Ekonom Khawatir Perppu Ciptaker Bisa Hambat Transisi Energi Indonesia

Amelia Yesidora
1 Februari 2023, 18:14
Foto udara area Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di wilayah Tanjung Tiram, Kecamatan Moramo Utara, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Senin (19/9/2022). PLTU berkapasitas 2 x 50 megawatt yang dibangun PT Dian Swastika Sentosa Power Kendari dengan nila
ANTARA FOTO/Jojon/wsj.
Foto udara area Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di wilayah Tanjung Tiram, Kecamatan Moramo Utara, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Senin (19/9/2022).

Centre of Economic and Law Studies menyebur Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja tidak sejalan dengan transisi energi di Indonesia. Bahkan, Perppu Ciptaker dinilai bisa menghambat investasi di energi baru terbarukan alias EBT. 

Poin krusial dalam Perppu ini terdapat di paragraf kelima, pasal 128A. Dalam peraturan ini disebutkan kegiatan pengembangan dan/atau pemanfaatan batubara dikenakan iuran produksi alias royalti sebesar nol persen. 

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira melihat peraturan ini sebagai jalan keluar alias exit strategy dari sektor batu bara dari ancaman penurunan harga batu bara. Oleh karena itu, pengusaha batu bara mulai beralih ke hilirisasi dan gasifikasi batubara. 

“Pemerintah pun memberikan insentif royalti hilirisasi 0% dari Perppu Ciptaker. Ini bertolak belakang dengan komitmen transisi energi 2060,” ujar Bhima dalam diskusi secara daring, Rabu (1/2).

Bila ditilik lebih jauh, Indonesia sudah menegaskan komitmen terkait transisi energi dan krisis iklim. Pertama, pemerintah melalui Kementerian ESDM dan PLN telah menargetkan nol emisi pada 2060. Kemudian, pada G20 tahun lalu Indonesia memperoleh skema pembiayaan transisi energi bernama Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$ 20 miliar atau setara Rp 314 triliun. Ini digadang-gadang sebagai investasi iklim terbesar untuk satu negara.

Meski begitu, laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2023 oleh IESR menemukan bahwa bauran energi terbarukan dari energi primer justru mengalami penurunan. Pada 2021, bauran EBT mencapai 11,5% dan menurun menjadi 10,4% pada 2022. Dalam periode yang sama, bauran batubara meningkat dari 39% menjadi 43%. 

Selain mengganggu komitmen transisi energi, Bhima juga menyatakan Perppu ini menciptakan ketidakpastian investasi di sektor EBT. Menurutnya, pemerintah tidak konsisten dengan target Net Zero Emission dan deklarasi di G20 di Bali. Rencana penggantian energi dari batu bara ke EBT, malah bisa terjadi sebaliknya: EBT digantikan produk turunan batubara.

“Bahkan ada mekanisme subsidi kendaran motor yang energi primernya itu dari batubara. Gasifikasi batubara juga dilakukan dengan dalih lebih murah dari LPG. Bagi mereka yang ingin memasukkan dana ke JETP tentu ini membingungkan,” ujar Bhima.

Reporter: Amelia Yesidora
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...