• Kebijakan minyak goreng satu harga dan harga eceran tertinggi (HET) berhasil menekan harga tetapi gagal menjaga pasokan.
  • Kelangkaan minyak goreng membuat pemerintah mencabut HET dan beralih memberikan bantuan uang tunai.
  • Prospek tinggi harga CPO di 2022 diperkirakan membuat kisruh minyak goreng tetap akan berlanjut. 

Suasana di Pasar Baledono, Purworejo pada Rabu (30/3) siang itu terlihat berbeda dari biasanya. Sekitar pukul 10.10 WIB, rombongan Presiden Joko Widodo merangsek di jalanan pasar yang sempit sembari membagi-bagikan kaos dan sembako. Para pedagang dan pengunjung langsung membuat kerumunan.

Presiden sempat berbelanja sembako di pasar saat kunjungan itu. Ia membawa pulang setumpuk cabai, tempe, ikan teri dan bawang dari Baledono. Setelah berbincang dengan sejumlah warga, rombongan Presiden lantas bergerak ke Pasar Tempurejo di Magelang, sekitar 34 kilometer jauhnya ke arah Utara. Tidak jauh berbeda, di Tempurejo Presiden juga langsung dikerubungi warga.

Kunjungan Kepala Negara ke pasar tradisional itu dilakukan sebelum memasuki bulan Ramadan. Presiden ingin memastikan stok bahan pokok tersedia dengan harga wajar. Fakta di lapangan berbicara sebaliknya. Harga dan stok bahan pokok lainnya memang masih terjangkau. Namun, khusus untuk minyak goreng ketersediaannya justru mengkhawatirkan.

“Minyak curah ada tetapi stoknya tidak banyak. Tadi saya lihat sisanya di situ tinggal kira-kira 2 liter,” kata Presiden setelah melihat langsung kondisi di Pasar Tempurejo.

Tidak hanya soal stok, persoalan harga juga masih menjadi persoalan. Presiden menemukan harga jual minyak curah mencapai Rp 15.500 per liter atau lebih tinggi dari angka harapan pemerintah di kisaran Rp 14.000 per liter. Minyak goreng kemasan memang sudah mulai tersedia. Namun, banderolnya bisa mencapai Rp 24.000 per liter.

Berbekal temuan di lapangan, Jokowi lantas merancang strategi baru untuk mengatasi krisis minyak goreng yang sudah berlangsung berbulan-bulan. Pada Jumat (2/ 3), Presiden mengumumkan akan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng kepada 2,3 juta orang. Ini terdiri dari 2,05 juta keluarga dan 2,05 juta pedagang kaki lima.

Pemerintah menyiapkan sekitar Rp 6,9 triliun untuk menyokong program ini. Nantinya, setiap penerima BLT akan memperoleh masing-masing Rp 100.000 per bulan untuk periode April-Juni 2022. Bantuan akan diberikan secara penuh sebesar Rp 300.000 mulai bulan ini.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan pemerintah akan merogoh kocek milik Kementerian Sosial dan dana cadangan Bendahara Umum Negara (BUN) untuk program tersebut.

"Anggaran ini akan masuk ke dalam fleksibilitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” kata Febrio.

Lantas seberapa efektif program BLT untuk mengatasi masalah minyak goreng? Sejumlah ekonom berbeda pendapat dalam hal ini. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai BLT sejatinya bisa mendorong daya beli masyarakat. Namun, menurutnya, nilai yang digelontorkan pemerintah masih terlalu kecil.

“Sekarang orang dipaksa pindah dari minyak goreng curah ke minyak goreng kemasan karena stok [minyak goreng curah] langka,” kata Tauhid.

Persoalannya, harga minyak kemasan saat ini sudah terlalu tinggi. Tauhid khawatir uang bantuan senilai Rp 100.000 per bulan sulit untuk tetap memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, distribusi BLT yang tidak tepat sasaran juga bisa menjadi masalah tersendiri.

Saat ini harga minyak goreng kemasan memang bervariasi di pasar. Sejumlah toko ritel menjualnya dengan harga Rp 24.000-Rp 26.000 per liter. Namun menurut Wakil Ketua APPSI Ngadiran, harganya bisa di mencapai Rp 29.000 di sejumlah daerah. “Bahkan ada juga yang jual sampai Rp 38.000 per liter,” katanya.

Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menilai kebijakan BLT lebih tepat diterapkan ketimbang subsidi minyak curah. Pencabutan ketentuan HET juga diharapkan bisa mengatasi kelangkaan minyak goreng yang selama ini terjadi.

“Ini [BLT] lebih baik dibandingkan subsidi yang rawan penyelewengan,” kata Piter, dikutip dari Antara.

Ekonom sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Chatib Basri menilai kontrol harga dengan memberlakukan HET memang menyebabkan kelangkaan minyak goreng. Fenomena ini juga terjadi di beberapa negara seperti di Polandia dan kawasan Amerika Latin.

Chatib juga menilai skema subsidi harga pada minyak goreng lebih banyak dinikmati masyarakat menengah atas. "Saya pikir langkah pemerintah sudah benar dengan membiarkan harganya mengikuti pasar kemudian memberikan BLT. Beban dari BLT lebih kecil dibandingkan jika memberi subsidi ke seluruh barang," kata Chatib.

Ia mengatakan, beban APBN bahkan tidak akan terlalu signifikan sekalipun jumlah penerima BLT tersebut dinaikan hingga 40 juta keluarga. Dengan hitung-hitungan penyaluran BLT diberikan sebesar Rp 100 ribu per bulan selama tiga bulan, maka kepada 40 juta keluarga tersebut hanya menyedot APBN sebesar Rp 12 triliun.

ANTREAN PEMBELIAN MINYAK GORENG CURAH
ANTREAN PEMBELIAN MINYAK GORENG CURAH (ANTARA FOTO/Didik Suhartono/tom.)
 

Bongkar Pasang Kebijakan

Program BLT minyak goreng ini menandai upaya tak berkesudahan pemerintah mengatasi krisis minyak goreng. Harga crude palm oil (CPO) yang melambung sejak pertengahan 2020 membuat perusahaan mengutamakan pasar ekspor. Akibatnya, ketersediaan stok minyak goreng di dalam negeri semakin terbatas.

Kondisi ini mulai memburuk pada awal tahun ini. Sejak Januari 2022, rak-rak minyak goreng yang melompong di toko-toko ritel jadi pemandangan biasa. Harga minyak goreng yang sebelumnya cuma sekitar Rp 14.000 untuk jenis kemasan melambung hingga dua kali lipat. Kala itu, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyebut pihaknya cuma mendapatkan jatah 1 juta liter per bulan, dari rata-rata 20 juta liter kebutuhan setiap bulannya.

Menteri Perdagangan sudah mengeluarkan berbagai jurus menangani persoalan ini. Sepanjang Januari, Kemendag sudah menerbitkan setidaknya lima beleid khusus minyak goreng.

Permendag No.1/2022 misalnya, dirilis untuk memperluas jaringan distribusi minyak goreng dengan memanfaatkan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Pemerintah juga mengatur kewajiban domestic market obligation (DMO) sebesar 20% dari volume ekspor.

Pemerintah bahkan sampai menetapkan ketentuan minyak goreng satu harga dengan kisaran Rp 14.000. Setelah berjalan beberapa waktu, kebijakan ini lumpuh seketika. Harga ‘paksaan’ dari pemerintah itu membuat stok minyak goreng tiba-tiba ludes di pasar. Masyarakat mengantre di toko-toko ritel dan pasar tradisional untuk mendapatkan minyak goreng.

Halaman:
Reporter: Andi M. Arief
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement