E-Commerce Ibarat Pertandingan Tinju, Perlu Diatur meski Akan Melambat

Pingit Aria
14 Maret 2021, 10:45
Muhammad Lutfi
Katadata/Joshua Siringo ringo
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi

Pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyoroti perdagangan digital dengan membenci produk impor, memantik kehebohan. Pasalnya, diduga terjadi praktik predatory pricing oleh penjual asing di e-commerce  sehingga melemahkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).  

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengaku memberikan laporan tersebut kepada Presiden. Mantan Kepala BKPM ini pun berencana mengatur perdagangan digital agar lebih adil dan setara.

Advertisement

Kasus hilangnya Jack Ma dan dibatasinya Alibaba oleh Pemerintah Tiongkok, juga menjadi perhatian pemerintah. "Kalau negara se-advanced Tiongkok khawatir adanya satu orang yang menguasai hajat hidup orang banyak, ini tentunya juga menjadi concern saya," kata Lutfi dalam wawancara khusus dengan wartawan Katadata.co.id, Pingit Aria dan Yura Syahrul, Selasa (9/3).

Dalam wawancara yang berlangsung secara virtual selama lebih 30 menit itu, Lutfi juga menaparkan kebijakannya terkait menjaga stabilitas harga dan inflasi, memacu ekspor hingga pengembangan UMKM. Berikut petikan wawancaranya.

Presiden mengamanahkan tiga hal kepada Menteri Perdagangan, yakni: menjaga inflasi, mengembangkan UMKM dan memperluas pasar ekspor. Bagaimana strategi Anda dalam menjalankannya?

Beberapa harga komoditas naik, seperti kacang kedelai yang naik lebih dari 46% dari titik terendahnya pada akhir 2019. Begitu juga komoditi lain seperti gula, beras, sekarang daging sapi.

Masalah daging sapi ini terjadi akibat kebakaran hutan di Australia pada 2019 yang membuat struktur ekspor sapi mereka terganggu, dan masalah ini tidak akan selesai sampai 2023. Sedangkan peraturan di Indonesia, kasarnya, itu kita hanya bisa impor sapi dari Australia, sehingga pemerintah harus membuat terobosan baru. Bapak Presiden berpesan, ini terkait langsung dengan daya beli masyarakat.

Terkait dengan impor, tahun 2020, struktur impor  terdiri dari 72,9% berupa bahan baku dan penolong, 16% barang modal, dan hanya sekitar 10% yang terkait langsung dengan konsumsi. Ini musti kita lihat.

Simak Databoks berikut: 

Saat terjadi surplus US$ 21 miliar, yang terjadi adalah akibat turunnya impor lebih dalam dari ekspor. Ekspor nonmigas RI pada 2020 itu hanya turun US$ 900 juta dari US$ 155,9 miliar. Karena ada Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), orang tidak bisa jalan ke mana-mana, maka impor bahan bakar minyak (BBM) turun drastis tahun lalu.

Ini memang menjadikan  surplus, tapi kalau kita lihat secara keseluruhan, kondisi ini mencerminkan pelemahan struktur ekonomi yang harus diperbaiki.

Menarik upaya Anda menjaga suplai dalam negeri, sehingga inflasi terkendali. Bagaimana dengan upaya meningkatkan ekspor?

Kalau lihat data ekspor nonmigas ada kabar baik. Dari 10 besar, ada beberapa hal yang bisa saya garis bawahi. Pertama, kelapa sawit masih menjadi primadona, ekspor kita hampir US$ 21 miliar pada tahun lalu, naik hampir 18% dari 2019 karena faktor kenaikan harga.

Kedua adalah batu bara menjadi komoditas dengan nilai US$ 17 miliar. Nomor tiga ini menandakan perbaikan karena kita yang tadinya terkenal dengan ekspor barang mentah dan setengah jadi, sekarang bisa mengekspor produk besi. Tahun lalu nilainya setidaknya US$ 10,8 miliar, naik 48% dari 2019.

Kemudian keenam ada produk otomotif. Artinya, saya mulai menjual barang teknologi tinggi, meski nilainya turun sekitar 20% pada 2020.

Ke depan, dengan adanya investasi, industri berteknologi tinggi harus mendominasi ekspor nonmigas kita. Artinya, kita harus membuka pasar baru untuk menggenjot ekspor. Yang tadinya ekspor ke negara-negara maju karena kita menjual barang mentah dan setengah jadi, sekarang kita harus mencari market untuk barang hasil industri kita.

Salah satu yang penting adalah otomotif. Tanpa free trade agreement (FTA), ekspor produk otomotif akan dikenai bea masuk yang tinggi. Dengan adanya FTA, kita misalnya bisa menjual mobil ke Australia. Negara itu membeli 1,2 juta mobil per tahun, kalau kita bisa mengambil 10% saja dari pasar itu, nilainya ekspor tambahannya US$ 6 miliar.

Di luar itu ada juga negara-negara yang belum mature, seperti negara-negara Afrika Utara yang berbahasa Prancis. Kelas menengah mereka besar, mereka membutuhkan mobil-mobil jenis multipurpose vehicle (MPV).

Jadi membuka pasar nontradisional ini merupakan upaya kita untuk bertahan.

Terkait seruan Presiden soal Benci produk luar negeri. Apa yang melatarbelakangi seruan itu dan seberapa mengkhawatirkan kondisi barang impor di perdagangan digital saat ini?

Jadi ceritanya dari World Economic Forum (WEF) pada Februari lalu. Salah satu penelitian yang disampaikan di sana adalah mengenai pasar industri fesyen Islam Indonesia.

Mereka meneliti salah satu pengusaha hijab yang pada 2016-2018 punya toko di Tanah Abang. Dia sukses, tiba-tiba pada 2018 kena white labelling. Ada pihak yang menggunakan artificial intelligence (AI) untuk menghitung transaksi, melihat selera konsumen dan lain-lain. Mereka ambil semua datanya, kemudian membuat produk serupa di Tiongkok.

Produk itu dikirim kembali ke Indonesia dengan membayar bea masuk US$ 44 ribu. Sedangkan, industri serupa di Indonesia mengeluarkan sampai US$ 654.000 untuk membayar konveksi, itu habis karena barang impor. Ini sedang kami pelajari.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement