Quo Vadis Badan Restorasi Gambut

Rio Christiawan
Oleh Rio Christiawan
25 Juli 2020, 11:00
Rio Christiawan
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata

Saat ini pemerintah sedang merampingkan jumlah badan, komisi maupun lembaga tinggi negara sebagai bentuk optimalisasi pelayanan pada masyarakat. Perampingan tersebut juga sebagai bentuk reformasi birokrasi sehingga tidak terdapat tumpang tindih kewenangan dan pemerintah dapat lebih cepat dalam mengambil keputusan. Salah satu lembaga yang masuk daftar akan dibubarkan adalah Badan Restorasi Gambut (BRG) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut.

Mengacu pada Perpres tersebut masa kerja BRG jika tidak diperpanjang oleh presiden maka akan berakhir pada akhir Desember 2020. Maka kini pertanyaannya adalah adakah urgensi mempertahankan dan memperpanjang masa kerja BRG? Kilas balik pembentukan BRG adalah pasca terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang besar pada 2015 (yang sebagian besar terjadi di lahan gambut) dan kala itu Indonesia mendapat sorotan negatif dari dunia internasional.

Advertisement

Sesuai namanya BRG sesuai semangat pembentukannya diarahkan pada fungsi restorasi dari lahan gambut. Makna dari fungsi restorasi adalah mengembalikan fungsi yang rusak baik karena alam maupun karena pengelolaan lahan gambut. Sebagai catatan pada evaluasi kinerja BRG, dalam hal ini harus diakui bahwa pada awal pembentukannya ‘agak’ melampaui wewenang, yakni dengan memberikan kewenangan penegakan hukum (enforcement) pada BRG, meskipun pada tahun 2017 wewenang tersebut dicabut.

Jika pertanyaannya apakah masih diperlukan BRG, maka jawabannya adalah tentu masih diperlukan, mengingat Indonesia adalah negara dengan lahan gambut terluas keempat di dunia dan restorasi lahan gambut di Indonesia belum terlaksana sepenuhnya. Bahkan belum seluruh daerah prioritas sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Perpres BRG yaitu Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Papua belum seluruhnya selesai fungsi restorasinya.

Bahkan fungsi restorasi yang dilakukan BRG masih dibawah 60% beberapa daerah seperti Kalimantan Tengah dan Papua. Mengacu pada situasi ini maka seharusnya secara fungsi BRG masih dibutuhkan, namun perlu penataan yang tepat dalam hari ini menyangkut sinkronisasi peran dengan instansi terkait seperti kementerian lingkungan hidup dan kehutanan (KLHK) sehingga tidak tumpang tindih secara fungsi dan kewenangan.

Keseriusan Pemerintah

Persoalan penataan dan restorasi gambut dalam hal ini memang memerlukan keseriusan dari pemerintah. Sebagaimana diketahui BRG sendiri tidak memiliki pagu anggaran hingga tahun kedua pembentukannya. Keseriusan pemerintah dalam hal ini setidaknya meliputi dua hal, yakni secara kelembagaan dan secara substansi penataan dan restorasi gambut. Persoalan BRG secara kelembagaan adalah tidak jelasnya kedudukan, di satu sisi sesuai Perpres, BRG bertanggung jawab langsung pada presiden pada fungsi restorasi gambut.

Halaman:
Rio Christiawan
Rio Christiawan
Dosen Program Studi Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya, Spesialisasi Hukum Lingkungan dan Agraria
Editor: Redaksi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement