Karhutla dari Masa ke Masa
Kebakaran hutan dan kabut asap seperti pelanggan tetap yang selalu datang ketika musim kemarau melanda Indonesia. Bencana ini tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan dan polusi, namun mengakibatkan dampak berantai dan kerugian ekonomi yang besar.
Jika dinominalkan, kerugiannya sudah sangat besar. Namun, kebakaran hutan dan bencana asap seakan tak terbendung dan hampir selalu berulang saban tahun. Penyebabnya pun kerap menjadi perdebatan, salah satunya terkait iklim.
El Nino kerap dianggap sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia. Fenomena alam itu mengakibatkan kekeringan panjang karena berkurangnya curah hujan. Biasanya ini terjadi tiap tiga atau delapan tahun sekali, seperti pada 1997 dan 2015.
Namun El Nino hanya satu faktor, karena karhutla erat kaitannya dengan aktivitas manusia. Misalnya, banyak titik api yang ditemukan di lahan konsesi beberapa perusahaan perkebunan. Menurut Center for International Forestry Research (CIFOR), salah satu pemicunya adalah pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit.
Berdasarkan data Global Forest Watch, terdapat 179.424 titik api pada 2015. Sipongi, situs Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang khusus memonitor kebakaran hutan Indonesia, mencatat jumlah lahan yang terbakar saat itu mencapai 2,6 juta hektare.
Jumlah Titik Api (per Desember)
Sumber Data: NASA Fire Information For Resource Management System
Dalam rentang 2016 hingga 2018 memang terjadi penurunan, bahkan pernah menyentuh angka 18.217 titik api di 2017. Jumlah terendah dalam lima tahun terakhir. Namun, kembali naik pada tahun lalu dengan 87.474 titik api dan 857.755 hektare lahan yang terbakar.
Perbedaan Karhutla 1997, 2015, dan 2019
Sumber: CIFOR, KLHK, CAMS, Bank Dunia, Kemenkes, BNPB
*) Data Juni-Oktober
Pemerintah memang telah menyeret para pelaku ke pengadilan, tapi tak ada efek jera. Karhutla masih terjadi tiap tahun.
Persoalannya, menurut Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Okto Yugo Setiyo, selama ini aparat penegak hukum hanya menangkap perorangan. Ada beberapa korporasi tertentu yang tak pernah sampai ke tahap persidangan.
KLHK mengakui gertakan kepada perusahaan belum bisa membuat jera. “Memang masih dalam tahap ‘efek kejut’ dan masih ada yang terulang. Sekarang, kami lebih meningkatkan untuk efek jera,” ujar Direktur Pengawasan dan Sanksi Administrasi KLHK Sugeng Priyanto di Jakarta, Kamis (30/1).
Luas Area Terbakar Karhutla (Ha)
Sumber Data: SIPONGI KLHK
Bencana tahunan tak hanya merugikan secara ekonomi, melainkan berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Partikel dalam asap karhutla berukuran sangat kecil (kurang dari 1-2,5 mikron) dan dapat masuk lebih jauh ke dalam paru-paru. Kandungan asapnya berbeda-beda, tergantung dari jenis vegetasi yang terbakar dan cuaca saat itu.
Data Kementerian Kesehatan mencatat sekitar 425.400 orang menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada 2015. Pada 2019, angkanya meningkat hingga 919.516 orang (Bank Dunia).
Tak hanya menyerang orang dewasa, ISPA pun juga menyerang anak-anak di bawah umur akibat rendahnya kualitas udara. “Anak saya sudah mengeluh pusing, muntah di luar kewajaran dan mengeluarkan cairan kuning kental,” ujar warga Riau, Ayi Nuri pada Desember lalu.
Ayang Nurmika (42 tahun), warga Pekanbaru, Riau, mengingat kembali saat membawa cucunya ke rumah sakit tahun lalu. Cucunya yang masih berusia dua tahun sesak napas akut akibat asap, tapi tak segera tertangani.
“Mereka (pegawai rumah sakit) membiarkan cucu saya di atas meja administrasi. Tidak ada satu pun dokter jaga yang lalu-lalang menyentuhnya. Padahal badan cucu saya sudah membiru,” ujarnya.
Setelah menunggu beberapa jam, cucu Ayang mendapat kamar. Itu pun setelah seorang anggota DPRD Riau membantunya menghubungi Kepala RSUD. Ayang kecewa, karena tidak terlihat kesiapan pemerintah memberikan fasilitas kesehatan. Padahal karhutla terus berulang setiap kemarau.
Ayi Nuri Andre Labamba (36 tahun) punya cerita lain. Dia harus kehilangan anak kedua karena paru-parunya rusak parah pada 2011. Pada 2019, anak ketiganya menunjukkan gejala serupa. Anaknya yang masih kelas satu SD muntah-muntah, mengeluarkan cairan kuning setiap hari. Bergegas, dia memberikan obat sebagai pertolongan pertama.
Saat Menkopolhukam Wiranto dan Kepala Divisi Humas Polri M Iqbal mengatakan kepada awak media pada 18 September 2018, “Langit Riau baik-baik saja, tidak seperti yang diberitakan media“, Ayi terhenyak. “Kami di sini berjuang melawan maut. Sekolah sudah dua minggu diliburkan. Para pejabat itu baru beberapa hari di sini, tapi sudah berani menghakimi,” ujar Ayi.
Berdasarkan catatan Sipongi milik KLHK, luas lahan terbakar di Riau pada 2019 berkurang menjadi 90,55 ribu hektare dibanding pada 2015. Namun Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) karhutla 2019 mencapai 1.054, lebih tinggi dibanding 2015. Korban ISPA 2019 mencapai 309.883 orang, empat kali lebih banyak dibandingkan 2015.
Karhutla juga menyebabkan kematian warga sekitar. World Health Organization (WHO) mencatat ada delapan orang meninggal selama karhutla 2015 di Riau, dalam rentang usia anak-anak hingga lansia. Melansir laporan Antaranews, CNN Indonesia, dan Republika, karhutla 2019 merenggut nyawa dua kakek berusia 59 dan 69 tahun, serta satu bayi baru berusia 3 hari.
Selain itu, yang tidak bisa dielakkan juga kerugian ekonomi. Peneliti Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Riau Suwondo, mengungkap kerugian karhutla di Riau lebih dari Rp 50 triliun. Nilainya dihitung berdasarkan aktivitas perdagangan, jasa, kuliner, perkebunan, serta kerugian waktu akibat tertundanya jadwal penerbangan.
Daftar Kerugian Karhutla Riau 2015 dan 2019
Sumber: Pusat Studi Lingkungan Hidup UNRI, WHO, AntaraNews, CNN Indonesia, Republika, Kementerian LHK
Okto Yugo dari Jikalahari mengatakan kejadian karhutla berulang karena penindakan hukumnya tidak tuntas. Dia menceritakan Kepolisian sigap memproses 25 orang pelaku kebakaran, tapi berbeda terhadap korporasi.
“Pada 2015, ada 18 perusahaan yang wilayahnya terbakar, 15 di antaranya hanya mendapat Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3),” ujarnya. Polisi beralasan tidak menemukan bukti yang bisa membawa 15 perusahaan ini ke pengadilan.
Jikalahari juga melakukan pemantauan titik panas di area perkebunan milik 18 perusahaan tersebut. Temuannya, hotspot di area perkebunan perusahaan yang hanya mendapat SP3 masih tinggi dibandingkan perusahaan yang sudah menjalani persidangan.
Hasil studi lembaga Madani Berkelanjutan dan Kelompok Advokasi Riau (KAR) menunjukkan terdapat 737 titik panas di Riau. Dari jumlah tersebut, sebanyak 96% atau 709 titik berada di wilayah prioritas restorasi gambut. Bahkan, 100 titik panas berada dalam konsesi milik satu perusahaan.
Masih terjadinya karhutla di Riau perlu menjadi evaluasi semua pihak. Apalagi, Riau merupakan salah satu provinsi prioritas BRG. Target restorasi gambut Riau selama 2016 hingga 2020 adalah 997.292 hektare, dengan rincian 893.604 hektare berada di lahan konsesi dan 103.688 hektare di lahan non konsesi.
Ketika karhutla 2019, BRG telah melakukan intervensi pada 95.954 hektare area konsesi Riau. Sementara secara keseluruhan, BRG telah merestorasi 782.301 hektare atau 87,7 persen dari target restorasi areal non konsesi di tujuh provinsi. Namun, persoalan koordinasi antar-lembaga dalam implementasi restorasi masih menjadi hambatan yang berkontribusi pada lemahnya pencegahan karhutla.
Lemahnya koordinasi pelaksanaan restorasi disebut oleh Kepala Bidang Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, Jim Gafur sebagai salah satu penyebab karhutla. “Anggaran pencegahan dan penanganan karhutla masih minim, belum semua perusahaan pemegang konsesi taat aturan, oknum pemerintah daerah yang tidak kooperatif, dan target restorasi gambut belum tercapai”, ucapnya.
Meski demikian, BRG dalam keterangan tertulisnya kepada Katadata.co.id pada Juli 2020 menyebutkan, tanggung jawab pelaksanaan restorasi tidak hanya oleh BRG. Pelaksanaan restorasi di luar konsesi juga dilakukan oleh pemerintah daerah, khususnya di Riau juga dilakukan dengan Tim Restorasi Gambut Daerah (TGRD). Per Juli 2020, BRG menyebutkan sisa target areal non-konsesi untuk Provinsi Riau sebesar 7.734 hektare, yang akan dipenuhi pada tahun 2020 melalui pembangunan sekat kanal sebanyak 56 unit.
Mengidentifikasi penyebab terjadinya karhutla merupakan kunci untuk menentukan arah kebijakan pencegahan karhutla. Ada berbagai faktor penyebab karhutla di Indonesia, baik itu faktor alam maupun akibat kegiatan manusia. Beberapa yang paling sering dibahas di antaranya:
1. Perkebunan di Area GambutIndonesia merupakan negara dengan kawasan gambut terluas kedua di dunia. Data lembaga riset Global Wetlands (2019) menyebutkan Indonesia memiliki lahan gambut mencapai 22,5 juta hektare, di bawah Brasil dengan 31,1 juta hektare.
(Baca juga: Luas Gambut Indonesia Terbesar Kedua di Dunia)Gambut merupakan lahan basah yang terbentuk dari timbunan materi organik dari sisa pohon, rumput, lumut, dan hewan yang membusuk, selama ribuan tahun hingga membentuk endapan tebal. Lahan ini menyimpan 57 gigaton karbon, 20 kali lebih banyak dari hutan hujan tropis biasa atau tanah mineral. Litbang Kementerian Pertanian menyebutkan satu gram gambut bisa menyimpan 180-600 mg karbon, sedangkan tanah mineral hanya 5-80 mg karbon.
Maraknya kegiatan perkebunan di Indonesia, membuat semakin banyak area gambut yang dialihfungsikan. Perusahaan perkebunan biasanya membuat kanal-kanal untuk mengeluarkan air dari gambut. Ini dilakukan karena tanaman perkebunan seperti akasia dan sawit tak bisa hidup di lahan basah.
Gambut & Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
Hutan Tanaman Industri (IUP-HHKHTI) di Indonesia, 2019
Sumber: Auriga
Ketika lahan gambut dikeringkan, simpanan karbon terlepas ke udara. Gambut yang kering itu rawan terbakar dan apinya akan masuk sampai kedalaman empat meter di bawah permukaan tanah. Api yang mengendap bisa bertahan lama dan menjalar, sehingga kebakaran membesar.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (2015) juga World Resources Institute (2019), mencatat banyak titik api berada di wilayah konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk industri kertas, Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit.
Titik Api di Konsesi Lahan Gambut Indonesia (2019)
Jenis Konsesi | Titik Api | |
---|---|---|
2015 | 2019 | |
HTI | 5.669 | 8.347 |
HPH | (data tidak ditemukan) | 3.622 |
HGU | 9.168 | 4.587 |
Sumber: WALHI (2015) dan WRI (2019)
Dalam catatan Pantau Gambut, 53% karhutla pada 2015 terjadi di lahan gambut. Pemantauan WRI sepanjang 2019 pun menemukan ribuan titik panas di wilayah konsesi yang berada di lahan gambut. Sebagian dari titik api ini kemudian benar-benar terjadi kebakaran pada 2019.
2. Kegiatan Ladang BerpindahKegiatan ladang berpindah termasuk faktor yang kerap disebut sebagai pemicu karhutla. Sebenarnya, aktivitas ini bukanlah hal baru, karena masyarakat Indonesia melakukan kegiatan pertanian dengan sistem ladang berpindah sejak puluhan tahun silam. Kegiatan membakar lahan adalah salah satu fase untuk mempersiapkan lahan yang akan dijadikan ladang.
Salah satu contoh kegiatan berladang yang telah dilakukan masyarakat secara turun-temurun adalah merun di Riau. Namun, dalam catatan Jikalahari, tradisi merun tidak menyebabkan kebakaran secara masif. Merun biasa dilakukan di lahan mineral, sehingga api bisa cepat dipadamkan.
Masyarakat juga punya strategi agar api tidak merambat ke tempat lain. Sebelum melakukan pembakaran, mereka sudah membuat sekat air yang berjarak sekitar satu meter dari batas luar lahan yang dibuka. Api pun dijaga agar tak ada percikan yang terbawa angin ke lahan lain. Setelah lahan yang diinginkan habis dibakar, mereka akan memadamkan bara api yang masih tersisa.
Namun, pemerintah tetap berupaya mencegah pembakaran lahan untuk ladang ini. “Sudah ada beberapa terobosan, sudah dicoba di berbagai tempat, walaupun adopsinya belum sebanyak yang diharapkan,” kata Kepala BRG Nazir Foead.
Menurut Wakil Koordinator Jikalahari Okto Yugo Setiyo, kebakaran lahan dan hutan secara masif mulai terjadi saat pembukaan lahan perkebunan sawit dan akasia skala besar pada akhir 1980-an. Satu perusahaan bisa memiliki konsesi puluhan ribu hingga jutaan hektare. Saat lahan mineral habis, perusahaan dapat izin di lahan gambut.
3. Siklus Iklim dan CuacaFenomena alam El Nino ditengarai juga memicu karhutla. El Nino memanaskan permukaan air laut di wilayah Samudra Pasifik tengah hingga timur. Curah hujan kawasan Amerika Latin dan Peru akan meningkat. Sebaliknya, Indonesia akan mengalami kekeringan dan berkurangnya curah hujan. Fenomena global ini biasanya terjadi tiap tiga hingga delapan tahun sekali.
Curah hujan pada 1997, khususnya Maret hingga Desember secara signifikan berada 50% di bawah rata-rata. Estimasi curah hujan saat itu rata-rata sekitar 1.145 mm per bulan dari biasanya 2.215 mm. Puncaknya pada Juni-November, dengan curah hujan yang hanya 30-40% dari normal. Kondisi ini memicu kebakaran besar di Indonesia, khususnya di Sumatra dan Kalimantan yang merupakan area gambut.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata curah hujan pada 2015 lebih rendah dibandingkan 2011-2014. Angkanya menyentuh 1.871 mm/tahun dengan rata-rata jumlah hari hujan 144,4 hari setahun. Jumlah hari hujan pada 2011-2014 berada di kisaran 179-212,1 hari per tahun.
Curah hujan yang rendah, ditambah El Nino dan aktivitas pembukaan lahan dengan membakar, membuat karhutla tak terelakkan pada 1997, 2015, dan 2019. Musim hujan pada tahun lalu mundur sekitar 10 hingga 30 hari dari batas normal. Musim baru dirasakan mulai Oktober.
Tahun ini mungkin lebih baik. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan kemarau panjang tak akan terjadi. Ada kemungkinan El Nino tidak sampai ke Indonesia. “Diprediksi tidak terjadi musim kemarau berkepanjangan,” ujarnya pada akhir tahun lalu. Namun kewaspadaan tetap perlu ditingkatkan, karena wilayah di luar Aceh hingga Riau akan memasuki musim kemarau pada April hingga Oktober.
Pasca-2015, pemerintah telah menerbitkan tiga regulasi pencegahan karhutla. Namun, masih ada berbagai tantangan dalam implementasinya. Mulai dari nihilnya kriteria pemberian sanksi tegas kepada pelaku karhutla, hingga belum transparannya perkembangan wilayah restorasi gambut, termasuk restorasi di wilayah konsesi.
Menurut Analisis Penelitian, Pemantauan Independen Restorasi Lahan Gambut World Resources Institute (WRI) Agiel Prakoso, pemerintah sudah merespons cepat tanggap penanganan karhutla. Namun perlu meningkatkan sinergi seluruh pelaku kawasan hutan, termasuk gambut.
"Jangan sampai ada tumpang tindih regulasi dan kebijakan. Jangan sampai ada versi masing-masing kebijakan yang justru malah menegasikan kebijakan utama yang sudah dicetuskan pemerintah,” ujarnya.
Salah satu contah tumpang tindih kebijakan adalah aturan tentang pengelolaan kubah gambut. Peraturan Pemerintah Nomor 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, menyebutkan area kubah gambut dalam lebih dari tiga meter. Area ini mempunyai topografi paling tinggi dari wilayah sekitar berbasis neraca air dengan memperhatikan prinsip keseimbangan air.
Sementara, Permen LHK P.16 Tahun 2017 dan Permen LHK No.10/2019. Permen LHK P.16/2017 menyebutkan kubah gambut adalah area wajib lindung. Namun, Permen LHK No.10/2019 tentang pengelolaan gambut, tertulis area di luar puncak kubah gambut dapat dimanfaatkan.
Inpres Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan
Implementasi
- Pembuatan panduan berjudul “Rencana Mitigasi dan Adaptasi Terkait Bencana Iklim” oleh Direktorat Pengendalian Hutan dan Lahan.
- Patroli rutin.
- Kampanye, sosialisasi, dan penyuluhan.
- Pelibatan komunitas lokal.
- Pembentukan MPA (Masyarakat Peduli Api) yang bertugas memberi penyuluhan terkait karhutla.
Capaian
-
Rasio titik panas pada 2016, 2017, dan 2018 dapat ditekan. Meskipun pada 2019 kembali terjadi peningkatan titik panas.
Tantangan
- BNPB hanya berfungsi untuk pencegahan, bukan penanggulangan.
- Kegiatan pencegahan belum melibatkan lintas sektor.
- Pelaporan pelaksanaan pengendalian Karhutla belum terstandar, transparan, dan informatif. Laporan baru dibuat setelah ada gugatan dari masyarakat sipil pada 2017.
- Tidak ada kriteria mengenai sanksi tegas terhadap pelaku karhutla.
- Tidak ada penjelasan tentang lingkup dari suatu sistem pengendalian karhutla.
Siti Nurbaya
Menteri LHK
“Pemerintahan Presiden Jokowi banyak mendapat pelajaran penting dari kejadian karhutla 2015. sudah banyak langkah koreksi yang dilakukan, baik dalam bentuk kebijakan, maupun regulasi berlapis. Indonesia yang tadinya dikenal gambutnya sering terbakar, sekarang justru jadi rujukan negara lain untuk belajar.”
(PPID KLHK, Juli 2019)
Raynaldo Sembiring
Deputi Direktur
Pengembangan Program ICEL
“Pasca-karhutla 2015, Presiden membuat Inpres Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Tetapi Inpres tersebut tidak dijalankan dan diawasi dengan serius. ”
(Times Indonesia, September 2019)
Perpres No. 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut (BRG)
Implementasi
- Pemulihan hidrologi, vegetasi dan daya dukung sosial-ekonomi ekosistem gambut yang terdegradasi.
- Perlindungan ekosistem gambut bagi penyangga kehidupan.
- Penataan ulang pengelolaan ekosistem gambut secara berkelanjutan.
Capaian
- Hingga akhir 2019, luas lahan gambut telah diintervensi sebesar 778.181 hektare.
- Terdapat penurunan titik panas pada 2017 dan 2018.
- Kolaborasi dengan Kemenkumham untuk memfasilitasi pembentukan paralegal di desa peduli gambut. Serta dengan BNPB dalam pengembangan Desa Peduli Gambut menjadi Desa Tangguh Bencana.
- Terdapat 143 desa mengalokasikan total Rp 16 miliar anggaran restorasi gambut dalam APBDes.
Tantangan
- BRG tidak memberi informasi aktual terkait pelaksanaan restorasi meliputi lokasi dan luasan restorasi.
- BRG sebagai lembaga nonstruktural tidak memiliki unit kerja di daerah dan personelnya terbatas.
- Implementasi di daerah terhambat masalah birokrasi dan administrasi seperti 1) keterbatasan waktu pelaksanaan anggaran, 2) ketidakselarasan rencana restorasi Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) dengan BRG, 3) verifikasi data terhambat proses lelang, 4) pergantian kepemimpinan daerah membuat proses sosialisasi ulang rencana restorasi diulang.
- Terdapat kebijakan di level kementerian yang kontradiktif dengan restorasi gambut, seperti replanting perkebunan sawit dan pemberian izin pemanfaatan kubah gambut jika di area tersebut terdapat dua kubah.
Nazir Foead
Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG)
“Ke depannya kami percaya upaya atau solusi harus terus berlangsung karena restorasi gambut itu memang pekerjaan yang panjang, melibatkan masyarakat yang hidup dan juga perusahaan.” (Bisnis.com, Februari 2020).
Agiel Prakoso
Agiel Prakoso Analis Penelitian untuk Proyek Restorasi Lahan Gambut di WRI Indonesia
"Sebenarnya sudah ada rencana baik dari pemerintah, cuma perlu tindak lanjutnya. Jadi setelah dibangun, juga harus ada pemeliharaan, perawatan supaya itu bisa berfungsi sesuai dengan tujuan awalnya. "
Permen LHK Nomor 32 Tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Implementasi
- Patroli dilakukan guna mencegah dan menangani karhutla.
- Pemerintah dan perusahaan lakukan sosialisasi pencegahan karhutla.
- Pembangunan embung di titik yang telah ditentukan sehingga membantu penanganan karhutla.
Capaian
Beberapa Pemerintah Daerah (Pemda) dan kepolisian membangun sistem atau aplikasi yang bersifat lokal untuk memonitor karhutla di wilayah masing-masing.
Tantangan
- Tidak semua perusahaan patuh memenuhi sarana dan prasarana, seperti pompa punggung dan kendaraan khusus bagi organisasi penanganan karhutla.
- Kurangnya pemberdayaan MPA oleh pemerintah, sehingga mereka cenderung bergerak sendiri. MPA pun memenuhi pendanaan serta kelengkapan sarana dan prasarana atas inisiatif sendiri.
- Minimnya sanksi bagi organisasi pelaksana dalkarhutla yang tak menjalankan perannya.
Mahfud MD
Menteri Koordinator Bidang Politik dan Hukum
“Secara umum kami bersyukur tahun 2019 tertangani dengan baik. Apalagi, jika dibandingkan dengan negara lain yang juga punya masalah dengan karhutla.”
(PPID KLHK, Desember 2019)
Okto Yugo Setyo
Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau
“Menjelang Presiden mau datang, dibikinlah puskesmas-puskesmas menjadi posko dan membebaskan biaya pengobatan ISPA. Itu agak telat.”
Penegakan Hukum
Implementasi
- Penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan guna meningkatkan penegakan hukum di Indonesia.
- Penerapan multi instrumen hukum (sanksi administratif, pidana, dan perdata).
- Pengawasan berdasarkan data yang terus dibarui melalui SiPongi (Karhutla Monitoring Sistem).
- Patroli melalui Manggala Agni (organisasi pengendalian karhutla di tingkat pemerintah pusat) di wilayah rawan.
Capaian
- Luas kebakaran lahan pada 2019 menurun 64% dibandingkan 2015.
- Penegakan hukum 2019 secara nasional oleh Gakkum KLHK terhadap perusahaan yang terlibat karhutla (per 1/10).
- 64 disegel
- 8 tersangka
- 20 perseroan penanaman modal asing
- 3 pendaftaran gugatan
- 5 proses persidangan
- 9 proses eksekusi
- 64 disegel
Tantangan
- Koordinasi antara Pemerintah Pusat, Pemda, dan instansi lain masih kurang, sehingga saling menyalahkan berdasarkan tupoksi masing-masing.
- Proses pengawalan terhadap para pelaku yang tertangkap (perusahaan, perseorangan) masih minim. Lepas tanggung jawab ketika sudah dilimpahkan pada pengadilan dan kepolisian sehingga tidak ada transparansi jalannya proses pengadilan terhadap para pelaku.
- Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM), terutama di daerah dalam melakukan pengawasan.
- Belum ada sanksi tegas bagi Pemda ketika kasus yang sama terulang.
Sugeng Priyanto
Direktur Pengawasan & Sanksi Administrasi KLHK
“Terserahlah orang mau melihat (KLHK) tebang pilih, tapi nggak ada. Karena penegakan hukum ini ada yang dilakukan polisi, kita juga. Kita masuk ke gugatan perdatanya karena ada kerugian ekologis di situ.”
Agiel Prakoso
Analis Penelitian, Pemantauan Independen Restorasi Lahan Gambut World Resources Institute (WRI)
“Namun harus dipikirkan bagaimana kawasan yang terbakar ini jangan sampai jadi kawasan ‘tidur’, kemudian malah berpotensi terbakar di tahun mendatang. Penegakan hukum harus diimbangi dengan upaya tindak lanjutnya. ”
Berbagai dampak negatif akan muncul, jika antisipasi karhutla gagal. Di bidang lingkungan, karhutla menyebabkan menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan, menurunnya produktivitas tanah, dan meningkatkan emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global.
Presiden Jokowi menyebut kerugian akibat karhutla bisa mencapai ratusan triliun rupiah. Indonesia juga bisa rugi karena kehilangan plasma nutfah, baik flora dan fauna akibat karhutla tersebut. “Ini yang kita tidak mau, kekayaan yang tak bisa dihitung dengan nilai uang,” ujarnya dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Karhutla Tahun 2020 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (6/2).
WRI Indonesia menyebutkan karhutla dapat menghambat kemajuan Indonesia dalam mengurangi deforestasi. Padahal Indonesia merupakan satu-satunya negara yang berhasil mengurangi laju deforestasi beberapa tahun terakhir. Data yang dirilis Global Forest Watch menunjukkan laju deforestasi Indonesia menurun signifikan pada 2017 dan 2018 setelah mencapai rekor tertinggi pada 2016.
Tingkat Kehilangan Tutupan Pohon di Indonesia
(Ribu Ha)
Dari sisi ekonomi, Bank Dunia melaporkan Indonesia mengalami kerugian US$ 5,2 miliar (Rp 72,9 triliun) pada 2019, setara dengan 0,5 % Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat itu. Kerusakan langsung terhadap aset mencapai US$ 157 juta, dan kerugian dari kegiatan ekonomi mencapai US$ 5 miliar. Nilai tersebut didasarkan hitungan dampak karhutla terhadap sektor infrastruktur, pertanian, industri, perdagangan, pariwisata, transportasi, dan lingkungan.
Kabut asap yang ditimbulkan karhutla juga mengganggu kesehatan. Setidaknya, 900 ribu orang terserang penyakit pernapasan akibat karhutla 2019. Saat itu kabut asap mengakibatkan 12 bandara berhenti beroperasi, dan ratusan sekolah di Indonesia, Malaysia, dan Singapura ditutup.
Bahkan, karhutla sempat memicu ketegangan diplomatik antara Jakarta dan Kuala Lumpur. Deputi Menteri Energi, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Lingkungan, dan Perubahan Iklim Malaysia Isnaraissah Munirah Majilis dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Indonesia Siti Nurbaya saling kirim nota diplomatik pada September 2019. Nota diplomatik itu dikirim karena kedua negara saling tuding ihwal kabut asap akibat karhutla.
Kepala BRG Nazir Foead saat ditemui Katadata pada akhir Januari 2020 mengatakan kebakaran hutan dan lahan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Asap karhutla dapat menyebabkan penyakit jangka panjang. “Yang merasakan bukan masyarakat kita saja, tapi masyarakat di seberang pulau maupun di seberang negeri,” ujarnya.
Bahaya lebih besar masih mengintai jika Indonesia gagal mencegah terjadinya karhutla di masa depan. Tim peneliti Harvard University dan Columbia University dalam jurnal berjudul “Fires, Smoke Exposure, and Public Health: An Integrative Framework to Maximize Health Benefits from Peatland Restoration,” menyebutkan, jika pengendalian kebakaran hutan tidak berjalan maksimal, angka kematian dini yang ditimbulkan mencapai 36 ribu jiwa di seluruh wilayah terdampak selama 2020 hingga 2030.
Korban paling besar adalah warga yang tinggal di sekitar lokasi kebakaran. Tim peneliti memperkirakan angka kematian dini akibat paparan asap mencapai 92% di Indonesia, 7% di Malaysia, dan 1% di Singapura. Perkiraan tersebut muncul dari hasil permodelan gambut dengan skenario Business as Usual (BAU) dari Land Use and Land Cover (LULC) 2020-2030.
Permodelan LULC ini memprediksi Sumatra akan kehilangan 32% lahan gambut dan Kalimantan 21% pada 2030. Padahal, gambut memiliki peran vital karena menyimpan cadangan karbon, mengurangi emisi gas rumah kaca, hingga sumber air bersih.
Analisis WRI dalam artikel "Kerusakan Lahan Gambut Tropis Merupakan Sumber Emisi CO2 yang Terabaikan" mengungkapkan pengeringan satu hektare lahan gambut di wilayah tropis akan mengeluarkan 55 ton karbon dioksida setiap tahun. Ini setara dengan membakar 6 ribu galon bensin.
Karhutla juga menimbulkan intangible cost atau kerugian yang tidak dapat diukur berdasarkan karakteristik tertentu. Analis WRI Indonesia Agiel Prakoso menjelaskan kerugian ini seperti hilangnya hak para siswa mendapatkan pendidikan, gangguan kesehatan, gangguan pertumbuhan balita, serta kerugian dalam hal jasa lingkungan seperti udara dan air bersih.
Produktivitas masyarakat juga akan menurun. “Lama-kelamaan psikologis mereka juga berpengaruh. Mereka akan berpikir buat apa menanam jika tahun depan akan kebakaran lagi,” kata Agiel.
Hal senada disampaikan oleh Nazir Foead yang menyoroti pentingnya sinergi pada berbagai instansi terkait untuk mencegah karhutla. Tahun ini seluruh komponen terkait harus turun bersama untuk mengantisipasi karhutla. “Kami bersama KLHK, Kementan, PUPR, Kemendagri, BNPB, BMKG, BPPT, juga pemerintah daerah, perusahaan, LSM, masyarakat serta akademisi,” ujarnya.
Artikel ini diperbarui dengan tambahan data dari Badan Restorasi Gambut (BRG) pada 6 Juli 2020.
***
Proyek kolaborasi ini didukung dana hibah dari Internews Earth Journalism Network (EJN), organisasi nirlaba lingkungan hidup; dan Resource Watch, platform data terbuka yang memanfaatkan teknologi, data, dan jaringan manusia untuk menghadirkan transparansi.
Tim Produksi
PenulisJeany Hartriani, Yosepha Pusparisa, Fitria Nurhayati
EditorAria Wiratma Yudhistira, Safrezi Fitra
Teknologi InformasiFirman Firdaus, Bayu Mahdhani, Maulana, Ibnu Muhammad, Christine Sani
Desain GrafisMuhamad Yana, Dani Nurbiantoro
ProduserJeany Hartriani
MultimediaFebruantoro Anggara Muckthi, Suryo Kuncoro Adi, Praiseglory Collien Sanggor