Demo Buruh di DPR, Tuntut Pembatalan UU Cipta Kerja dan Kenaikan Upah
Para buruh melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR pada hari ini, Senin (9/11). Dalam unjuk rasa tersebut, buruh menuntut pembatalan atau revisi Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta meminta DPR untuk memanggil Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah agar menaikkan upah minimum 2021.
"Kami meminta DPR mengeluarkan legislative review, yaitu untuk merevisi atau batalkan UU 11/2020. Selain itu, buruh sampaikan tuntutan agar DPR memanggil Menteri Ketenagakerjaan," kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dalam pernyataannya, Senin (9/11).
Menurutnya, demonstrasi yang dipusatkan di gedung DPR, Jakarta tersebut diikuti oleh sekitar seribu orang buruh. Selain itu, aksi ini juga diikuti oleh ribuan buruh lainnya di Jawa Tengah, Gorontalo, dan daerah lainnya.
Said Iqbal menyatakan, gelombang unjuk rasa akan dilakukan terus menerus untuk memastikan omnibus law dapat dibatalkan atau direvisi, baik oleh DPR atau melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagaimana diketahui, para buruh juga telah mengajukan uji materi (judicial review) ke MK pada 2 November lalu.
Klaster ketenagakerjaan merupakan salah satu poin yang paling mendapat sorotan dalam omnibus law. Simak Databoks berikut:
Sebelumnya, KSPI telah memerinci beberapa pasal yang didaftarkan untuk menjalani uji materi ke MK. Salah satunya adalah Pasal 42 yang membahas tenaga kerja asing (TKA).
Dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, rencana penggunaan TKA harus berdasarkan izin tertulis Menteri. Namun ketentuan tersebut telah diubah menjadi disahkan pemerintah pusat.
“Selain itu Pasal 42 Ayat 3 juga karena akan semakin banyak TKA yang bekerja tanpa izin,” kata Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI Kahar Cahyono kepada Katadata.co.id, Selasa (3/11).
Ketentuan lain yang diuji adalah penghapusan Pasal 64 dan 65 dalam UU Cipta Kerja. Dua pasal tersebut membahas tentang pekerjaan Borongan. Selain itu, pasal lain yang dibawa ke MK adalah Pasal 66 yang mengatur pekerja alih daya (outsource).
Pasal 77 juga akan diuji oleh Hakim Konstitusi terutama mengenai penjelasan beleid tersebut. Dia beralasan dalam penjelasan di UU 13, ketentuan waktu kerja yang diatur yakni 7 jam sehari dan 8 jam tidak berlaku pada beberapa jenis bidang kerja seperti lepas pantai dan angkutan umum.
Namun definisi pekerjaan tersebut hilang dalam UU Cipta Kerja. “Khawatirnya pekerja hanya dipekerjakan setengah hari dan upahnya hanya dibayar separuh,” kata Kahar.
Pasal lain adalah Pasal 79 ayat 5 yang mengatur pemberian istirahat panjang alias cuti dalam perjanjian kerja bersama. Berikutnya adalah Pasal 88 C Ayat 2 bahwa Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
“Ayat kedua disebutkan kata ‘dapat’, frasa itu berpotensi bermasalah,” kata Kahar. Buruh juga menguji penghapusan Pasal 89 ke MK untuk diuji secara materi.
Dalam UU 13 Tahun 2003, pasal ini membahas tentang upah minimum sektoral. Begitu pula Pasal 156 yang mengatur soal pesangon bagi pekerja yang terkena Pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Pasal ini seluruhnya lima ayat dan kami ajukan,” kata Kahar.
Tak hanya itu, serikat pekerja juga menguji Pasal 46A UU Ciptaker yang mengatur Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Kahar mengatakan alasannya adalah agar pasal ini mengatur jaminan bagi pekerja alih daya hingga yang bukan anggota Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
“Yang hilang pekerjaan bukan karena PHK harusnya juga dapat (JKP),” kata Kahar.