2018 Jadi Musim Panen Influencer Media Sosial
Perkembangan media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, hingga Youtube menjadi tambang emas bagi para influencer. Besarnya jumlah pengikut para selebritas jagat maya ini menjadi target pemasaran brand besar.
Kegilaan masyarakat terhadap media sosial memang membuat banyak perusahaan mengubah strategi pemasaran. Jika dulu anggaran iklan banyak dibelanjakan melalui media konvensional seperti koran dan televisi, sekarang media sosial lah sasarannya.
Berdasarkan survei GetCraft terhadap 43 pemegang merek, 16% di antaranya berencana meningkatkan anggaran untuk iklan digital menjadi lebih dari 50% dari total belanja iklannya. GetCraft memperkirakan, 31% anggaran iklan para pemegang merek akan beralih ke iklan native.
Setidaknya, GetCraft memproyeksikan total belanja iklan native mencapai US$ 5-US$ 10 miliar selama lima tahun ke depan.
Iklan native adalah bentuk media berbayar yang secara inheren tidak mengganggu pengguna media sosial. Ini termasuk kicauan yang dipromosikan di Twitter, posting di Facebook, hingga rekomendasi aneka produk melalui Instagram.
"Kalau mereka (influencer) punya value, biasanya pemegang merek akan masuk," ujar Senior Vice President Creative GetCraft Syarief Hidayatullah kepada Katadata, di Jakarta, Kamis (12/7). GetCraft merupakan platform penyedia dan kurator konten brand, pemasaran, dan periklanan.
(Baca juga: Bisnis Serba Digital (4): Bagaimana Strategi Monetasinya?)
Influencer yang baik biasanya mampu membuat konten tentang suatu produk dengan begitu baik hingga tampak seolah mereka benar-benar menggunakannya. Dengan begitu, para pengikut mereka tak menyadari bahwa apa yang mereka lihat sebenarnya adalah iklan.
Tingkat Kepercayaan Publik Terhadap Media Sosial/Mesin Pencari dan Jurnalis (2012-2018)
Sejalan dengan kajian tersebut, 90% dari 30 influencer yang disurvei optimistis pendapatannya meningkat dua kali lipat di 2018. Tak heran, sebab hasil riset menyebutkan pasar iklan influencer naik dari 14,4% di 2017 menjadi 36,6% pada tahun ini.
Sementara, pangsa pasar iklan publisher turun dari 85,6% menjadi 63,3%. "Itu artinya pasarnya beralih," kata Syarief.
Toh, ada juga kolaborasi antara publisher dan influencer seperti yang dilakukan Go-Jek ataupun Traveloka. Selain itu, publisher seperti Kompas, Kumparan, dan yang lainnya mulai masuk ke media sosial sebagai influencer.
Adapun survei bertajuk Indonesia Native Advertising and Influencer Marketing Report 2018 menyebut, Instagram, Blog, Twitter, dan YouTube merupakan sarana yang paling banyak dipilih influencer.
Meski pekerjaan ini mulai banyak dilirik, menjadi influencer memiliki banyak tantangan. Salah satunya adalah bagaimana menyediakan konten yang berkualitas secara konsisten. Syarief menyebutkan, ada lima faktor penentu tarif influencer yaitu kualitas konten, personal brand, jumlah pengikut, kemampuan finansial klien, dan tenggat waktu.
Sepanjang kelima hal ini terpenuhi, harga yang relevan menurutnya adalah Rp 1.000 per view. "Kalau untuk per like sekitar Rp 800-Rp 1.000 itu bagus," kata dia.
Travel Influencer Alexander Thian menambahkan, biasanya seseorang menjadi influencer karena tiga hal yakni tampilan fisik yang menarik, kontennya menarik, dan sensasi.
(Baca juga: Dari E-Commerce hingga Perbankan, Chatbot Gantikan Operator)
Dari ketiga hal itu, menurutnya konten yang berkualitas akan membuat pengaruh dari influencer terhadap pengguna media sosial menjadi berkesinambungan. Tidak seperti influencer yang muncul karena sensasi, yang pengaruhnya mudah hilang.
"Harus ada sesuatu yang Anda punya, orang lain tidak (di sosial media)," ujar dia. Adapun akun instagram Alex dengan nama @amrazing memiliki 259 ribu pengikut.
Pendapatan Influencer Menurut Media Sosial dan Jumlah Pengikut 2016
Begitu besar potensi bisnis influencer, sampai ada agen yang menjadi fasilitator mereka dengan pengiklan. Pihak ketiga bisa memastikan perjanjian berjalan sebagaimana mestinya. Pihak ketiga juga berperan mengedukasi influencer terkait produk yang bakal dipasarkan ataupun mengelola sosial medianya.
Saat ini, ada beberapa pihak ketiga mempertemukan pelaku bisnis dengan influencer seperti Mamorae, BuzzHero, dan SociaBuzz. Platform seperti GetCraft juga memiliki fungsi serupa.
Meski diperlukan, keberadaan pihak ketiga di antara influencer dengan pengiklan juga menyimpan risiko, seperti keterlambatan pembayaran. "Mungkin karena prosesnya panjang dan ada keterlibatan pihak ketiga," kata Social Media Lead Grab ID Brama Danuwinata.