Aturan Mendag soal HET Tak Efektif, Beras Masih Dongkrak Inflasi

Michael Reily
6 Desember 2017, 08:23
Petani Menanam Padi
ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho
Dua orang buruh tani menanam padi di Delanggu, Klaten, Jawa Tengah, Jumat (3/3). Bedasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai tukar petani nasional pada Februari 2017 mengalami penurunan dibanding Januari 2017, yaitu 100,91 menjadi 100,33. Penurunan

Harga Eceran Tertinggi (HET) beras terbukti tidak efektif. Memasuki musim penghujan, harga gabah naik sejak di tingkat petani, hingga harga beras di pasaran pun terkatrol. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, harga beras menjadi penyumbang inflasi pada dua bulan terakhir.

(Baca juga: Kenaikan Harga Cabai, Beras, Rokok Sebabkan Oktober Inflasi 0,01%)

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menyatakan, ancaman sanksi dari Satuan Petugas (Satgas) Pangan tidak akan membatasi pedagang beras menjual di atas HET. Saat pasokan berkurang dan harga naik dari hulu, pedagang tak akan mau rugi dengan menjual murah.

“Yang berlaku tetap hukum ekonomi, HET kan hanya sekadar aturan,” ujar Dwi dalam sambungan telepon dari Jerman, Senin (5/12) malam.

Dwi justru mengkritik kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang tidak memperhatikan sisi produksi dalam penetapan HET beras. Dengan harga gabah di atas Rp 5 ribu per kilogram seperti saat ini, HET beras medium sebesar Rp 9.450 per kilogram dinilainya tidak realistis.

(Baca juga: Harga Gabah Tinggi, Harga Beras Ikut Naik)

Apalagi, data BPS menyebut bahwa harga rata-rata beras di penggilingan sudah mencapai Rp 9.280 per kilogram. “Dengan kondisi ini, beras sepantasnya memang dijual dengan harga di atas Rp 10 ribu per kilogram dengan perhitungan biaya distribusi,” tuturnya.

HET beras ditetapkan melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57 Tahun 2017. HET beras medium ditetapkan sebesar Rp 9.450 untuk wilayah Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara Barat; Rp 9.950 untuk Sumatera, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan; serta Rp 10.250 untuk Maluku dan Papua.

Dwi juga menuding Kementerian Pertanian (Kementan) tidak memberikan data pasokan beras yang akurat. Menurutnya, jika Badan Ketahanan Pangan Kementan mengklaim terjadi surplus beras hingga 17,4 juta ton pada 2017, harga di pasaran seharusnya lebih rendah.

Kenyataannya, harga di pasaran terus merangkak naik, meski musim hujan belum pula mencapai puncaknya. “Kalau ada surplus sebanyak itu, harga beras hanya sekitar Rp 5 ribu hingga 6 ribu per kilogram, beras premium malah bisa sebesar Rp 6.500,” kata Dwi.

Jika dibiarkan, menurut Dwi, stok beras di pasaran akan terus menipis hingga paceklik usai. Sementara, harga beras nasional bisa bisa terus naik hingga dua kali lipat dari harga di pasar internasional.

Dwi pun meminta Presiden Joko Widodo agar memerintahkan bawahannya untuk lebih berhati-hati mengelola tata niaga beras. Sebab, sebagai bahan pokok, gejolak harga beras dapat berdampak buruk bagi stabilitas politik nasional. “Tahun ‘98 terjadi goncangan harga beras, akhirnya ada pergantian rezim,” ujarnya.

Halaman:
Reporter: Michael Reily
Editor: Pingit Aria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...