Moral Ekonomi Baru

Meuthia Ganie-Rochman
Oleh Meuthia Ganie-Rochman
8 Agustus 2020, 11:00
Meuthia Ganie-Rochman
KATADATA/JOSHUA SIRINGO RINGO
Pedagang gitar rumahan memotret barang dagangannya untuk dijual secara daring di Ciledug, Tangerang, Banten, Senin (20/7/2020). Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi terus mendorong 10 juta Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) terhubung dengan platform digital atau "go online" hingga akhir tahun ini.

Setelah bencana, seharusnya suatu masyarakat dapat menghasilkan perubahan besar ke arah perbaikan sosial dan ekonomi. Jika tidak, itu akan menjadi tragedi tersendiri. Covid-19 dipandang sebagai pandemi yang merontokkan sendi-sendi ekonomi abad 21. Kegiatan ekonomi di banyak bidang dibekukan bukan oleh aspek moneter, melainkan oleh keharusan menjaga kontak fisik.

Akibat penciutan ini, dampak ekonominya memukul sebagian besar wilayah ekonomi. Di seluruh dunia, misalnya, diperkirakan sekitar tambahan 40-60 juta orang jatuh pada kemiskinan absolut (Jun 5, 2020, Daron Acemoglu, Project Syndicate).

Masalah pandemi corona saat ini seperti lautan tak dikenal (unchartered waters) yang memaksa negara berlayar untuk menghindari musibah yang lebih besar. Setiap negara memiliki kondisi kapal dan nakhoda yang berbeda-beda.

Banyak analisis di tingkat internasional yang mengangkat masalah kapasitas negara dalam menangani masalah dua-sisi-mata-uang pandemi, yaitu penyakit dan keberlangsungan ekonomi. Berbeda dengan krisis keuangan global (1930-an, 1998, 2008) yang diselesaikan dengan menggunakan instrumen moneter, krisis keuangan saat ini harus diatasi di tengah keharusan pencegahan pandemi.

Dampak untuk Indonesia besar sekali. Saat ini saja, angka kemiskinan bertambah sekitar 1,6 juta (menjadi 26,4 juta) sejak September 2019.  Akan lebih banyak lagi yang jatuh ke kategori miskin karena selama ini terdapat lebih dari 12 juta orang masuk ketegori hampir miskin. Belum lagi kelompok ekonomi lain yang akan turun tangga baik karena kegiatan bisnis yang menciut atau karena perubahan gaya hidup serta pola konsumsi masyarakat.  

Kondisi ini akan mengarah pada perubahan struktural, yaitu bisnis mana yang bertahan, yang menjadi lebih dominan, dan sebagainya. Perubahan struktural akan membawa perubahan banyak sekali dalam institusi dan organisasi ekonomi.

Wacana internasional penyelamatan ekonomi saat ini masih terfokus pada penyuntikan modal dan penciptaan penawaran (consumer demand) masyarakat. Dalam wacana, terdapat kekhawatiran bahwa berapa banyak pun negara menuangkan dana untuk modal dan keringanan usaha, tingkat permintaan masyarakat sangat rendah karena membekunya kegiatan di banyak sektor.

Pandemi yang mengubah gaya hidup memberi kesempatan besar bagi beberapa sektor, seperti industri bahan makanan pokok, alat kesehatan, dan perdagangan daring. Sejak kerumunan dibatasi, perdagangan dan industri hiburan banyak beralih ke daring. Sehingga, penggunaan metode daring menjadi semacam keharusan untuk dapat bertahan. Metode daring menjadi semacam mantera untuk menyelamatkan perekonomian, terutama penyelamatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang mendominasi 99% lapangan kerja dan menyerap 97% tenaga kerja (Databoks, Katadata).

Terdapat kekhawatiran bahwa mode produksi dan perdagangan harus mengandalkan digital padahal banyak dari sektor industri yang belum menguasainya. Namun ada permasalahan yang lebih besar dari permasalahan di atas. Mode digital akan mempengaruhi penguasaan pasar. Banjir informasi tentang produk dan pelayanan membuat konsumen melakukan seleksi digital pada beberapa yang sudah menojol. Terjadi the winners take all, meskipun yang disebut pemenang itu beberapa habis-habisan berinvestasi untuk membangun kebiasaan konsumen.

Jadi mantera digital itu manjur untuk mengefisienkan produksi namun tidak berarti menciptakan pasar yang inklusif. Covid-19 juga merontokkan banyak perusahaan startup digital: lebih dari 40% berada dalam kondisi buruk (Katadata Insight Center)

Ekonomi sebelum Covid-19 sudah menciptakan suatu sistem ekonomi yang mengandalkan pada pekerja lepas. Justru digitalisasi mempermudah proses ini.  Secara global, tumbuh kelas pekerja lepas (prekariat)  yang tanpa jaminan sosial pekerjaan (Guy Standing, World Economic Forum 2016). 

Perusahaan-perusahaan mengurangi penyerapan tenaga kerja tetap dan menyerahkan sebagian rantai nilainya pada jasa lepas dan proses digitalisasi. Perusahaan semakin mengecil perannya sebagai institusi transformasi keahlian dan profesi. Kecenderungan digitalisasi perusahaan ini akan semakin meningkat selama dan pasca pandemi untuk alasan kesehatan.  

Halaman:
Meuthia Ganie-Rochman
Meuthia Ganie-Rochman
Sosiolog Organisasi, Universitas Indonesia
Editor: Redaksi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...