Siasat Gedung Pertunjukan Menyambut Kontraproduktif Masa Pandemi

Luki Safriana
Oleh Luki Safriana
11 Juli 2020, 11:00
Luki Safriana
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Penari Iing Sayuti mementaskan tarian kontemporer berjudul "Eling" yang disiarkan melalui media daring di Indramayu, Jawa Barat, Sabtu (20/6/2020) malam. Pertunjukan tari kontemporer melalui media daring tersebut menggambarkan kegelisahan jiwa di masa Pandemi COVID-19.

Skema new normal telah berjalan di beberapa kota maupun kabupaten. Berbagai modifikasi pendekatan protokol kesehatan marak diterapkan. Beberapa diantaranya yaitu penyediaan sabun pencuci tangan yang dilengkapi air bersih untuk membilas di depan toko; penerapan strategi jaga jarak di beberapa titik - terutama pada lapak penjual makanan; dan diperketatnya pemeriksaan suhu tubuh serta penggunaan masker oleh pengunjung.

Fenomena tersebut kini menjadi pemandangan yang lazim hampir di semua sudut kota. Dengan hadirnya peradaban baru ini, mau tidak mau, kita terpaksa harus bersahabat dengan pandemi corona. Meski demikian, kuantitas ruang new normal memberi banyak pembeda dalam dimensi kehidupan manusia sekarang. Sebagai sebuah proses pembaruan, hal ini juga menjelma sebagai ruang yang sangat menantang bak arena para gladiator, tidak terkecuali kesenian. Penentuan jalan rumusan tata kelola seni pertunjukan yang komprehensif harus segera dirumuskan.

Advertisement

Terasa jelas masyarakat masih berbenah guna memulihkan stabilitas ekonomi yang terus tergerus. Adanya pemutusan hubungan kerja (PHK), kesulitan mencari pekerjaan serta berbagai teror kecemasan dengan adanya pembatasan disaat pandemi benar-benar menciptakan antiklimaks tersendiri. Hal ini tentu membuat publik merasa kesulitan untuk dapat merasakan indahnya keagungan karya seni seperti kala suasana normal sebelum pandemi.

(Baca: Kemenparekraf Kaji Pembentukan BLU untuk Bantuan Insentif Pemerintah)

Semua aspek kehidupan kini mulai hidup, tetapi tak sedikit pula yang masih mati suri. Salah satunya adalah aktivitas pada gedung pertunjukan serta para seniman yang mengais rezeki di dalamnya. Senyawa yang tak terpisahkan ini masih belum dapat menunjukkan padu padan kehidupan terbaiknya. Mucul keengganan dari sisi penonton maupun para seniman pertunjukan untuk melakukan aktivitas di area tersebut.

Pada sisi lain, penyebab nyata juga ditunjukkan dengan adanya aturan pemerintah yang masih belum memperbolehkan dibukanya gedung pertunjukan. Alasan kekhawatiran penularan menjadi penyebab utama selain seni pertunjukan yang masih dianggap sebagai kebutuhan sekunder. Dengan kata lain, apabila seniman tak beraktivitas, maka penonton tak datang dan akhirnya gedung pertunjukan pun dapat mati.

Pandemi membuat kota besar yang memiliki tradisi kuat dalam bidang seni pertunjukan dengan keramaian aktivitas gedung pertunjukan praktis mati suri, misalnya DKI Jakarta (Teater Kecil & Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Ciputra Artpreneur, Teater Salihara, dan Gedung Kesenian Jakarta), Bandung (Gedung Sunan Ambu dan Rumentang Siang), Yogjakarta (Taman Budaya Yogyakarta, Concert Hall ISI Yogya) dan Surabaya (Ciputra Hall dan Balai Budaya).

Riuh gaduhnya penonton mendadak berubah menjadi suara keheningan akibat Covid-19. Pengelola gedung pertunjukan seolah diingatkan bahwa perlu ada metode aktivasi dan business model lain bila bencana serupa menerjang kembali. Apabila tidak diantisipasi dengan cepat, tepat dan akurat, maka ancaman kehancuran ataupun kebangkrutan adalah hal yang nyata.

(Baca: Pendaftaran Insentif Ekonomi Kreatif Rp 24 M Dibuka, Ada Syaratnya)

SAUNG ANGKLUNG UDJO KEMBALI MENGGELAR PERTUNJUKAN
Saung Angklung Udjo, Bandung, Jawa Barat, kembali menggelar pertunjukan di tengah pandemi Covid-19. (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/wsj.)

Aset Bangsa dan Optimalisasi Internet   

Performance (pertunjukan) biasanya melibatkan empat unsur yakni waktu, ruang, tubuh sang seniman, dan hubungan seniman dengan penonton. Hal yang menjadi narasi kuat dan agak sedikit diabaikan dalam beberapa pembahasan ialah persoalan dimensi ruang. Consumer journey dalam menikmati sebuah performance di gedung pertunjukan merupakan hal mutlak. Hal ini seolah tak dapat digantikan, sehingga makna ruang kerap dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat fisik.

Halaman:
Luki Safriana
Luki Safriana
Pengajar Paruh Waktu Prodi S1 Event Universitas Prasetiya Mulya, Mahasiswa Doktoral PSL-IPB University
Editor: Redaksi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement