Dana Bill Gates di Balik Koalisi Pemerintah-Swasta untuk Riset Vaksin
Nama Bill Gates kerap dihubungkan dengan teori konspirasi seputar virus corona. Lima tahun lalu, ia memang pernah memperingatkan dunia akan bahaya pandemi penyakit menular. Pendiri Microsoft ini memang menaruh perhatian pada isu-isu kesehatan.
Peringatan Bill Gates itu disampaikannya dalam TED Talk pada 2015. Dalam forum itu, Gates mencontohkan wabah ebola yang menewaskan ribuan orang di Afrika. Lalu ia menyoroti rendahnya upaya pencegahan penyebaran penyakit di seluruh dunia dan memperingatkan potensi pandemi global.
Materi itu menjadi awal munculnya teori konspirasi yang menghubungkan Bill Gates dengan virus corona baru. Beberapa menyebut bahwa Gates merupakan dalang dari keberadaan virus corona SARS-Cov-2. Tetapi untuk apa?
Penyebar teori ini percaya bahwa Gates berencana menyisipkan microchip pada vaksin Covid-19 yang dikembangkannya. Microchip ini ditugaskan untuk memantau pergerakan warga yang mendapat vaksin tersebut.
Menurut survei yang dilakukan YouGov, kantor berita Fox News di Amerika Serikat (AS) merupakan media yang percaya dengan teori konspirasi vaksin Covid-19 Bill Gates. Bahkan 44% pendukung Donald Trump pun mempercayai teori konspirasi itu.
Dukung Pengembangan Vaksin
Bill Gates bersama istrinya, ia mendirikan Bill & Melinda Gates Foundation. Melalui Yayasan ini, Gates banyak mendonorkan hartanya untuk kemanusiaan, termasuk pengembangan vaksin.
Bill & Melinda Gates Foundation merupakan salah satu donor terbesar dalam Koalisi Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi atau dalam Bahasa Inggris, Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI).
CEPI diluncurkan pada Agustus 2016 dalam pertemuan World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss. Lembaga ini merupakan kolaborasi pemerintah dan swasta yang bertujuan untuk membendung pandemi dengan mempercepat pengembangan vaksin. CEPI berkantor pusat di Oslo, Norwegia.
Sempat mengantisipasi penyakit-penyakit seperti MERS, SARS hingga TBC, CEPI kini fokus mendorong perusahaan-perusahaan farmasi untuk mengembangkan vaksin Covid-19. Pada Januari 2020, CEPI mendukung tiga proyek pengembangan vaksin Covid-19 oleh Moderna, Universitas Queensland dan Invio.
Moderna merupakan salah satu perusahaan pengembang kandidat vaksin Covid-19 yang paling maju saat ini. “Moderna telah meluncurkan uji coba klinis fase ketiga dalam pengembangan kandidat vaksin Covid-19 pada pekan ini,” demikian dicuitkan melalui akun Twitter @CEPIVaccines, Rabu (29/7).
Organisasi kesehatan dunia (WHO) melaporkan, sudah ada lima kandidat vaksin virus corona Covid-19 yang memasuki uji coba klinis fase ketiga. Tahap ini merupakan proses yang melibatkan ribuan sampel penduduk di beberapa lokasi sebelum diproduksi.
Dari data WHO yang dirilis Senin (27/7), vaksin yang masuk fase tiga terdiri dari ChAdOx1-S milik Oxford dan AstraZeneca, Sinovac, serta Moderna. Dua lainnya dikembangkan Sinopharm bersama Wuhan Institute of Biological Products dan Beijing Institute of Biological Products.
Selain vaksin, beberapa kandidat obat untuk mengatasi Covid-19 juga tengah menjalani uji klinis, berikut datanya:
Bagaimana dengan Indonesia?
Pemerintah telah menjalin berbagai kerjasama dengan beberapa perusahaan dan Lembaga internasional dalam pengembangan vaksin Covid-19. Hal itu dinyatakan oleh Wakil Menteri Badan usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo.
Bersama CEPI misalnya, pemerintah Indonesia telah mengajukan permintaan tech transfer Covid-19 vaccine formulation. Kemudian, Bio Farma telah masuk ke dalam shortlisted potential manufacturer (daftar industri yang berpotensi) yang akan dibiayai oleh CEPI.
"Kami bekerja sama dengan CEPI dan WHO untuk mengakses beberapa produsen vaksin lain untuk melihat potensi penemuan vaksin dari berbagai belahan dunia," lanjut Kartika.
Di samping itu, PT Bio Farma (Persero) menurut Kartika, juga telah mengembangkan vaksin dengan berbagai lembaga seperti Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), Sinovac Biotech dari Tiongkok, dan Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI).
"Uji klinis segera dimulai oleh Prof Kusnandi Rusmil dari Universitas Padjadjaran. Target tercepat selesai uji klinis adalah Desember 2020," ujarnya dalam diskusi virtual yang dilaksanakan oleh INDEF, Selasa (28/7/2020).