Serikat Pekerja Siapkan Judicial Review UU Cipta Kerja

Rizky Alika
7 Oktober 2020, 14:18
Ratusan mahasiswa dan buruh yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bersatu berunjuk rasa menolak pengesahan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja, di Alun-alun Serang, Banten, Selasa (6/10/2020). Mereka mendesak pemerintah dan DPR membatalkan Undang-undang t
ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/hp.
Ratusan mahasiswa dan buruh yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bersatu berunjuk rasa menolak pengesahan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja, di Alun-alun Serang, Banten, Selasa (6/10/2020). Mereka mendesak pemerintah dan DPR membatalkan Undang-undang tersebut serta menyerukan semua lapisan masyarakat untuk menolaknya karena dinilai sangat merugikan buruh. ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/hp.

Serikat pekerja terus melakukan upaya untuk membatalkan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau dikenal sebagai omnibus law. Direktur Eksekutif Trade Union Rights Centre Andriko Otang mengatakan, serikat pekerja akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi setelah UU tersebut diundangkan.

"Serikat pekerja berkomitmen jika UU Cipta Kerja sudah disahkan, kami akan lakukan judicial review bersama-sama. Perjuangan belum selesai," kata Andriko dalam sebuah webinar bertajuk "Omnibus Ciptaker Sah, Apa Kabar Hak Masyarakat?", Selasa (6/10).

Advertisement

Menurutnya, serikat pekerja akan menuntut pemerintah untuk memperbaiki sistem perlindungan tenaga kerja agar sesuai dengan standar perburuhan internasional. Standar tersebut telah disusun bagi tenaga kerja Indonesia untuk mewujudkan pekerjaan yang layak.

Dengan aturan sapu jagad tersebut, ia memperkirakan setiap orang berpotensi tidak mendapatkan pekerjaan yang layak dan berkesinambungan untuk jangka waktu yang lama. Oleh karenanya, pekerja/buruh akan terus mendorong pemerintah untuk membatalkan atau mengubah substansi UU Cipta Kerja.

Di sisi lain, serikat pekerja juga mendorong pemerintah untuk memperbaiki sistem jaminan sosial yang dinilai masih lemah. Sebab, jaminan sosial merupakan solusi bagi perlindungan warga negara secara menyeluruh.

"Ini saatnya kita memikrikan sistem jaminan sosial yang harus diperbaharui, di samping perjuangkan hak dan perlindungan bagi tenaga kerja," ujar dia.

Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Ary Hermawan menyoroti minimnya keterlibatan publik dalam proses pengesahan UU Cipta Kerja. Hal ini tidak sesuai dengan Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) yang sudah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Ia menilai UU Cipta Kerja telah melanggengkan praktik non standar serta tidak progresif dibandingkan UU yang berlaku sebelumnya. Sebab, banyak ketentuan yang melanggar prinsip non-retrogesi dalam konteks pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Sebagai contoh, ketentuan Perjanian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dinilai melanggar hak pekerja atas kemanan pekerjaan. Sebab, UU Cipta Kerja menyebut PKWT didasarkan pada selesainya suatu pekerjaan tertentu. Ketentuan jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja PKWT diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Sementara, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dibatasi paling lama dua tahun dan diperpanjang satu kali untuk satu tahun ke depan.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika
Editor: Pingit Aria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement