam panci kastrol, tahu dan tempe goreng, ikan asin, ikan baung, sambal, kerupuk, dan tentu saja aneka lalapan. Saat tutup panci kastrol dibuka, wangi perpaduan santan, daun salam, dan bawang merebak ke udara. Aromanya sungguh menggoda.

Sepaket nasi liwet yang bisa dipesan ke pengelola ekowisata. (Fitria Nurhayati/Katadata)

Sepaket nasi liwet yang bisa dipesan ke pengelola ekowisata. (Fitria Nurhayati/Katadata)

Selain liwetan, pengunjung juga bisa memesan rujak dengan aneka buah lokal. Seperti mangga, jambu kristal, dan jambu air. Rujak ini disediakan dengan dua pilihan sambal, dengan atau tanpa kacang. 

“Soalnya kan selera orang beda-beda ya teh. Ada yang suka pake kacang, ada yang enggak. Jadi kami sediakan pilihan,” ujar Bu Nur, penjaga warung. 

Makanan tandas. Perut kenyang. Turun hujan. Akhirnya Tim Katadata memutuskan untuk berteduh di warung sambil berbincang dengan pengelola ekowisata. 

Apih Tayum mengatakan, Ekowisata Gunung Karang ini berada di dalam kawasan Perhutanan Sosial dengan skema Kulin KK atau pengakuan perlindungan kerja sama kehutanan. Luasnya mencapai 29 hektare. 

Berjalan sejak 2018, pengelola ingin terus mengembangkan aktivitas yang bisa dilakukan pengunjung di Gunung Karang. Rencananya, pengelola akan mengembangkan aktivitas yang bisa menarik lebih banyak pengunjung dari berbagai usia, dari anak-anak sampai orang tua. 

“Karena lokasi wisata ini berada di dalam kawasan Perhutanan Sosial, kami akan mengembangkan wisata yang bisa menambah ekonomi warga dengan tetap menjaga kelestarian hutan,” kata Tayum.

TIM PRODUKSI

SUPPORTED BY