Tidak Boleh Ada yang Tertinggal dalam Pengelolaan Hutan

Rezza Aji Pratama
25 November 2022, 13:09
Bambang Supriyanto
Katadata

Sejak diluncurkan pada 2017 silam, konsep Perhutanan Sosial kian berkembang pesat di Indonesia. Program ini memberikan dasar hukum bagi masyarakat adat untuk mengelola hutan di sekitarnya secara lebih lestari. Perhutanan Sosial juga menjadi sarana meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.

Dalam ajang COP27 di Sharm el Sheikh, Perhutaan Sosial juga menjadi salah satu isu yang dibawa Indonesia ke perundingan internasional. “Di forum itu kita mengusulkan untuk tidak memakai istilah ‘indigenous people’ tetapi ‘customary people’ atau ‘adat people,” kata Bambang Supriyanto, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, kepada Katadata.

Advertisement

Di sela-sela agenda padat COP27, Bambang menyempatkan waktu berbincang dengan Katadata untuk membicarakan soal perkembangan terkini program perhutanan sosial. Ia juga membahas soal potensi kolaborasi hutan tropis antara Indonesia, Brasil, dan Republik Demokratik Kongo yang diperkenalkan di COP27.

Berikut petikan wawancaranya:

Apa agenda Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan di COP27?

Jadi yang pertama ada yang namanya mandatory event, pra-COP27 yang diselenggarakan UNFCCC tanggal 1-4 November 2022. Nama forumnya adalah local communities, indigenous people platform (LCIPP). Itu pertemuan yang ke-8. Jadi pra itu artinya mengumpulkan pandangan dari seluruh local community dan indigenous people. Kumpul dulu, bersepakat, apa yang dibawa ke sini. 

Jadi LCIP itu sebenarnya mandat dari Article 6 Paris Agreement, bahwa untuk penurunan emisi melalui adaptasi dan mitigasi enggak ada party yang tertinggal. Harus multi pihak, harus kerjasama. Tidak hanya negara, ada juga swasta dan masyarakat. 

Nah, sementara yang bermain kan banyak pihak, oleh karena itu platform ini dibangun oleh UNFCCC sebagai forum untuk menjadi satu suara, apa yang diperjuangkan. Intinya yang diperjuangkan itu mereka [masyarakat adat] kan pola pikirnya tradisional, dia hidupnya di remote area sehingga terhadap perubahan iklim, informasinya agak ada jarak. Nah, oleh karena itu ada tiga yang disepakati di pertemuan ke-8 LCIPP. 

Apa saja yang disepakati?

Pertama, bahwa kita ingin dalam konteks mitigasi dan adaptasi membuat rencana kerja 2022-2024. Adaptasi itu seperti apa, mitigasi seperti apa. Kedua, yang menjadi concern bahwa yang namanya local wisdom, traditional forest-related knowledge itu di kaum tua sekarang. Yang namanya Dewan Adat atau tetua, itu ya biasanya orang tua-tua. Jadi ada kecenderungan dengan modernisasi, ada penurunan nilai-nilai budaya oleh kaum muda. 

Oleh karena itu yang disepakati kaum muda, youth ini bisa ditransformasikan. Kemarin kita sepakat melalui pendidikan formal dan informal. Kalau formal itu melalui local content itu di sekolah, kemudian kalau yang non formal itu melalui pelatihan dan sebagainya.

Kemudian ketiga, kesepakatan mengenai women. Jadi women itu enggak hanya di Indonesia, di seluruh dunia selalu left behind di dalam konteks local community dan adat. Kecuali di daerah-daerah tertentu misalnya kayak Padang tuh dia bisa, tetapi pada umumnya selalu left behind. Oleh karena itu kemarin kita sepakat ada dua, yang pertama bagaimana women itu bisa berperan untuk pengelolaan sumber daya alamnya. Kemudian kedua dalam konteks decision making processing

Saat ini sedang dibahas dan dinegosiasikan dengan parties, negara-negara lain dan UN bodies-nya disini. Kalau itu accepted, tiga hal ini jalan. 

Apa usulan dari Indonesia?

Kemarin kita diberi kesempatan untuk bicara di sana, dan saya membicarakan kita enggak mengenal terminologi indigenous people, tetapi kita menggunakan customary people atau adat people.

Kenapa? Karena kita itu beda dengan AS dan Kanada, kalau di AS itu bernegosiasi dengan suku Indian. Itu state by state kayak party dengan party. Kalau Indonesia kan tidak, Indonesia kan ada 1.218 suku bangsa, kemudian kita sepakat mendirikan NKRI ada UUD 45. Keberadaan adat itu diatur sepanjang mereka masih ada. Ada beberapa regulasi juga tentang pengelolaan hutan, itu mengatakan bahwa mereka bagian dari NKRI dan mereka tidak hanya di-recognized tapi juga di-acknowledge

Nah yang menjadi pertanyaan tentunya, ada tidak contoh praktis dalam konteks adaptasi dan mitigasi? Tadi malam kita bicarakan di forum paviliun dan saya bicarakan di sana. Contohnya ya, Kasepuhan itu mengenal yang namanya ruang, ada leuweung titipan, tutupan, dan garapan. Kalau titipan dan tutupan itu enggak disentuh, artinya apa? Itu conserving carbon stock. Jadi mereka dengan adatnya, local wisdom, dan traditional knowledge-nya, dia jagain kawasan itu. Artinya apa? Itu kan konservasi, karbon konservasi. 

Lalu apalagi yang karbon konservasi? Seren taun, itu padinya enggak dijual. Ada 32 varietas padi yang dari turun temurun di sana. Begitu dia panen raya di adatnya, dimasukkan ke dalam leuit, kemudian kalau dia paceklik lagi susah panen, ya sudah dia enggak jual, dia distribusikan ke masyarakatnya dan bisa ditanam kembali. 

Itu contoh yang di dalam konteks mitigasi tapi untuk conserving carbon stock. Tapi kalau enhancing carbon stock, itu ada namanya leuweung garapan, itu kan seperti agroforestry, ada tanaman hutannya, padinya, kopinya, dan sebagainya. Jadi saya pikir kalau kita membayangkan kearifan lokal itu dijaga akan berkontribusi besar.

Halaman:
Reporter: Rezza Aji Pratama
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement