Kisah Sukses Hammer, 35 Tahun Beroperasi Hingga Dipamerkan Jokowi

Amelia Yesidora
6 Januari 2023, 18:32
Hammer
Dok BUMN

Presiden Jokowi dan para menteri menyempatkan diri menyambangi Mal Living World di sela-sela kunjungan kerja ke Pekanbaru pada Rabu (4/1) lalu. Malam itu, rombongan kenegaraan memasuki outlet pakaian Hammer, memilih sejumlah produk, dan akhirnya membeli sweater. 

“Ini baru saja membeli brand asli Indonesia, Hammer,” ujar Jokowi usai memamerkan sweater barunya. 

Advertisement

Kendati jenama ini diberi nama dari Bahasa Inggris, namun Hammer adalah jenama lokal yang sudah berdiri selama 35 tahun. Hammer didirikan bersamaan dengan perusahaan tekstil yang menaunginya, PT Warna Mardhika. Pendirinya adalah Eddy Hartono dan kini estafet kepimpinan perusahaan itu sudah dialihkan ke anaknya, Mario Hartono. 

Jatuh Bangun Tiga Dekade Warna Mardhika 

Mario Hartono kepada Katadata bercerita ayahnya sebenarnya justru tidak memulai bisnisnya sebagai perusahaan fesyen, tetapi manufaktur penjahitan baju. Baru beberapa tahun setelahnya, Eddy Hartono memutuskan membuat jenama pakaian untuk dijual.

Pada 1970-an,  Eddy meluncurkan Lacoupe sebelum memperkenalkan Hammer pada 1987. Namun Hammer rupanya lebih tenar ketimbang Lacoupe. Mario menuturkan nama Hammer dipilih karena dinilai sebagai kata yang kuat. Jenama ini kemudian dikenal masyarakat dengan pilihan warna berani dan makin terkenal karena dikenakan oleh berbagai publik figur.

“Hammer ini strong word dan unik di tahun 1987. Ayah saya melihat zaman dulu belum ada merek lokal yang benar-benar bikin konsep strong,” ujarnya dalam sambungan telepon dengan Katadata

Menyusul kesuksesan Hammer, PT Warna Mardhika meluncurkan jenama baru yakni Nail sekitar delapan tahun kemudian. Nail menyasar pasar pakaian laki-laki kelas menengah atas dengan menggunakan bahan linen yang lebih premium.   

Tidak berhenti dengan dua merek, pada 2007 perusahaan ini melebarkan sayapnya ke produk kaos oblong melalui jenama Coconut Island. Bila Hammer dan Nail diluncurkan oleh Eddy Hartono, Coconut Island adalah ide dari Mario sendiri. Ia bercerita, ide ini bermula saat ia dan ayahnya melancong ke Amerika Serikat pada 2008 dan menemukan bahwa kaos oblong sedang menjadi tren. 

“Ya udah, kita coba bikin brand dengan konsep t-shirt only . Tapi saya enggak mau sama dengan t-shirt distro, saya mau bikin unik, bukan cuma desain tapi juga bahannya,” jelas Mario. 

Meski mengusung tema yang berbeda, Coconut Island tidak serta merta diterima oleh ritel. Mario mengenang bahwa idealisme bahan premium berharga Rp 200.000 tidak diterima oleh pusat perbelanjaan kala itu. Belum lagi Coconut Island hanya menawarkan satu produk yakni kaos oblong.

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement