Nur Pamudji, Merugikan atau Menguntungkan Negara?

Metta
Oleh Metta Dharmasaputra.
14 Oktober 2019, 07:15
Metta
Ilustrator: Betaria Sarulina

Nur Pamudji adalah sebuah ironi penegakan hukum di Indonesia. Ia diganjar penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) berkat berbagai kebijakannya membangun integritas institusi PLN. Tapi kini, mantan Dirut PLN ini disidang atas dakwaan korupsi yang menjeratnya.

Kasusnya sempat mencuri perhatian publik, ketika pada 26 Juli lalu, Nur Pamudji ditangkap oleh Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri. Namun, kemudian kabar beritanya tenggelam di tengah hiruk-pikuk politik akhir-akhir ini.

Meski banyak yang berempati, tak mudah baginya untuk mendapat dukungan. Para akademisi pun dilarang universitas untuk menjadi ahli terdakwa kasus korupsi.

Kasus ini bermula dari tender pengadaan BBM-solar (high speed diesel) oleh PLN pada 2010. Tender ini dipimpin oleh Nur Pamudji, yang kala itu menjabat Direktur Energi Primer PLN.

Dari lima tender yang diadakan, dua dimenangkan oleh PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), yakni untuk pembangkit Tambak Lorok (Semarang) dan Belawan (Medan). Sedangkan tiga lainnya dimenangkan oleh Pertamina, yakni Muara Tawar (Bekasi), Grati dan Gresik (Jatim), serta Muara Karang dan Tanjung Priok (Jakarta).

Di kemudian hari, tender ini dianggap merugikan negara karena TPPI tak bisa memenuhi komitmen pasokannya secara penuh selama empat tahun. Kalkulasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan, telah terjadi kerugian negara Rp 188,7 miliar.

Pertanyaannya, benarkah telah terjadi kerugian negara dan praktik korupsi? Atau justru sebaliknya? Setidaknya ada 10 alasan yang memunculkan keraguan atas tudingan itu.

(Baca: Revisi UU KPK Dinilai Memicu Ketidakpastian Investasi)

10 Alasan

Pertama, tender oleh PLN merupakan pelaksanaan amanat dan misi negara. Perusahaan setrum negara ini pada 2007-2008 diminta Panitia Anggaran DPR mengimpor langsung BBM-solar dan tidak sepenuhnya bergantung kepada Pertamina untuk menekan biaya pengadaan.

Karena itulah, pada 31 Maret 2010, dibentuk Panitia Tender Pengadaan BBM. Kementerian Keuangan pun sempat meminta PLN agar membeli BBM dari TPPI, berhubung kilangnya tidak termanfaatkan (idle).

Kementerian Keuangan berkepentingan karena sekitar 70 persen saham TPPI berada dalam penguasaannya via PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). TPPI adalah perusahaan petrokimia yang dirintis oleh PT Tirtamas Majutama milik Hasim Djojohadikusumo, Honggo Wendratno dan Al Njoo pada 1995.

Namun, akibat krisis moneter pada 1998, kepemilikan TPPI beralih ke tangan Badan Penyehatan Perbankan Naional (BPPN)—sebelum dialihkan ke PPA. Skema ini bagian dari restrukturisasi utang macet PT Tirtamas ke sejumlah bank senilai Rp 3,2 triliun.

Setelah restrukturisasi, pemerintah menguasai 70 persen saham. Sedangkan 30 persen sisanya masih dikuasai oleh Tirtamas, dalam hal ini Honggo. Kini pemerintah bahkan menguasai 95,9 persen saham, setelah utang TPPI baru-baru ini kembali dikonversi menjadi tambahan saham.

(Baca: Konversi Utang, Kepemilikan Saham Pemerintah di Tuban Petro Jadi 95,9%)

Kedua, tender sudah melalui proses due diligence oleh Sucofindo. Atas dasar uji tuntas ini, panitia lelang mengusulkan pemenang lelang. Adapun due diligence lanjutan ke Singapura yang dicurigai berbau kongkalikong dengan pemenang tender juga tak berdasar.

Sebab, itu hanya pengecekan dokumen ke rekanan TPPI, yakni Vitol dan Total SA, yang dilakukan setelah pemenang tender diumumkan. Kepergian Nur Pamudji pun didampingi oleh kantor hukum Hadiputranto, Hadinoto & Partners (HHP).

Ketiga, ada persetujuan direksi dan komisaris. Penetapan TPPI sebagai pemenang tender bukan ditetapkan oleh Nur Pamudji, selaku Direktur Energi Primer, seorang diri. Melainkan oleh Komite Direktur. Perjanjian Jual-beli BBM-HSD dengan TPPI pun ditandatangani oleh Direktur Utama PLN saat itu Dahlan Iskan.

Selain itu, penetapan pemenang tender mendapat persetujuan dari Dewan Komisaris, khususnya, untuk tiga pembangkit yang nilainya di luar kewenangan penuh direksi. Ketiganya adalah Tambak Lorok (Lot-2) dan Belawan (Lot-4) yang dimenangkan oleh TPPI, serta Muara Karang dan Tanjung Priok (Lot-5) yang dimenangkan oleh Pertamina.

Keempat, harga BBM hasil tender jauh lebih rendah dibandingkan harga pembelian langsung dari Pertamina. Harga BBM ditetapkan berdasarkan patokan harga minyak mentah di Singapura atau Mid Oil Platts Singapore (MOPS) plus alpha.

Harga jual Pertamina tanpa lelang yakni sebesar MOPS plus 5%, bahkan hingga 9,5%. Sementara itu, berdasarkan tender, alpha yang diperoleh jauh lebih rendah. Untuk pasokan ke Tambak Lorok dan Belawan yang dimenangkan TPPI, alpha-nya masing-masing hanya 2,730% dan 1,683%.

Halaman:
Metta
Metta Dharmasaputra.
Pendiri Katadata Insight Center
Editor: Redaksi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...