Segudang Tantangan Hilirisasi Nikel

Krisna Gupta
Oleh Krisna Gupta
6 April 2022, 12:45
Krisna Gupta
Katadata

Pemerintah mengklaim bahwa program larangan ekspor nikel mentah, yang mulai berlaku sejak Januari 2021, sukses karena adanya kenaikan investasi pertambangan dan ekspor produk turunan nikel. Akan tetapi, klaim ini masih prematur karena belum ada transparansi data yang relevan untuk mendukung argumen pemerintah tersebut.

Pemerintah Indonesia telah lama menginginkan nilai tambah domestik yang tinggi melalui hilirisasi produk pertambangan, terutama nikel.

Nikel merupakan komponen dominan dalam baterai listrik. Saat ini, baterai menjadi barang yang semakin penting dengan munculnya beragam perangkat digital hingga mobil listrik, yang memerlukan piranti penyimpanan energi ini.

Sebagai produsen dan pemilik cadangan bijih nikel terbesar di dunia, Indonesia memiliki peran penting dalam perdagangan nikel. Indonesia memproduksi 1 juta metrik ton nikel, atau 37% dari total produksi nikel dunia yang berkisar di angka 2,7 juta metrik ton.

Untuk memanfaatkan keuntungan ini, pemerintah melakukan larangan ekspor barang mentah demi memberi nilai tambah pada produk nikel domestik.

Pada umumnya, ekonom tidak menganjurkan intervensi pasar seperti larangan ekspor karena berpotensi mengurangi efisiensi ekonomi. Selain itu, larangan ekspor nikel mengganggu pasokan nikel global dan dapat menimbulkan konflik dagang. Akibat larangan ekspor nikel, Uni Eropa melayangkan gugatan terhadap kebijakan Indonesia ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Indonesia kini tengah menghadapi gugatan.

Hal ini menimbulkan pertanyaan, betulkah kebijakan larangan ekspor berdampak positif pada perkembangan hilirisasi produk nikel?

EKSPOR FERONIKEL MENCAPAI 247 TON
EKSPOR FERONIKEL MENCAPAI 247 TON (ANTARA FOTO/Jojon/hp.)
 

Melonjaknya investasi dan ekspor barang turunan

Proses pelaksanaan kebijakan larangan ekspor ini tidak bisa dibilang berjalan mulus. Pemerintah sebenarnya telah melarang ekspor hasil tambang pada tahun 2014. Namun, pemerintah mencabut larangan ini pada tahun 2017 karena penurunan produksi nikel, lambatnya pembangunan smelter, dan defisit neraca perdagangan.

Dengan beroperasinya sejumlah smelter di tanah air, pemerintah kembali melarang ekspor mineral khusus untuk bijih nikel kadar rendah pada tahun 2020.

Pemerintah mengklaim bahwa pelarangan ekspor bijih nikel sukses meningkatkan investasi di industri logam dasar, terutama pada smelter nikel.

Nilai investasi industri pertambangan menurun pada 2014 ketika pemerintah pertama kali melarang ekspor bijih nikel. Berkurangnya investasi di tambang adalah konsekuensi atas turunnya insentif pada sektor tersebut karena tidak dapat melakukan ekspor ke luar negeri.

Namun, angka 2021 menunjukkan bahwa investasi di industri pertambangan kembali meningkat dibandingkan tahun 2020, yang menunjukkan bahwa larangan ekspor tidak menghambat alur investasi karena pasokan yang ada tetap terserap oleh kebutuhan di dalam negeri.

Pemerintah juga mengklaim bahwa terjadi ekspor barang turunan pertambangan, khususnya nikel, seperti baja tahan karat atau stainless steel.

Seiring dengan peningkatan investasi di industri logam dasar, produksi barang-barang turunan nikel juga melesat. Naik turun penambahan kapasitas produksi barang turunan nikel mengikuti larangan di 2014, relaksasi pada 2017, dan penetapan kembali larangan ekspor nikel mentah pada 2020.

Kedua indikator ini, yaitu meningkatnya investasi dan ekspor industri hilir pertambangan, meyakinkan pemerintah untuk memperluas larangan ekspor mineral ke produk lain, seperti timah dan tembaga.

Namun, benarkah investasi dan ekspor dapat menjadi indikator yang tepat untuk menyimpulkan kesuksesan strategi larangan ekspor?

Menghitung Dinamika Nilai Tambah

Benar bahwa ekspor produk turunan nikel jauh lebih tinggi daripada ekspor bijih nikel yang hilang. Namun, jika tujuan pemerintah adalah meningkatkan nilai tambah di dalam negeri, maka pengukuran dengan menggunakan nilai ekspor produk turunan adalah kurang tepat.

Perhitungan perpindahan rantai nilai perlu dilakukan dengan lebih detail, terutama jika melibatkan kebijakan intervensionis atau campur tangan negara seperti larangan ekspor.

Halaman:
Krisna Gupta
Krisna Gupta
PhD Student at The Australian National University, Australian National University

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...