Dilema Rencana Jokowi Menghapus Pupuk Subsidi
- Jokowi menilai subsidi pupuk gagal meningkatkan produksi pertanian.
- Petani masih bergantung pada subsidi.
- Pemerintah perlu membenahi masalah distribusi.
Presiden Joko Widodo geram. Subsidi pupuk yang puluhan tahun digelontorkan dari anggaran negara dianggapnya sia-sia. Mungkinkah program subsidi pupuk dihapus?
"Kita beri pupuk, 'kembaliannya' ke kita apa? Apakah produksi melompat naik? Rp 33 triliun (subsidi), saya tanya 'kembaliannya' apa?" kata Jokowi dalam Rakernas Pembangunan Pertanian Tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta, Senin lalu (11/1).
Presiden mengatakan, ketersediaan pupuk dan bibit unggul penting untuk memajukan pertanian. Namun jika itu dilakukan sebatas rutinitas, tanpa inovasi, maka pertanian nasional tidak mampu bersaing.
"Tolong dievaluasi (subsidi pupuk), ini ada yang salah. Saya sudah berkali-kali minta ini," kata Jokowi.
Sorotan tajam Presiden tersebut seakan kembali membuka problematika lawas program subsidi pupuk oleh pemerintah. Data Kementerian Keuangan, pada 2014, tahun pertama Jokowi menjabat Presiden, pemerintah mengalokasikan Rp 21,04 triliun untuk subsidi pupuk. Tahun 2019 anggarannya telah naik menjadi Rp 34,3 triliun.
Namun, pada tahun lalu, anggaran subsidi pupuk menurun menjadi Rp 29,7 triliun. Adapun, pada tahun ini, alokasi anggaran subsidinya menciut lagi menjadi Rp 25,27 triliun. Jumlah tersebut berbeda dibandingkan pernyataan Jokowi di atas, yang mengeluhkan dana subsidi pupuk sebesar Rp 33 triliun.
Pada saat yang sama, Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat, produksi sejumlah komoditas pangan Indonesia stagnan bahkan menurun. Produksi padi misalnya, stagnan di kisaran 59 juta ton selama 2015-2018 dan turun menjadi 54 juta ton pada 2019.
Sementara kedelai pada 2014 produksinya 954 ribu ton, lalu turun ke 538 ribu ton pada 2017. Pada 2019 produksi sempat naik menjadi 940 ribu atau tetap lebih rendah ketimbang lima tahun sebelumnya.
Tahun ini, Kementerian Pertanian telah mengalokasikan 9 juta ton pupuk bersubsidi. Selain pupuk padat, masih ada 1,5 juta liter pupuk organik cair guna memenuhi kebutuhan petani. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2020 yang sebesar 8,9 juta ton.
Sesuai Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 49 Tahun 2020, pupuk bersubsidi diperuntukkan bagi petani yang telah bergabung dalam kelompok tani yang menyusun Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK).
Direktur Pupuk dan Pestisida, Kementerian Pertanian, Muhammad Hatta mengakui program pupuk subsidi belum bisa menjangkau semua petani. "Kalau dilihat dari pengajuan daerah, total kebutuhan pupuk di Indonesia mencapai 23 juta ton per tahun. Tentu tidak mungkin semua bisa dipenuhi dengan anggaran terbatas," ujarnya.
Dalam sistem eRDKK, penerima pupuk bersubsidi adalah petani sektor tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, dan peternakan dengan luas lahan maksimal 2 hektare.
Pada 2017, pupuk mendapat alokasi subsidi nonmigas terbesar di Indonesia. Simak Databoks berikut:
Mungkinkah Subsidi Pupuk Dihapus?
Dosen Fakultas Pertanian IPB Harianto sepakat dengan Jokowi. Pemberian subsidi pupuk bukan satu-satunya cara untuk meningkatkan produktivitas petani.
"Jika tujuan kebijakannya untuk meningkatkan produktivitas, maka anggaran untuk perbaikan teknologi budidaya yang perlu ditingkatkan," ujar Harianto.
Namun, pengembangan teknologi pertanian merupakan investasi jangka panjang. Sementara subsidi pupuk telah berjalan puluhan tahun
Karena itu, ia tidak menyarankan pemerintah untuk seketika menghentikannya. Petani juga perlu masa adaptasi. "Menggeser subsidi pupuk juga perlu upaya jangka panjang (bertahap), sehingga petani juga mampu melakukan penyesuaian-penyesuaian," kata Harianto.
Penghentian subsidi pupuk dalam jangka pendek berpotensi menurunkan produktivitas petani. Hal senada diungkapkan oleh Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir.
Ia menilai, penyaluran pupuk bersubsidi masih diperlukan oleh petani kecil. Sebab, selain petani bisa mengakses pupuk yang lebih terjangkau, program pupuk subsidi juga memberikan jaminan stabilitas harga.
Apalagi, pupuk bukan satu-satunya komponen pengeluaran petani. Masih ada upah buruh, bibit, belum lagi biaya sewa tanah bagi petani penggarap. "Kalau tidak ada subsidi, harga pupuk mahal. Petani akan mengurangi dosis pupuk dan ujung-ujungnya produktivitas kita turun, lalu impor" kata Winarno.
Jangankan penghapusan subsidi, harga pupuk naik pun sudah dianggap memberatkan petani. Kenaikan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi itu berlaku mulai 1 Januari 2021.
"Kenaikan harga HET pupuk bersubsidi menyebabkan peningkatan biaya produksi,” kata Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Evita Nursanty.
Berdasarkan Permentan 49/2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2021, pupuk bersubsidi rata rata naik Rp 300-450 per kilogram.
Pupuk Urea misalnya, naik dari Rp 1.800 per kilogram menjadi Rp 2.250 per kilogram. Sementara, Pupuk SP36 naik dari Rp 2.000 menjadi Rp 2.400, ZA naik dari Rp 1.400 menjadi Rp 1.700, dan Pupuk Organik Granul naik dari Rp 500 menjadi Rp 800 per kilogram. Hanya harga Pupuk NPK yang tetap Rp 2.300 per kilogram.
Masalah Distribusi Pupuk
Bagi Guru Besar IPB University Dwi Andreas Santosa, masalah yang dikeluhkan Jokowi terjadi karena kebijakan pupuk subsidi sudah bermasalah sejak awal. Subsidi rawan penyelewengan karena harga pupuk subsidi dan nonsubsidi terlalu tinggi.
Harga pupuk urea subsidi dan non subsidi misalnya, memiliki selisih harga Rp 3.000 per kilogram. Jika 1.000 ton saja diselewengkan, maka angkanya sudah mencapai Rp 3 miliar.
Penyelewengan ini bukan isapan jempol belaka. Dua tahun lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap anggota Komisi VI DPR RI Bowo Sidik Pangarso dalam kasus suap terkait distribusi pupuk subsidi. Dalam skala lebih kecil, penyelewengan itu ada di mana-mana.
Polres Indramayu, Jawa Barat misalnya, pada Selasa (12/1) lalu menangkap dua pelaku penyelundupan pupuk jenis NPK bersubsidi. Ada dua tersangka yang ditangkap, yaitu SJR alias JJ (47) dan BG (42), keduanya merupakan Indramayu. Mereka kedapatan mengangkut 200 sak pupuk, masing-masing 50 kilogram secara ilegal.
Dwi, yang pernah mengisi posisi tim transisi Jokowi-JK nah mengusulkan agar subsidi input seperti pupuk, benih, dan unit alat mesin pertanian (alsintan) dicabut. Sebagai gantinya petani diberikan uang. “Semua subsidi itu saya tentang. Ada kebocoran di mana-mana. Seharusnya uangnya serahkan saja ke petani,” ujarnya.
Tak dalam hal distribusi, masalah pembayaran subsidi oleh pemerintah ke produsen pupuk pun rupanya tersendat. Hal itu diungkapkan oleh Anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade.
Selama ini, BUMN Pupuk Indonesia merupakan pelaksana program pupuk subsidi. Permasalahan yang terjadi berkaitan dengan pupuk subsidi, menurutnya, adalah jumlahnya yang kurang sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan petani.
"Bahkan per awal 2021 ini masih Rp 6 triliun utang pemerintah yang belum dibayarkan ke Pupuk Indonesia,” ujarnya. Ia menambahkan, “Jangan sampai BUMN Pupuk Indonesia ini menjadi korban alias kambing hitam akibat permasalahan pupuk subsidi.”