Harus Masuk 5G, tapi Tidak Perlu Terburu-buru
Pandemi Covid-19 membuat para operator telekomunikasi harus bekerja ekstra untuk melayani pelanggan. Permintaan paket data internet meningkat seiring dengan transisi aktvitas masyarakat yang kini serba online. Namun, tren kenaikan konsumsi data ini tidak berbanding lurus dengan pendapatan usaha operator telekomunikasi.
“Saat pandemi kami banyak kasih subsidi kuota,” kata Direktur Utama PT Smartfren Telecom Tbk Merza Fachys, saat berbincang dengan Katadata.
Setelah sempat mengalami turbulensi selama pandemi, bisnis operator telekomunikasi mulai terlihat cerah sejak 2021. Ini terlihat dari laporan pendapatan dan laba tahunan operator yang sudah terlihat tumbuh. Merza optimistis tahun ini bisa menjadi titik balik bagi operator.
Di tengah kesulitan pandemi Covid-19, sejumlah kabar baik muncul dari sektor telekomunikasi. Konsolidasi PT Indosat Tbk dan PT Hutchison 3 Indonesia akhirnya tuntas pada Januari 2022 silam. Selain itu, operator juga sudah memulai perlombaan untuk menggelar 5G di Indonesia.
Kendati demikian, dari empat operator saat ini, Smartfren justru masih terlihat adem ayem. Hingga saat ini, anak usaha Sinar Mas tersebut menjadi satu-satunya operator yang belum mengantongi Surat Keterangan Laik Operasi 5G. “Penggelaran 5G tidak perlu terburu-buru,” kata Merza.
Mengapa demikian? Dalam satu sesi bincang-bincang virtual dengan Redaksi Katadata, Merza memberikan pandangannya soal masa depan 5G di Indonesia. Tidak hanya itu, ia juga berbagi perspektif soal transformasi bisnis operator ke lini digital dan bagaimana penerapannya di tingkat konsumen.
Simak wawancaranya berikut ini:
Seperti apa tantangan operator terutama Smartfren di masa pandemi?
Kita baik-baik saja. Di awal-awal pandemi, tidak hanya Smartfren, juga seluruh pelaku telekomunikasi banyak sekali mengalami kendala. Terutama terkait dengan batasan waktu. Tidak boleh jalan, harus pakai surat ini-itu dan lain-lain. Walaupun sejak awal dikatakan bahwa telekomunikasi merupakan sektor yang strategis, yang diberi privilese untuk tetap beraktivitas, namun di lapangan pada saat itu belum merata.
Pada 2020, hampir seluruh operator kinerjanya menurun. Kinerja ini dari banyak aspek selain revenue, tetapi juga pembangunan, peningkatan jumlah BTS, sebaran produk, dan lain-lain pada saat itu mengalami penurunan.
Kalaupun tidak menurun dari segi nominalnya, tetapi menurun dari pertumbuhan. Jadi kalau pada 2019 mempunyai pertumbuhan cukup besar, pada 2020 pertumbuhan persentasenya tidak sebesar tahun sebelumnya. Setelah kita mulai bisa menyesuaikan diri, maka bisa dilihat pada 2021 kita kembali membukukan pertumbuhan yang cukup baik.
Trafik meningkat selama pandemi Covid-19, bagaimana dampaknya terhadap operator?
Kita banyak sekali mengubah pola kehidupan dengan cara-cara virtual atau online selama pandemi. Sehingga orang menafsirkan ini merupakan masa panen buat penyelenggara telekomunikasi.
Harus kita akui trafik memang naik. Namun dari segi revenue tidak seimbang dengan kenaikan trafik. Mengapa? Karena kita banyak sekali melakukan program-program khusus yang lebih murah, yang memberi kesempatan kepada semua pengguna untuk menggunakan lebih banyak data dengan harga yang relatif terjangkau. Artinya, harga betul-betul kita sesuaikan dengan keadaan, di mana masyarakat sedang mengalami kesulitan untuk daya belinya.
Nah, dari segi lain lagi, ada tantangan untuk menciptakan produk-produk yang mudah untuk digunakan oleh masyarakat. Jadi kita banyak melakukan perubahan terkait engagement kita dengan pelanggan. Misalnya yang tadinya harus datang ke galeri, sekarang sudah bisa online.
Yang paling banyak meningkat adalah berkolaborasi dengan para penyelenggara konten. Mengingat banyak orang kemudian diam di rumah, maka harus ada produk substitusinya.
Pak Merza singgung soal kenaikan trafik yang ternyata tidak berdampak banyak terhadap revenue. Itu karena masih ada konsekuensi dari perang harga atau bagaimana?
Kalau kita rasakan justru selama pandemi ini kita tidak melihat ada perang harga yang signifikan. Justru semangat kita hampir semua operator adalah bagaimana kita mengatasi kesulitan pandemi. Jadi kalau harga sampai diturunkan itu bukan karena perang, justru karena kita ingin membantu masyarakat.
Salah satu program terbesar yang kita lakukan adalah subsidi kuota. Itu betul-betul dari segi nilai cukup signifikan. Saya terus terang enggak inget berapa miliar rupiah nilainya. Tapi dari segi jumlah pengguna yang mendapatkan bantuan pemerintah itu cukup besar. Di Smartfren sendiri kira-kira 20% sampai 25% pelanggan kita itu mendapatkan subsidi.
Jadi bayangkan yang tadinya Smartfren menerima pendapatan dari mereka, sekarang yang kita dapatkan adalah uang dari pemerintah yang mana nilainya jauh di bawah angka yang biasa kita jual kepada masyarakat.
Jadi bisa kebayang operator-operator yang pelanggannya mayoritas adalah usia produktif belajar. Kalau sampai mayoritas pelanggan kita ada disitu, itu penurunan revenue kan lumayan. Oleh sebab itu trafiknya nambah karena kuotanya diberikan cukup besar tapi revenuenya memang tidak sebanding dengan kenaikan trafik. Jadi bukan karena praktik perang harga.
Kalau kondisi tahun ini bagaimana?
Tahun ini kita harapkan merupakan titik balik. Yang kita maksud titik balik adalah pelanggan-pelanggan baru yang tadinya masuk di saat pandemi betul betul jadi customer bagi kita.
Sekarang kegiatan fisik sudah mulai banyak dilakukan. Apakah kita meninggalkan sepenuhnya kegiatan-kegiatan yang telah menjadi biasa kemarin? Meeting virtual, ketemu virtual. Kalau itu ternyata berkurang, ini merupakan tanda-tanda bahwa akan ada perubahan kembali ke old normal. Padahal kita harapkan tadinya ketika pandemi ini mulai hilang, maka kebiasaan selama pandemi mudah-mudahan bisa tetap kita pertahankan.
Ini yang sudah efisien, ngapain kita balik lagi ke old normal, harusnya kita tingkatkan. Tapi saya melihat ini masih fifty-fifty lah, karena memang pandemi belum sepenuhnya hilang
Tadi sempat disinggung juga soal kerjasama dengan penyedia konten itu. Nah ini bagian dari shifting bisnis operator ke sektor digital?
Secara Langsung ini bukan produk operator, tapi operator bekerja sama dengan mereka [penyedia konten]. Ketika ada kebutuhan, maka kita dari operator akan memberikan jalan yang lebih pas bagi konten itu.
Ini kerja sama itu mulai dari investasinya, registrasi, sampai dengan bandwidth yang disediakan untuk aplikasi tersebut. Kalau kita kerjasama, kita berikan jalur khusus buat mereka. Ini supaya pelanggan tidak putus-putus ketika nonton film misalnya.
Jadi operator sudah berdamai dengan layanan over the top (OTT)?
Bukan berdamai. Keberadaan website [konten] ini enggak bisa dielakkan. Kita tidak ingin juga sebagai operator harus membuat konten. Konten itu kompetensinya berbeda antara penyelenggara infrastruktur atau jaringan internetnya.
Biarlah mereka yang memang berkompeten di bidang itu, yang melakukan sendiri. Kita bekerja sama mengupayakan agar internet ini berkualitas. Orang yang menikmati kontennya juga tidak akan merasa sia-sia dia berlangganan.
Ketika kita nonton film, kemudian entah putus-putus, entah lelet, pasti yang dimaki-maki operatornya. Terus dia pindah ke operator lain. Ternyata begitu juga ketika dia pindah ke operator lain. Akankah dia kembali ke Smartfren? Belum tentu. Padahal masalahnya ada di server konten misalnya. Nah, ini perlunya kita kerjasama. Maka, kalau ada server kapasitasnya kurang, kita akan kasih rekomendasi.