Era Internet, Bisakah Cebong dan Kampret Sedamai Fans Dua Manchester?

Pingit Aria
30 Januari 2020, 18:55
Cambridge Analytica, Carole Cadwalladr, Facebook, Google, Katadata IDE 2020
Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Pulitzer Prize Finalist Investigative Journalist Of The Guardian Carole Cadwalldr bersama wartawan senior Tempo Bambang Harymurti dalam acara Indonesia Data and Economic (IDE) 2020 di Ballroom Kempinski, Jakarta Pusat, Kamis (30/1/2020).

Bukan rahasia lagi kalau media sosial telah menciptakan polarisasi dalam masyarakat. Dalam konteks Pemilu Indonesia, ada sebutan ‘cebong’ untuk pendukung fanatik Joko Widodo (Jokowi), dan ‘kampret’ yang menjagokan Prabowo Subianto.

Di Jakarta, ada kelompok yang mendukung Gubernur Anies Baswedan dan menyebutnya ‘Goodbener’, dan lawan mereka yang mengolok jabatan itu dengan sebutan ‘Gabener’. Banjir besar yang terjadi di Jakarta pada 1 Januari 2020 lalu membuktikan, opini masyarakat terbelah antara mendukung atau menyalahkan Anies.

Advertisement

Fenomena ini menarik perhatian jurnalis The Guardian Carole Cadwalladr. Dia adalah wartawan yang mengungkap skandal pencurian data pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica untuk kampanye pemenangan Donald Trump di Amerika Serikat (AS).

(Baca: Wawancara Eksklusif Carole Cadwalladr: Keamanan Data di Era Digital)

Cadwalladr pernah menyaksikan bagaimana polarisasi masyarakat AS dalam Pemilu 2016, juga saat masyarakat Inggris terbelah antara bertahan atau keluar dari Uni Eropa (Brexit). “Teknologi telah mendisrupsi demokrasi kita,” kata Cadwalladr dalam Indonesia Data and Economic Conference (IDE 2020) yang diselenggarakan oleh Katadata di Grand Ballroom Kempinski, Jakarta, Kamis (30/1).

Menurutnya, perusahaan besar seperti Facebook yang juga menguasai Instagram dan WhatsApp, serta Google yang memiliki YouTube tak pernah benar-benar terbuka soal dapur iklan politik. Sedangkan, pengiklan dapat menggunakan data pengguna di media sosial untuk  merancang strategi dengan target kampanye yang spesifik untuk memenangkan kandidat yang didukungnya.

Belum lagi, algoritma media sosial dirancang sedemikian rupa hingga cenderung mendekatkan pengguna dengan hal-hal yang disukainya. Tujuannya tentu untuk membuat pengguna betah berlama-lama di platform tersebut. Efek sampingnya, mereka jadi kurang terpapar dengan ide-ide lain di luar minatnya.

“Bahkan di Google, orang tidak lagi mencari tahu tentang kebenaran, melainkan hanya sesuatu untuk mendukung opininya,” komentar wartawan senior Tempo, Bambang Harymurti.

(Baca: 4 Tahun Setelah Cambridge Analytica, Apa yang Berubah?)

Halaman:
Reporter: Cindy Mutia Annur
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement