New Normal, Peta e-Tourism 4.0 dan Kemandirian Bangsa

Luki Safriana
Oleh Luki Safriana
30 Juni 2020, 11:00
Luki Safriana
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Petugas melakukan simulasi pembayaran secara nontunai untuk pembelian tiket di Taman Pintar, Yogyakarta, Rabu (17/6/2020). Pembayaran tiket secara nontunai tersebut merupakan salah satu persiapan menghadapi tatanan normal baru di dunia pariwisata pada masa pandemi COVID-19. Antara Foto/Andreas Fitri Atmoko/aww.

Setelah merilis Calendar of Event 2020 yang memuat seratus acara terbaik nasional yang tersebar di 34 provinsi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif kini harus dengan cepat beradaptasi dan menyiasati perubahan bentuk event – dari yang tadinya tatap muka secara langsung menjadi daring.

Dengan adanya pandemi Covid-19, semakin jelas bahwa aspek digitalisasi mutlak sangat penting untuk diadaptasi dalam sektor pariwisata, dan bukan hanya suatu fase sementara yang akan berangsur hilang seiring datangnya new normal. Selain itu, transformasi ini menekankan bahwa dalam strategi e-tourism 4.0 yang kental dengan internet, kesiapan infrastuktur, responsivitas sumber daya manusia dan kolaborasi paripurna dengan stakeholder lain merupakan kunci utama.

Bagi Wishnutama, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, kebiasaan orang menggunakan platform online di masa pandemi ini dapat menjadi kesempatan bagi para penyelenggara pariwisata untuk menggali potensi era digital. “Suka tidak suka, mau tidak mau, era digitalisasi ini makin terakselerasi dengan cepat, terlebih dengan kondisi ini semua dipaksa untuk memahami digital lebih cepat," ungkapnya dalam video conference bersama anggota Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA) dan pelaku pariwisata (2/5).

(Baca: Okupansi Rendah, Pengusaha Hotel Menjerit Biaya Protokol Kesehatan)

ADAPTASI TAHAPAN NORMAL BARU DI SANUR
New normal pariwisata Sanur, Bali, di tengah pandemi corona. (ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/nym/hp.)

Optimis sebagai bangsa

Internet dan digitalisasi menjadi jembatan yang menghubungkan kebuntuan akibat kemampatan pergerakan semua sektor termasuk pariwisata nasional. Pada masa pandemi, seolah digitalisasi menjadi “pelarian” semata dari dimensi offline dan merupakan hal baru dalam industri pariwisata yang mungkin luput dari kajian maupun perencanaan yang sudah ada.

Adapun hal “baru” yang dimaksud adalah berlangsungnya webinar, e-commerce, virtual tour serta platform yang memunginkan para operator pariwisata untuk menawarkan produk dan layanan mereka secara daring. Hal ini sebetulnya bukan sesuatu yang baru, hanya saja terdapat lonjakan tajam sebagaimana dipengaruhi masyarakat Indonesia yang dominan stay at home akibat social distancing.

Rintisan peta e-tourism 4.0 sejatinya telah mulai cukup intensif digelorakan pada era Kementerian Pariwisata dibawah kepemimpinan Arief Yahya era jilid 1 Presiden Joko Widodo. Rencananya cukup familiar dan menarik, dengan mengusung strategi besar yang meliputi Strategic Theme: Wonderful Indonesia Digital Tourism 4.0; Strategic Imperatives for Transforming Tourism HR to Win Global Competition in Industry 4.0; 5 Technology Enabler; 9 Key Initiatives for Discipline Executions; dan Pentahelix Collaboration Approach. Kolaborasi seluruh strategi tersebut diharapkan mampu mendorong pengembangan e-tourism 4.0 Indonesia sehingga menjadi kian berkembang dan dikenal dunia.

(Baca: Industri Kreatif Terpukul Corona, Hanya Gim dan Animasi yang Tumbuh)

Menariknya, salah satu manifestasi yang bisa dibilang menjadi warisan penting pada era Arief Yahya dan kini berlanjut ke Wishnutama adalah Calendar of Event. Pandemi menguak adanya lubang besar di sisi implementasi penerapan strategi digital kebangsaan dalam merespon. Kesiapan sumber daya manusia dan infrastruktur internet bisa dibilang menjadi titik fatal. Di masa yang akan datang, sinergi maksimal antara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Ketenagakerjaan serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mutlak diperlukan guna menyelesaikan persoalan ini.

Dilansir dari infografis Databoks, gelontoran dana dari pemerintah guna menanggulangi aspek pariwisata pun jumlahnya tidak main-main. Nilainya sebesar 3,8 triliun rupiah dengan sebaran 3,3 triliun untuk kompensasi pajak hotel/restoran, 400 miliar untuk insentif tiket ke 10 destinasi pariwisata dan terakhir 100 miliar untuk hibah pariwisata. Tentu besar harapan bahwa serapan dana ini diharapkan nantinya menjadi stimulus penopang dan pembangkit langkah lanjutan terukur strategis berikutnya.

Dapat dipastikan bahwa sejumlah acara dalam Calendar of Event 2020 yang telah terkurasi batal gelar akibat pandemi corona. Meski demikian, waktu “luang” ini tidak seharusnya membuat para stakeholders terlena mengingat yang terkena dampak tidak hanya agenda Calendar of Event Indonesia melainkan terjadi di seluruh belahan dunia, khususnya berkenaan dengan aspek pariwisata. Pemerintah pusat dan daerah harus sudah berpikir ekstra dan menyiapkan sumber daya manusia terlatih, kesiapan infrastruktur, dan kebaruan event management.

Menariknya lagi, di tengah fenomena pandemi berbagai platform media sosial serta konferensi video dari luar negeri semakin meroket popularitasnya. Dikutip dari The Next Web, media sosial yang tengah naik daun meliputi Facebook, WhatsApp, WeChat, Instagram, dan Tik Tok. Untuk aplikasi video conference, hasil survey VPN Overview menunjukkan bahwa Skype, Microsoft Team, Zoom, Google Meet dan Webex adalah beberapa aplikasi yang paling banyak digunakan.  

(Baca: Jokowi: Banyuwangi Daerah Paling Siap Terapkan Normal Baru Pariwisata)

Kembali ke peta e-tourism 4.0, tantangan atas kemandirian bangsa kali ini datang dalam bentuk perlunya akselarasi digitalisasi pada era pandemi ini. Persepsi tentang digitalisasi sedang menguat saat ini. Kaji ulang, tata posisi, dan evaluasi maksimal seluruh stakeholder terkait pergerakan pariwisata nusantara dalam peta besar menjadi kebutuhan tak terelakkan lagi, bahkan sangat krusial untuk dihadirkan sebagai bahan rujukan.

Tuntutan kesiapan pemerintah dengan berkolaborasi bersama kementerian terkait, pemerintah daerah, perusahaan swasta dan perguruan tinggi sudah harus didudukan bersama dengan hasil yang konkret. Smart action, smart connectivity dan smart collaboration merupakan semesta yang harus terus menerus digaungkan.

Era pelaksanaan protokol kesehatan ketat berbasis cleanliness, health and safety telah tiba. Mau-tidak mau, masyarakat dituntut untuk dapat “bersahabat” dengan pandemi selagi menanti vaksin, dan tentu kreatifitas serta produktivitas tak boleh mati. Indonesia sedang diuji level ketahanannya dan responsivitasnya, dan bagaimana agar dapat mengambil keuntungan maksimal untuk kepentingan bersama. Terakhir, "barangsiapa ingin mutiara, harus berani terjun di lautan yang dalam"— maka kita harus tetap optimis dapat melewati masa pandemi ini karena bangsa kita telah teruji sejarah.

(Baca: Pemerintah Buka Kembali Objek Wisata Alam, Ini Protokol Kesehatannya)

Luki Safriana
Luki Safriana
Pengajar Paruh Waktu Prodi S1 Event Universitas Prasetiya Mulya, Mahasiswa Doktoral PSL-IPB University
Editor: Redaksi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...