• Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional mengatur Jaminan Hari Tua (JHT) bisa dicairkan jika peserta berusia 56 tahun, meninggal dunia, atau cacat tetap total. 
  • Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) diatur dalam Peraturan Presiden (PP) Nomor 37 Tahun 2021 sebagai produk turunan Undang-Undang Cipta Kerja.
  • Pemerintah telah merilis dua Peraturan Menteri untuk mengatur JKP sebelum UU Cipta Kerja ditetapkan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021.

K ementerian Ketenagakerjaanbaru saja merilis Peraturan Menteri (Permen) Nomor 2 Tahun 2022 tentang tentang Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Poin paling penting dalam beleid itu berupa perubahan ketentuan pencairan JHT. Sebelumnya, JHT bisa dicairkan saat karyawan di-PHK, aturan itu kini melarangnya. JHT baru bisa dicairkan ketika pekerja memasuki usia pensiun yakni 56 tahun.

Memang ada pengecualian dalam aturan ini. JHT, misalnya, bisa diambil sebanyak 30 % untuk membeli rumah jika masa kepesertaan pegawai sudah mencapai 10 tahun. Selain itu, JHT juga bisa dicairkan jika pekerja mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia.

Advertisement

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengingatkan program JHT memang dimaksudkan untuk kepentingan jangka panjang. "Sesuai namanya Program JHT merupakan usaha kita untuk menyiapkan para pekerja di hari tuanya, saat sudah tidak bekerja,” ujarnya dalam keterangan virtual, Senin (15/2).

Keputusan ini langsung mendapatkan respons beragam. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menolak aturan baru tersebut. Iqbal menuturkan pihaknya sudah berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta sang menteri mencabut beleid itu.

“Besok [Rabu] ribuan buruh akan turun ke Jakarta untuk memprotes aturan ini,” katanya dalam konferensi pers, Selasa (15/2).

Iqbal menjelaskan barisan buruh menuntut dua hal dalam demonstrasi esok hari. Pertama, meminta Presiden mencopot Menaker Ida Fauziyah. Kedua, meminta pemerintah mencabut Permenaker baru soal JHT dan mengembalikan ke Permenaker yang lama. “KSPI tidak pernah diajak bicara soal Permenaker No 2 Tahun 2022,” ujarnya.

Pangkal persoalan ini sejatinya berasal dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pasal 35 ayat 2 menyebutkan JHT bisa diambil apabila peserta memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menegaskan aturan sebelumnya yang memperbolehkan JHT diambil ketika peserta di PHK justru tidak sesuai dengan undang-undang. “Memang yang bermasalah undang-undangnya. Kalau mau, gugat saja UU SJSN,” katanya saat dihubungi Katadata.co.id, Senin (14/2).

Polemik soal JHT sejatinya sudah pernah bergulir pada 2015 saat Hanif Dhakiri masih menjadi Menaker. Kala itu, pemerintah merilis PP No. 46/2015 tentang Jaminan Hari Tua. Ketentuan PP tersebut juga mensyaratkan JHT hanya bisa diambil 30 % untuk membeli rumah ketika sudah 10 tahun menjadi peserta. Selebihnya, JHT baru bisa dicairkan saat peserta memasuki usia pensiun. 

Kelompok buruh memprotes kebijakan itu sehingga pemerintah melunak dan merevisi PP tersebut. "Saat itu Presiden memberikan diskresi karena memang BPJS Ketenagakerjaan ada di bawah Presiden," ujar Presiden KSPI Said Iqbal. 

BPJS
BPJS (ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/wsj.)
 

JKP Sebagai Produk Turunan UU Cipta Kerja

Keputusan pemerintah memperpanjang masa pencairan JHT ini tidak terlepas dari peran Undang-Undang Cipta Kerja yang dicap inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Menaker Ida menegaskan untuk kepentingan jangka pendek, pemerintah telah memiliki program lain, yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang akan membantu para pekerja yang terkena PHK.

JKP ditetapkan lewat Peraturan Presiden (PP) Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan. PP ini mengacu pada UU Cipta Kerja yang merevisi UU SJSN dengan menambah satu program tambahan dalam jaminan sosial.

Dalam UU SJSN 2004, Pemerintah menyelenggarakan lima jaminan sosial yakni Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, JHT, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian. Adapun dalam UU Cipta Kerja program itu bertambah menjadi enam yakni JKP.

Ada beberapa syarat agar bisa mengikuti program JKP. Bagi buruh yang bekerja di sektor usaha menengah dan besar, perusahaan harus sudah terdaftar di lima program jaminan sosial lainnya. Sementara bagi pekerja di usaha kecil, Jaminan Pensiun tidak menjadi syarat kepesertaan JKP.

Iuran JKP wajib dibayarkan dengan porsi 0,46% dari upah per bulan. Pemerintah juga wajib berkontribusi dengan membayarkan sebesar 0,22% dari total upah setiap bulannya.

Deputi Direktur Bidang Hubungan Masyarakat dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan Dian Agung Senoaji mengatakan JKP menawarkan tiga manfaat bagi para pekerja yang di-PHK. Pertama, berupa uang tunai dengan hitungan 45% dari upah tiga bulan ditambah 25% dari total upah tiga bulan lainnya.

Halaman:
Reporter: Nuhansa Mikrefin, Lavinda
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement