• PT Perusahaan Listrik Negara kesulitan menghidupi pembangkitnya karena keterbatasan stok batu bara.
  • Ratusan perusahaan alpa memenuhi ketentuan suplai 25 % batu bara untuk pasar domestik yang berdampak ada operasional PLTU.
  • Pemerintah melarang ekspor batu bara secara menyeluruh, termasuk bagi perusahaan yang sudah menjalankan kewajiban suplai untuk kebutuhan domestik. 

Rudy Hendra Prastowo belum genap dua tahun menjadi pimpinan di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Ia diangkat sebagai Direktur Energi Primer pada 14 Mei 2020. Sebelumnya, Rudy pernah menjabat Direktur Utama PT PLN Batubara pada periode 2017-2020.

Sebagai Direktur Energi Primer, Rudy bertugas memastikan suplai bahan bakar baik berupa minyak, gas, maupun batu bara terpenuhi bagi pembangkit PLN. Ia tidak bekerja sendirian. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membantunya melalui seperangkat kebijakan, termasuk kewajiban perusahaan batu bara menyuplai 25 % produknya untuk kebutuhan lokal. Harganya pun sudah ditetapkan US$ 70 per ton.

Tugas ini rupanya gagal ia jalankan. Pasokan batu bara untuk PLN macet. Sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) terancam tidak bisa beroperasi. Jika dibiarkan, krisis listrik mengancam Indonesia. 

Menteri BUMN Erick Thohir seakan kehilangan kesabaran. Ia mencopot Rudy dan menggantinya dengan Hartanto Wibowo. Hartanto sosok muda potensial di PLN. Ia baru berusia 45 tahun pada 31 Desember 2021 silam. 

Hartanto seharusnya tidak asing dengan operasional pembangkit listrik sebab pernah menjadi Kepala Divisi Perencanaan dan Pengembangan Korporat di PT Pembangkit Jawa Bali pada 2016.

Ia juga memahami bagaimana mekanisme suplai batu bara karena pernah jadi Direktur Keuangan merangkap Direktur Pengembangan di PT PLN Batubara. Sebelum naik sebagai Direktur Energi Primer, Hartanto merupakan pelaksana tugas Executive Vice President Risk Management di PT PLN. 

Tugas berat kini menanti Hartanto. Ia wajib menyelesaikan persoalan krisis pasokan batu bara hanya dalam waktu beberapa hari. PLN juga meminta pemasok memenuhi ketentuan hari operasional (HOP) PLTU menjadi 20 hari. Hartanto perlu memastikan para perusahaan penambang itu menaatinya.

PLTU Jawa 8
PLTU Jawa 8 (PLN)
 

Sengkarut macetnya pasokan batu bara berpangkal dari sejumlah perusahaan pemasok batu bara yang bandel. Data Kementerian ESDM menunjukkan hingga 1 Januari 2022, sebanyak 490 perusahaan belum memenuhi ketentuan 25 % domestic market obligation (DMO). Sebanyak 418 perusahaan bahkan belum sama sekali mengirimkan batu baranya ke PLN. 

Sebagian besar perusahaan ini berskala kecil dengan status persekutuan komanditer (CV) atau koperasi. Kendati demikian, ada juga perseroan terbatas (PT) dengan izin PKP2B yang belum sama sekali memenuhi ketentuan DMO. 

Sementara itu, jika mengacu pada data Kementerian ESDM, produksi batu bara sejatinya tidak menjadi persoalan. Produksi di 2021 mencapai 606,2 juta ton atau 97% dari target 625 juta ton. Realisasi ekspor 304,97 juta ton, sementara pemenuhan DMO baru 63,47 juta ton. Angka ini tidak sampai setengah dari kebutuhan pasar domestik yang ditargetkan yakni sebesar 137,5 juta ton. 

Melihat data realisasi batubara di 2021, memang ada selisih produksi yang belum dijual ke luar negeri maupun disetorkan ke PLN. Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebut sejumlah perusahaan masih menahan stok batu baranya untuk memaksimalkan untung.

Fabby menyoroti banyak perusahaan enggan memenuhi kewajiban DMO karena tergoda dengan harga jual yang tinggi. Harga batu bara acuan (HBA) per Desember 2021 misalnya mencapai US$ 159,79 per ton. Bahkan di November 2021, HBA sempat menyentuh US$ 215,15 per ton, yang merupakan rekor tertinggi sepanjang tahun.

“Jika dibandingkan dengan harga yang ditetapkan PLN sebesar US$ 70 per ton, disparitas harganya jauh sekali,” kata Fabby saat dihubungi Katadata.co.id

Perbedaan harga yang terlalu lebar membuat banyak perusahaan memilih menahan stoknya alih-alih menjualnya ke PLN. Fabby menyebut jika mekanisme harga ini tidak diperbaiki, potensi kecurangan oleh perusahaan-perusahaan batu bara bisa saja terjadi.

Fabby pun mengusulkan agar alih-alih mematok harga tetap, pemerintah harus membuat indeks harga jual batu bara bagi PLN. Harga ini tetap harus lebih rendah dari harga internasional tetapi dibuat fluktuatif. 

“Dengan begitu ongkos produksi PLN tidak meningkat signifikan tetapi perusahaan juga tidak tergoda untuk menahan stoknya,” Fabby menambahkan.

EKSPOR BATU BARA MENURUN
(ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc.)
  

Larangan Ekspor Batu Bara, Efektifkah?

Sementara kisruh soal pasokan batu bara memanas di Indonesia, otoritas Jepang juga ikut kena getahnya. Pemerintah Indonesia telah melarang ekspor batu bara per 31 Desember 2021 untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Padahal, Jepang yang kini tengah memasuki musim dingin mengandalkan pasokan batu bara dari Indonesia dan Australia. Biasanya, Jepang mendapatkan sekitar 2 juta ton jatah batu bara dari Indonesia setiap bulan. 

Sepucuk surat dari Kedutaan Besar Jepang kepada Pemerintah Indonesia menyebutkan larangan ekspor akan menghambat perekonomian dan aktivitas sehari-hari warga Jepang. Sejak larangan ekspor dirilis, setidaknya lima kapal kargo batu bara tujuan Jepang tertahan di pelabuhan.

Halaman:
Reporter: Rezza Aji Pratama
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement