Risiko Investasi BUMN di Startup Digital

Transformasi digital adalah keniscayaan. Sadar atau tidak sadar kemajuan teknologi menggiring masyarakat beralih dari operasi manual ke operasi digital dengan memanfaatkan jaringan internet.
Tidak berlebihan apabila kemudian dikatakan gaya hidup digital adalah gaya hidup masa depan. Ketika seluruh aspek kehidupan di masa depan sudah digital, tidak satupun industri yang tak tersentuh oleh perkembangan teknologi digital.
Proses transformasi digital di Indonesia sudah berjalan cukup cepat. Prosesnya tercerminkan dari perubahan gaya hidup dan kemunculan berbagai startup digital.
Sepuluh tahun yang lalu belanja secara online masih tak lazim. perusahaan e-commerce juga masih sangat sedikit. Tapi kini, banyak masyarakat yang sudah nyaman belanja secara online dengan pilihan tempat belanja yang begitu banyak.
Kepastian bahwa kehidupan masa depan adalah kehidupan digital mendorong kemunculan banyak startup digital. Kisah sukses startup seperti Gojek dan Bukalapak – yang membuat pendirinya mendadak menjadi Sultan – menjadi pendorong kemunculan banyak startup digital di Indonesia.
Indonesia bahkan disebut sebagai negara dengan jumlah perusahaan startup digital terbanyak ke-5 di dunia. Merujuk laporan Startup Ranking, pada tahun 2022 Indonesia memiliki 2.346 startup digital. Bayangkan berapa jumlah tenaga kerja yang bisa diserap oleh semua startup tersebut ketika perusahaan itu sudah berkembang lebih besar.
Yang lebih membanggakan, dari sekian banyak startup digital tersebut terdapat 10 startup yang sudah tergolong unicorn, dan dua di antaranya bahkan sudah decacorn. Artinya, perusahaan startup di Indonesia memiliki valuasi yang sangat besar, lebih dari Rp14 triliun, atau bahkan lebih dari Rp140 triliun.
Meskipun selalu ada pertanyaan terkait metode yang digunakan, valuasi perusahaan startup unicorn dan decacorn tersebut sesungguhnya sangat wajar dengan mempertimbangkan potensi ekonomi digital di Indonesia.
Dengan jumlah penduduk mencapai 270 juta jiwa disertai dengan penetrasi internet dan kepemilikan mobile phone yang tinggi, Indonesia memang merupakan pasar sangat potensial. Ketika sebuah startup mampu memanfaatkan pasar digital Indonesia yang begitu besar, valuasinya akan bernilai luar biasa.
Keberadaan perusahaan-perusahaan startup unicorn dan decacorn tidak hanya memunculkan kebanggaan, tetapi juga berdampak sangat positif bagi perekonomian dan industri digital di Indonesia.
Unicorn dan decacorn mampu menarik modal asing masuk besar-besarn ke Indonesia, menciptakan banyak lapangan kerja dan menumbuh-kembangkan beribu-ribu UMKM. Unicorn dan decacorn Indonesia telah dan akan terus menjadi etalase produk-produk lokal sekaligus meningkatkan nilai merek-merek Indonesia.
Modal Asing dan Masuknya BUMN
Besarnya modal asing yang masuk ke unicorn dan decacorn di Indonesia memang kemudian memunculkan kritik tersendiri. Unicorn dan Decacorn disebut-sebut bukan lagi perusahaan Indonesia dan oleh karena itu tidak bisa lagi dibanggakan.
Kritik dan anggapan ini sangatlah tidak tepat. Di berbagai negara, penggerak startup adalah modal asing. Apalagi Indonesia yang memang sangat bergantung kepada modal asing.
Kekhawatiran akan kepemilikan asing sedikit berkurang dengan masuknya investasi BUMN di berbagai unicorn dan decacorn di Indonesia. Beberapa BUMN, baik secara langsung maupun melalui anak-anak perusahaan, sejak beberapa tahun terakhir aktif melakukan investasi di startup yang baru tumbuh atau di startup yang sudah berkembang menjadi unicorn/decacorn.
Telkom misalnya, melalui anak perusahaannya PT Telkomsel berinvestasi di Gojek, yang kemudian merger dengan Tokopedia membentuk GoTo. Investasi Telkom di GoTo cukup besar mencapai US$ 450 juta atau sekitar Rp6,75 triliun.
Selanjutnya adalah Bank Mandiri, yang pada tahun 2016 mendirikan Mandiri Capital. Melalui Mandiri Capital yang merupakan perusahaan ventura, Bank Mandiri berinvestasi di banyak startup di Indonesia.
Berdasarkan data Crunchbase, Mandiri Capital telah menanamkan modal di 23 perusahaan startup, 11 di antaranya sebagai lead investor. Beberapa portofolio Mandiri Capital sudah tumbuh menjadi unicorn yaitu Bukalapak, atau decacorn yaitu GoTo.
Tidak ketinggalan Bank BRI. Melalui anak perusahaannya BRI Ventures, perusahaan modal ventura yang didirikan pada tahun 2019, BRI melakukan investasi pada banyak startup di Indonesia. Termasuk menyulap Bank Raya (sebelumnya Bernama BRI Agro) menjadi bank digital.
Merujuk data Crunchbase, BRI Ventures telah menanamkan modal di 21 perusahaan startup, dan menjadi lead investor di 5 perusahaan yang dibiayai. Beberapa portofolio BRI Ventures yang tumbuh menjadi unicorn adalah Bukalapak dan Xendit.
Risiko Investasi
Di balik valuasi dan investasi startup yang luar biasa besar dan massif, tentu ada risiko yang pastinya tidak kecil. Terutama ketika startup dengan valuasi yang besar sudah melantai di bursa dan melibatkan begitu banyak investor ritel.
Valuasi startup tidak sepenuhnya tergambarkan dalam pergerakan harga saham. Faktor sentimen akan ikut atau bahkan dominan mewarnai pergerakan harga saham.
Risiko pergerakan harga saham startup ketika melantai di bursa ini tentu saja harus dihadapi oleh BUMN yang menjadi investor sejak awal. Termasuk oleh Telkom, BRI dan Mandiri.
Harga saham Bukalapak dan GoTo yang turun di bawah harga perdana (IPO) pasti akan memunculkan potensial loss di dalam portofolio mereka. Tetapi hal tersebut seharusnya dilihat sebagai sebuah kewajaran.
Investasi BUMN di perusahaan startup bukanlah investasi jangka pendek. Kepemilikan saham startup oleh BUMN bukan untuk dijual segera ketika harganya sudah cukup tinggi.
Kepemilikan saham startup digital oleh BUMN adalah untuk strategi jangka panjang dalam upaya membangun ekosistem digital di masa depan yang akan memberikan jaminan memenangkan persaingan.
Dengan dasar pemikiran ini, ketika sebuah BUMN melakukan investasi di startup digital, termasuk juga pada unicorn/decacorn, potential profit atau potential loss hendaknya diperlakukan hanya sebagai catatan dalam laporan keuangan, bukan sebagai ukuran kinerja BUMN, apalagi sebagai ukuran salah benar sebuah kebijakan.
Menyalahkan BUMN karena adanya potential loss dari sebuah investasi pada startup digital, akan berdampak buruk bagi masa depan startup di Indonesia. Keterlibatan BUMN dalam perkembangan startup digital akan menurun drastis, dan startup di Indonesia akan kembali bergantung kepada modal asing.
Startup yang potensial akan kembali dikuasai oleh investor asing. Jangan menjadi penyesalan apabila kelak pasar dan industri digital dikuasai oleh asing karena BUMN dibatasi pergerakannya untuk berinvestasi sejak dini pada startup Indonesia.