RI Terima Dana Hibah Lingkungan US$ 100 Juta, Paling Banyak di Dunia
Indonesia menjadi penerima dana hibah lingkungan terbesar di dunia dari lembaga multilateral Global Environment Facility. Lebih dari US$ 100 juta akan diberikan kepada pemerintah Indonesia dalam kurun waktu empat tahun ke depan.
CEO Global Environment Facility (GEF) Carlos Manuel Rodriguez mengatakan saat ini pendanaan hibah memasuki putaran ke delapan. Selama empat tahun ke depan, organisasi menyediakan dana hibah miliaran dollar yang dikumpulkan dari 35 donor kepada lebih dari 160 negara di dunia.
“Indonesia akan menerima dana hibah paling banyak. Bahkan lebih tinggi dari Cina, Brasil, dan India,” kata Rodriguez, kepada wartawan di sela-sela agenda COP27, Senin (14/11).
Rodriguez menuturkan ini pertama kalinya Indonesia menjadi penerima dana hibah terbanyak. Kombinasi antara kekayaan alam, biodiversitas, dan ancaman perubahan iklim membuat GEF menaruh perhatian lebih kepada Indonesia. Jika sebelumnya proyek hibah banyak fokus di sektor hutan dan lahan, kali ini akan mencakup aspek yang lebih luas.
Rodriguez misalnya menyebut masalah di kawasan urban seperti polusi kimia, sampah plastik, dan air akan menjadi salah satu fokus utama. Selain itu, transisi energi dari batu bara menjadi energi terbarukan juga menjadi prioritas.
“Saya sudah bertemu dengan Menteri LHK [Siti Nurbaya Bakar] pada Januari 2022. Dia sangat mendukung,” katanya.
Menurut Rodriguez, pencapaian Indonesia di sektor lingkungan patut diapresiasi. Namun, salah satu masalah akut yang masih menjadi pekerjaan rumah terkait dengan sampah plastik. Menurutnya, saat ini sedang berlangsung negosiasi perjanjianjian internasional untuk mengatur penggunaan plastik.
Mengacu pada data GEF, Indonesia akan mendapatkan US$ 103 juta berupa hibah. Dari jumlah tersebut, sekitar US$ 82 juta akan difokuskan di proyek terkait biodiversitas. Adapun sisanya akan dipakai untuk proyek perubahan iklim (US$ 20 juta), dan degradasi lahan (US$ 1,4 juta).
Sebagai perbandingan, dalam putaran dana hibah GEF ke-8 ini, Cina memperoleh US$ 93 juta. Adapun Brasil dan India masing-masing US$ 79 juta dan US$ 89 juta.
Masuk Kas Negara
Dana hibah lingkungan GEF putaran ke-8 akan diberikan secara bertahap mulai 2022-2026. Adapun mekanismenya, GEF akan memberikan dana tersebut langsung kepada pemerintah. Carlos bercerita, GEF sebenarnya ingin agar organisasinya bisa berkolaborasi langsung dengan organisasi masyarakat sipil.
“Pemerintah [negara penerima hibah] tidak suka ide itu. Mereka selalu menolak,” kata Carlos.
Salah satu alasan utamanya menurut Rodriguez, pemerintah penerima hibah khawatir jika dana diberikan kepada LSM, dana yang akan mereka dapatkan akan berkurang. Padahal menurutnya, GEF menilai perlu investasi jangka panjang dan sistematis kepada masyarakat sipil.
“Ke depan kami berencana meningkatkan pendanaan langsung kepada masyarakat sipil,” kata Rodriguez.
Pada ajang COP27 ini, Pemerintah Indonesia juga mengumumkan telah menerima pembayaran awal senilai US$ 20,9 juta dari Bank Dunia dalam kerangka ‘Pembayaran Berbasis Kinerja’ (result based payment/RBP). Ini menjadi bagian dari program REDD+ di Kalimantan Timur, di mana Indonesia akan menerima US$ 110 juta saat verifikasi proyek akhir diselesaikan.
Dana hibah sendiri menjadi salah satu isu panas di COP27, terutama dalam konteks kehilangan dan kerusakan (loss and damage). “Kompensasi loss and damage harus berupa hibah. Kami [negara berkembang] tidak menerima pinjaman,” kata Saleemul Huq, Direktur the International Centre for Climate Change & Development, kepada Katadata.
Saat ini, para pihak di COP27 telah meluncurkan draf dokumen A Finance for Loss and Damage yang didiskusikan pada Senin (14/11). Namun, hingga saat ini belum kesepakatan soal bagaimana membiayai fasilitas Loss and Damage. Sejumlah negara berkembang yang tergabung dalam Least Developed Countries (LDCs) dan Alliances of Small Island States (AOSIS) menyebut tidak akan meninggalkan COP27 tanpa kesepakatan soal pembiayaan loss and damage.