Tanah Orang Kaya yang Telantar Bisa Diambil Bank Tanah

Pingit Aria
15 November 2020, 10:00
Sofyan Djalil
Katadata/Joshua Siringo ringo
Menteri Agraria dan Tata Ruang

Undang-Undang Cipta Kerja nomor 11 tahun 2020 resmi berlaku setelah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 2 November 2020. Omnibus law ini tak putus menimbulkan polemik sejak pertama kali dicetuskan, saat pembahasan, hingga pengesahannya.

Di satu sisi, undang-undang ini dianggap merugikan pekerja. Di sisi lain, pemerintah menilai bahwa undang-undang ini adalah sebuah terobosan untuk mengatasi berbagai persoalan birokrasi dan rumitnya perizinan usaha.

Advertisement

Dalam wawancara dengan Pemimpin Redaksi Katadata.co.id Yura Syahrul pada Jumat, 6 November 2020, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil mengungkap banyak hal. Dari awal mula ide pembuatan omnibus law tercetus hingga konsep pengadaan bank tanah yang juga diatur dalam UU Cipta Kerja. Berikut petikannya:

Sebagai salah satu pencetus omnibus law, bagaimana ceritanya sampai Pak Sofyan bisa mendapatkan ide itu?

Sebenarnya omnibus law ini bukan hal yang baru. Di Indonesia pun pernah diterapkan beberapa peraturan perundang-undangan (dengan konsep yang sama), cuma tidak masif. Ketetapan MPR tahun 2000 juga menerapkan sistem omnibus. Kemudian dalam Undang-Undang Pemilu juga pernah dilakukan, beberapa undang-undang yang menyangkut pemilihan Kepala daerah, pemilihan presiden, dan pemilihan legislatif disatukan.

Hanya, pada omnibus law yang terakhir, Undang-Undang Cipta Kerja menyangkut begitu banyak undang-undang. Karena memang begitu banyak undang-undang dan peraturan yang menghambat pencipta lapangan kerja, mempersulit masyarakat, mempersulit tumbuhnya ekonomi lebih cepat, menghambat usaha-usaha kecil dan menengah atau berkembang. Kali ini disisip dari 79 undang-undang. Tentu tidak semua, pasal-pasal tertentu yang harus kita bereskan untuk memperbaiki iklim berusaha, penciptaan lapangan kerja menjadi lebih mudah.

Ide itu sekitar tahun berapa mulai ada?

Sebenarnya saya mengobrol dengan Pak Presiden itu sejak 2016 atau 2017. Presiden kan sangat berkeinginan untuk mereformasi birokrasi di antaranya penyederhanaan izin.

Kalau Anda ingat, dulu listrik byar-pet di mana-mana. Presiden ingin bikin listrik cepat. Sedangkan untuk bikin listrik perlu hampir 400 jenis izin, perlu waktu 5 tahun untuk bisa bangun PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap). Semua itu dibereskan, disinkronkan, dikurangi sehingga jumlah izin menjadi sekitar 50, tentu waktunya lebih pendek sehingga masalah listrik teratasi.

Saya suatu kali menerima keluhan dari sebuah perusahaan asing. Dia cerita bahwa perusahaan itu mengebor minyak di laut dalam, di Selat Sulawesi, tapi mengebor minyak di kedalaman sekitar 3500 meter di bawah air itu lebih mudah daripada mengurus izinnya.

Kemudian Pak Presiden melakukan berbagai reformasi. Ada paket kebijakan 1, paket kebijakan 2 kan berbagai macam. Kebijakan ekonomi sampai paket ke sekian. Sebenarnya itu dimaksudkan untuk mengurangi izin, mengurangi birokrasi.

Masalahnya, paket kebijakan tersebut bisa dibereskan kalau regulasinya di bawah UU (Undang-Undang). Kalau sudah menyangkut undang-undang, tidak bisa disederhanakan dengan paket kebijakan karena Presiden tidak boleh melanggar UU. Kalau PP (Peraturan Pemerintah) masih bisa diperbaiki oleh Presiden. Maka idenya adalah kami bikin omnibus law.

Ini sebenarnya praktik yang umum. Vietnam melakukannya pada 2007. Jadi sebenarnya konsep ini sudah terpikir pada periode sebelumnya, tapi karena ada pemilu, baru pada periode kedua Presiden Jokowi membentuk tim yang diketuai oleh Menko Perekonomian untuk merumuskan ini. Setelah draf itu jadi, disampaikan ke DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).

Bapak kan sudah pernah menduduki kursi menteri di beberapa kabinet dan pasti sudah tahu betul bagaimana sebenarnya hambatan investasi itu terjadi. Bisakah dielaborasi bagaimana masalah-masalah ini harus diselesaikan lewat omnibus law?

Sebenarnya semua menteri menyadari, semua pejabat pemerintah menyadari bahwa mengelola Indonesia ini sulitnya luar biasa karena begitu banyak undang-undang, begitu banyak peraturan.

Saya pernah cerita, waktu masih menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Presiden pernah evaluasi berapa banyak peraturan Indonesia. Ada 42 ribu jenis peraturan di Indonesia. Bayangkan dari mulai  UUD (Undang-Undang Dasar) sampai dengan peraturan di tingkat dua (kabupaten/kota), ada 42 ribu peraturan.

Hingga saya suka bercanda kalau ada negara yang bisa maju karena regulasi, di Indonesia sudah sangat maju.

Jadi sebetulnya ide omnibus law ini memang untuk lebih penyederhanaan regulasi, debirokratisasi, tujuannya untuk kemudahan usaha dan investasi?

Anda tahu tidak kalau ekonomi kita bentuknya seperti piramida: kecil di atas, besar sekali di bawah. Lebih dari 99% pengusaha Indonesia berstatus UMKM (Usaha Mikro, Kecil, Menengah). Sedangkan pengurusan izin itu sangat berat bagi usaha kecil.

Bayangkan Anda punya modal Rp 5 juta mau mengurus izin, biayanya Rp 2 juta. Hampir setengah modal Anda untuk izin.

Kalau Anda pengusaha besar, Anda investasi Rp 1 triliun, mengurus 1000 izin pun tidak akan ada masalah. Anda bisa bayar, suap, anda bisa cari lobi, tapi orang kecil tidak bisa. Oleh sebab itu, yang paling menderita selama ini adalah orang kecil, pengusaha kecil, UMKM, anak muda yang mau berusaha karena hambatan regulasi, hambatan perizinan.

Perizinan ini diubah dengan omnibus law. Anda bisa lakukan usaha apa pun selama tidak dilarang. Kalau tidak berisiko, just do it. Tinggal cari nomor induk bisnis, kemudian investasi. Kalau risiko besar, baru perlu izin.

Jadi perlu digarisbawahi bahwa kemudahan dalam berusaha ini bukan cuma berusaha untuk pemodal besar ya, Pak?

Justru yang kecil itu yang lebih penting. UMKM, koperasi, usaha rakyat itu yang lebih penting. Yang selama ini mereka tidak mampu. Kalau pengusaha besar, pengusaha dalam negeri, mereka tahu caranya (mengurus izin).

Tadi Pak Menteri juga menyampaikan bahwa sudah dibahas juga di masa Pak Jokowi periode pertama. Pertanyaannya kemudian, kenapa sekarang?

Kalau Anda tidak setuju, selalu ada alasan. Kalau dulu dilakukan, kenapa tidak sekarang, kenapa tidak tunggu periode kedua? Kalau sekarang dilakukan, kenapa tidak dulu? Kalau waktu Covid-19 dilaksanakan, kenapa tidak tunggu selesainya pandemi? Selalu ada alasan.

Tapi kalau lihat dari perspektif yang baik, dengan itikad baik, tentang mengatakan kenapa undang-undang ini diajukan zaman Covid-19?

Ini kesempatan bagi saya. Kantor ini mencoba melakukan reformasi luar biasa banyak selama Covid-19. Karena pegawai tidak bisa pergi ke lapangan untuk mengukur tanah, dan lain-lain, kami perbaiki buku tanah, digitalisasi. Dulu tidak ada waktu karena harus melayani orang begitu banyak.

Kembali ke omnibus law. Dalam keadaan biasa, anggota DPR sibuknya luar biasa, pergi ke mana-mana. Dengan adanya Covid-19, mereka bisa konsentrasi. Lewat Zoom, rapat dibuat begitu transparan.

Kemudian ada yang bilang komunikasi publik kurang, masyarakat tidak dilibatkan. Masalahnya, kalau dilibatkan, siapa yang mendengar itu? Pembahasan Undang-Undang ini disiarkan langsung oleh TV parlemen. Bisa dilihat lewat YouTube. Sangat transparan.

Kami  mengikuti dari awal, paket kebijakan ekonomi dari satu sampai 16 dikeluarkan pada periode pertama Pak Jokowi. Tapi peningkatan investasi tidak terlalu signifikan. Dibandingkan dengan Vietnam misalnya, kita juga tertinggal. Kemudian peringkat ease of doing business kita juga stagnan dua tahun terakhir. Apakah ini juga menjadi salah satu latar belakang perlunya terobosan?

Halaman:
Editor: Redaksi
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement