Simalakama New Normal dan Gejolak Seniman Pertunjukan Meresponnya
Para pekerja seni pertunjukan dari berbagai cabang kesenian dapat dipastikan akan menghadapi babak yang menantang dari pandemi corona yang belum bisa diprediksi akhirnya. Tercatat melalui data resmi Satgas Penanggulangan Covid-19 per tanggal 30 Mei 2020, jumlah korban meninggal adalah sebanyak 1.573, dan pasien sembuh sebanyak 7.015 dari total 25.773 kasus. Pergerakan lajunya seolah berkejaran, paralel ini memantik seluruh dimensi kehidupan dalam merespon untuk dapat terus survive.
Semenjak merebaknya pandemi corona, sektor industri seni pertunjukan dan seni terkait lainnya mengalami guncangan keras. Dilansir dari data koalisi seni per 25 Maret 2020, disebutkan bahwa sepuluh proses produksi dan rilis film tertunda; empat puluh konser, tur, dan festival musik; delapan pameran pada museum seni rupa; tiga pertunjukan tari; serta sembilan pentas teater, pantomim, dan boneka.
Berbagai artis pertunjukan berskala lokal maupun internasional batal manggung secara live untuk waktu yang tak dapat ditentukan, termasuk aktivitas manajemen event pun berhenti. Total kerugian dari sebaran data dan variannya tersebut dapat terus bertambah, dan tidak menutup kemungkinan dapat menyentuh triliun rupiah ketika tulisan ini rilis.
Terhadap terpuruknya industri (khususnya) seni pertunjukan dan seni pendukung lainnya, dengan seiring berjalannya waktu, pemerintah tidak sepatutnya terus berpangku tangan dan harus melakukan langkah-langkah penanggulangan dari pendataan berkala secara selektif kepada para pelaku seni melalui program bantuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk dengan pemberian bantuan melalui bantuan sosial dan Kartu Prakerja. Di sisi lain, seniman pertunjukan pun tak tinggal diam.
(Baca: Kisah Pekerja Informal saat Pandemi Corona: Kalau Tak Kerja Bisa Mati)
Konser-konser berbasis daring pun diadakan oleh sejumlah musisi seperti konser alm. Didi Kempot, konser Armand Maulana, karya tari dari Eko Supriyanto, perayaan Hari Tari Sedunia oleh ISI Surakarta, tapping karya terpilih dari Komunitas Salihara dan Titimangsa Foundation, aktifnya kanal Youtube Budayasaya yang menyajikan konten berbasis seni pertunjukan dan seni lainnya, serta event-event daring lainnya. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pergerakan industri seni pertunjukan masih berdetak hidup, meski di beberapa pelaksanaannya masih dominan terasa sebagai adaptasi, sosialisasi, donasi dan belum terlalu masuk ke area profitability art.
Kini Pemerintah sedang menyiapkan skenario new normal untuk hidup berdampingan dengan pandemi corona. Direktur Riset di Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, menilai era new normal dengan mencabut Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tak akan mengembalikan ekonomi menjadi normal selama pandemi masih mengintai.
Fase 1 yang akan dimulai dari 1 Juni sampai dengan fase 5 di akhir bulan Juli menunjukan suatu road map jangka pendek yang secara umum mengisyarakatkan pelonggaran program skenario PSBB dengan kata kunci pengetatan protokol kesehatan, pembukaan tempat kegiatan perekonomian bertahap, pembatasan jumlah masa berkumpul, dan penemuan vaksin.
Rintisan new normal menuntut semua sektor industri untuk dapat secara cepat beradaptasi dan bergerak, termasuk sektor industri seni pertunjukan bersama seniman dan stakeholders yang melingkupinya.
(Baca: Tantangan Berat Seniman Pertunjukan di Masa Pandemi Corona)
Buah Simalakama New Era
Industri seni pertunjukan adalah salah satu dari sekian banyak industri yang dituntut untuk beradaptasi dengan fase new normal. Berdasarkan skema new normal, industri seni pertunjukan yang erat kaitannya dengan aktivitas kebudayaan boleh mengadakan kegiatannya pada waktu pertengahan Juni melalui mekanisme jaga jarak yang harus terkontrol.
Perubahan perilaku digital dalam aspek seni pertunjukan berbasis daring diyakini masih jadi persoalan kreatif paling menantang bagi pekerja, penonton dan bahkan tata cipta kelola event. Masih ada ruang penerapan protokol kesehatan yang ketat untuk pelaksanaan yang ada, meski pertaruhannya adalah kenikmatan dalam menyaksikan karya tersebut.
Alih-alih menghibur dan membuat rileks, bisa jadi malah terjebak dalam persoalan atribut protokol kesehatan. Makna ambiguitas menekan “kenikmatan menikmati sebuah seni pertunjukan” karena seni pertunjukan memang bukan semata sebuah transaksi dagang – ada aspek estetika, nilai rasa dan sentuhan dari karakter pertunjukan itu sendiri. Buah simalakama?
Penerapan new normal tentu membuat ada pembatasan pada jumlah kerumunan dan daya tampung suatu venue pertunjukan. Perhitungan rumit terbayang jika pelaku seni pertunjukan berharap pada jumlah tiket yang sebelum pandemi merupakan pasokan kritikal dalam menopang daya hidup kelompok atau industri tersebut. Event seni pertunjukan berskala raksasa oleh performer kelas wahid seperti Ariel Noah, Iwan Fals, Slank, dan AgnezMo tentu akan melibatkan ribuan massa dan berpotensi tidak diizinkan, mengingat sangat berpotensi memicu episentrum kelahiran sarang corona baru.
(Baca: Chatib Basri Peringatkan Persoalan Ekonomi saat Fase Normal Baru)
Kendala pelik juga terkait dengan venue mana yang akan digunakan, karena tentu tidak semua venue dapat digunakan. Perhitungan antara biaya sewa, pemasukan dan tata laksana menjadi atribut yang carut marut dalam operasionalnya. Sponsor dan panitia atau event organizer jelas berpikir ekstra mengingat jumlah massa besar tidak lagi menjadi madu manis dalam meraup pundi-pundi brand awareness suatu brand atau menghasilkan keuntungan.
Bahkan Komunitas Salihara, Galeri Indonesia Kaya dan Titimangsa Foundation memilih untuk menghapus secara selektif karya koleksi seni pertunjukan dari kanal YouTube-nya, dengan prediksi untuk tetap menjaga marwah seni pertunjukan itu sendiri serta hak cipta, bukan lantas berserak hanya menjadi sekedar dokumentasi pada dunia maya.
Era Baru, Solusi Baru
New era dengan berbagai solusinya tetap harus dijalankan oleh para seniman pertunjukan. Perhitungan cermat ruang atau venue yang dapat digunakan tentu bisa dieksplorasi dengan tidak melanggar protokol kesehatan serta tetap meraih keuntungan. Misalnya, venue kecil dengan massa kecil dan karya konser pentas pertunjukan berskala kecil bisa menjadi pilihan alternatif yang layak diupayakan. Siasat memanfaatkan optimal seluruh sarana penjualan daring seperti Instagram, YouTube, serta berbagai online marketplace harus terus dijalankan.
Penjualan karya seni pertunjukan pun harus diutak-atik agar tetap laku dijual dalam versi online, seperti dalam bentuk DVD atau buku. Provider internet dapat membantu meringankan dari sisi biaya akses dalam penyelenggaraan online art event. Tak ada pilihan lain untuk menyambung hidup.
(Baca: 6 Sektor Startup Diincar Investor saat Normal Baru Diterapkan)
Bantuan pemerintah mungkin boleh jadi tetap dapat menjadi salah satu penyangga sementara— namun tentu hal ini tidak dapat diharapkan selamanya. Di beberapa level yang paling mengharukan tak sedikit yang beralih profesi sementara dengan menjual kue, makanan dan barang lainnya.
Totalitas nafas karya seorang seniman pertunjukan sejati tentu akan sangat dipertaruhkan dalam melewati masa darurat pandemi. Seniman handal tak akan pernah kehilangan akal, selalu bergotong raya dan terus berdaya upaya untuk sebuah solusi kebaruan bukan kebuntuan, terus berinovasi menghasilkan karya terbaik adalah harga mati. New Era, New Solution: selamat datang dan teruslah berkarya!
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.