Dilema Iuran Tapera, Sudah Ditolak Pengusaha, Buruh pun Minta Revisi

Pingit Aria
4 Juni 2020, 16:17
Suasana sebuah komplek perumahan di Kelurahan Rangkasbitung Timur, Lebak, Banten, Sabtu (16/5/2020).
ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/wsj.
Suasana sebuah komplek perumahan di Kelurahan Rangkasbitung Timur, Lebak, Banten, Sabtu (16/5/2020).

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera. Iuran Tapera akan memotong gaji PNS, TNI, Polri, pekerja BUMN, BUMD, dan pegawai swasta.

Dalam PP Tapera yang ditandatangani pada 20 Mei lalu, disebutkan besaran simpanan peserta pekerja adalah sebesar 3% dari gaji atau upah. Namun, tidak semuanya ditanggung oleh pekerja. Sebagian ditanggung oleh pemberi kerja.

"Besaran simpanan peserta untuk peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5% dan pekerja sebesar 2,5%," demikian bunyi pasal 15 dalam aturan tersebut.

(Baca: PP Tapera Terbit, Gaji Pekerja Dipotong 3% Untuk Pembiayaan Rumah)

Sedangkan besaran simpanan peserta mandiri, yakni ditetapkan berdasarkan penghasilan rata-rata setiap bulan dalam satu tahun sebelumnya dengan batas tertentu. Seluruh simpanan peserta mandiri menjadi tanggung jawab pribadi.

Nantinya, semua peserta bisa membayar simpanan kepada rekening dana Tapera di bank kustodian, melalui bank penampung. Pembayaran simpanan juga bisa dilakukan melalui mekanisme pembayaran lainnya yang ditunjuk oleh bank kustodian.

(Baca: Bidik Dana Tapera, BTN Ingin Beli Perusahaan Manajemen Aset Tahun Ini)

Manfaat Tapera disebutkan dalam pasal 37. Isinya, pemanfaatan dana Tapera dilakukan untuk pembiayaan perumahan bagi peserta. Pembiayaannya meliputi pemilikan rumah, pembangunan, atau perbaikan rumah.

Bagaimana tanggapan pengusaha dan buruh atas ketentuan baru ini? Simak penjelasan berikut:

Pengusaha Tolak Iuran Tapera

Kalangan pengusaha menilai kebijakan Jokowi ini dirilis pada saat yang tidak tepat. Sebab, di tengah pandemi corona, banyak pengusaha mengalami kesulitan keuangan.

Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono mendesak pemerintah untuk menunda aturan tersebut agar tak semakin menyulitkan masyarakat dan pengusaha. "Pengeluaran yang mengganggu cash flow ditunda dulu, apalagi untuk kebutuhan tabungan jangka panjang," kata Sutrisno kepada Katadata.co.id, Rabu (3/6).

Ia meminta pemerintah duduk bersama dengan pengusaha dan buruh untuk mencari solusi terbaik mengatasi permasalahan ini. "Coba kita cari solusi dulu bagaimana agar rakyat segera dapat penghasilan, supaya bisa bertahan,” ujarnya.

(Baca: PP Tapera Terbit, Gaji Pekerja Dipotong 3% Untuk Pembiayaan Rumah)

BISNIS PROPERTI DIPROYEKSI MENINGKAT
BISNIS PROPERTI DIPROYEKSI MENINGKAT (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

 

Buruh Minta PP Tapera Direvisi

Tak hanya pengusaha, kalangan buruh pun kontra terhadap kebijakan baru ini. Sejumlah asosiasi buruh meminta regulasi baru ini direvisi. Sebab, pemotongan tersebut dinilai asosiasi buruh akan memberatkan pekerja yang bergaji kecil.

"Potongan buruh itu sudah banyak, BPJS, Pajak. Jadi tetap saja akan memberatkan. Untuk pekerja informal, borongan, harian lepas akan lebih susah juga, karena tidak tentu pendapatannya," Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Jumisih, Rabu (3/6).

Terpisah, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebut pada dasarnya program Tapera ini memang cukup bagus lantaran rumah memang merupakan kebutuhan dasar manusia.

Hanya, KSPI menilai tak ada skema pasti soal penyediaan perumahan dari sisetm Tapera tersebut. Oleh karena itu ia meminta agar pemerintah merevisi PP 25/2020 menjadi lebih teknis mengenai penyediaannya. Sebagaimana diketahui, peraturan ini dibuat sebagai aturan pelaksanaan dari UU No 4 Tahun 2016.

Hanya, dalam pandangan KSPI, skema pengadaan perumahan rakyat adalah rumah sudah disiapkan pemerintah sehingga bisa lebih murah dengan DP 0 rupiah. Tak hanya itu, bunga angsuran juga telah disubsidi negara.

Bahkan tenor yang disediakan juga minimal 30 tahun agar cicilan lebih rendah, dan apabila tidak mampu membayar bisa dilakukan pemindahan atau over credit. "Dengan demikian, program ini adalah berbentuk rumah. Bukan buruh menabung, kemudian disuruh membeli rumah sendiri," kata dia.

Said Iqbal juga meminta agar Iuran Tapera tidak memberatkan pekerja, terutama buruh. Jika dalam PP No 25 Tahun 2020 besaran simpanan yang ditanggung buruh adalah 2,5% dan pengusaha 0,5%, maka pihaknya meminta agar direvisi agar sebaliknya. "Sehingga buruh cukup membayar 0,5% dan pengusaha membayar 2,5%," kata dia.

Reporter: Tri Kurnia Yunianto
News Alert

Dapatkan informasi terkini dan terpercaya seputar ekonomi, bisnis, data, politik, dan lain-lain, langsung lewat email Anda.

Dengan mendaftar, Anda menyetujui Kebijakan Privasi kami. Anda bisa berhenti berlangganan (Unsubscribe) newsletter kapan saja, melalui halaman kontak kami.
Advertisement

Artikel Terkait