- Kontroversi Nikuba yang diklaim bisa mengubah air menjadi bahan bakar hidrogen mengundang diskursus soal hidrogen hijau sebagai energi masa depan.
- Pemerintah telah menandatangani kerja sama investasi pabrik hidrogen hijau dengan perusahaan Australia Fostescue Futures Industries pada November 2020 silam.
- Hingga saat ini rencana investasi energi hijau milik Fortescue masih jalan di tempat karena terhambat soal perizinan.
Nama Aryanto Misel mendadak naik daun setelah ia menciptakan alat ajaib Nikuba. Perangkat itu diklaim bisa mengkonversi air menjadi hidrogen yang mampu menggerakkan kendaraan bermotor. Nikuba, diambil dari akronim ‘niku banyu,’ yang berarti ‘itu air’ dalam Bahasa Jawa, memanfaatkan prinsip dasar elektrolisis.
Ini bukan konsep baru di ranah sains. Para ilmuwan sudah mengujicoba metode elektrolisis sejak era 1880-an. Prosesnya dilakukan dengan mengalirkan arus listrik ke dalam air untuk memisahkan hidrogen dengan oksigen. Hidrogen inilah yang nantinya alirkan ke ruang pembakaran mesin sehingga bisa mentenagai kendaraan.
Dalam proses elektrolisis, air sejatinya tidak berdiri sendiri sebagai bahan bakar tunggal. Sebab dalam proses ini tetap dibutuhkan arus listrik eksternal untuk memisahkan hidrogen dan oksigen. Dalam percobaan pada 1880 sebagai contoh, dua ilmuwan Inggris William Nicholson dan Anthony Carlisle, menggunakan baterai yang disebut voltaic pile untuk memisahkan oksigen dan hidrogen yang terkandung di dalam air.
Prinsip yang sama sejatinya juga diterapkan Aryanto lewat Nikuba. Alat ini memanfaatkan aki bawaan sepeda motor agar proses eletrolisis bisa diterapkan. Aryanto mengklaim Nikuba telah dipasang di 31 unit kendaraan dinas milik Tentara Nasional Indonesia.
Namun, di sinilah letak persoalannya. Ahli Konversi Energi dari Fakultas Teknik dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB), Tri Yuswidjajanto Zaenuri menyebut Nikuba tidak bisa menggantikan bensin sebagai bahan bakar. Pasalnya, energi yang diperlukan untuk memisahkan oksigen dan air justru lebih besar dari energi yang dihasilkan.
"Sehingga akinya bakal tekor. Mungkin bisa saja digunakan, tetapi kalau pakai yang seperti itu ya enggak akan cukup,” katanya.
Rektor Universitas Teknologi Sumbawa Chairul Hudaya punya pendapat serupa. Menurutnya, proses mengubah air melalui proses elektrolisis hingga menjadi energi sulit dilakukan.
"Untuk memecah hidrogen dari air perlu energi yang besar dan alat yang khusus," katanya kepada Katadata Jumat (6/5).
Ia mengatakan, inovasi bahan bakar untuk kendaraan sebenarnya telah banyak dikembangkan sebelumnya. "Banyak yang free energy, tapi akhirnya terkuak sebagai fake. Kalau mau fair, ini bisa dibedah bersama," ujarnya.
Investasi Hidrogen Hijau
Terlepas dari kontroversi Nikuba sebagai sumber energi ramah lingkungan, para ilmuwan dan pebisnis mulai melirik pemanfaatan hidrogen sebagai energi masa depan. Pemerintah Indonesia bahkan sudah menginisiasi rencana ambisius membangun fasilitas produksi hidrogen hijau.
Pada November 2020 silam, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menandatangani akta perjanjian kerja sama dengan Fortescue Futures Industries Pty Ltd. Ini merupakan anak usaha Fortescue Metal Group Ltd, perusahaan asal Australia milik taipan Andrew Forrest.
Perjanjian tersebut memberikan hak kepada Fortescue untuk melakukan studi kelayakan pengembangan sumber energi hijau. Dalam hal ini, Fortescue bahkan disebut memperoleh jatah hingga 60 GW untuk membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di seluruh Indonesia.
Salah satu skenarionya, Fortescue akan mengembangkan pabrik hidrogen dan amonia hijau di Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di Kalimantan Utara. Namun, Fortescue ingin memiliki sumber listriknya sendiri agar pabrik bisa beroperasi lebih efisien. Sungai Kayan di Kaltara pun dinilai bisa menjadi jawabannya.
Namun, di sinilah letak persoalannya. Sungai Kayan sudah dikavling-kavling sejak lama. Salah satu perusahaan yang sudah lebih dulu masuk adalah PT Kayan Hydro Energi (KHE) yang berencana membangun lima bendungan di Sungai Kayan. Perusahaan ini tadinya mendapatkan komitmen sokongan dana dari PowerChina.
Sayangnya, sudah satu dekade berlalu, PLTA Kayan garapan KHE belum jelas nasibnya. Sumber Katadata bercerita, penyokong dana dari Tiongkok kini sudah mundur dari konsorsium KHE. Bahkan dari lima bendungan yang ditargetkan, KHE kini baru mengantongi IPPKH untuk satu bendungan saja.
Menanggapi hal tersebut, PT KHE menegaskan masih serius mengerjakan proyek ini. Direktur KHE Khaerony mengatakan hingga 2019 pihaknya sudah menggelontorkan Rp 2 triliun untuk pengembangan proyek dan mengurus perizinan.
“Kami inginnya juga segera jalan karena pengeluaran kami juga besar. Untuk IPPKH saja kalau tidak salah kami bayar sekitar Rp 4 miliar setiap tahun,” kata Rony.
Sementara itu, kala KHE masih sibuk mengurus perizinan, sejumlah perusahaan yang terafiliasi dengan kerabat Menteri Luhut dan pengusaha Garibaldi Thohir nampaknya justru siap menyalip. Setidaknya ada tujuh perusahaan yang teridentifikasi mengincar proyek PLTA di Kayan yakni; PT Pembangkit Indonesia Alfa, PT Pembangkit Indonesia Beta, PT Pembangkit Indonesia Delta, PT Pembangkit Indonesia Epsilon, dan PT Pembangkit Indonesia Eta, PT Pembangkit Indonesia Gamma, dan PT Pembangkit Indonesia Zeta.
Dokumen AHU Perusahaan menunjukkan sejumlah nama yang dekat dengan Boy Thohir dan Luhut terlibat di tujuh perusahaan tersebut. Ini misalnya ada nama Direktur PT Adaro Power Adrian Lembong hingga keponakan Luhut, Heidi Melissa.
Sumber Katadata bercerita perusahaan-perusahaan tersebut bergerak cepat mengurus perizinan. “Mereka bahkan sudah dapat IPPKH di Kayan,” kata Sumber tersebut.
Lantas bagaimana nasib Fortescue? Sumber Katadata yang lain bercerita, rencana investasi Fortescue justru terkatung-katung. Perusahaan Australia itu sempat menemui Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara untuk menanyakan soal perizinan. Namun, Pemprov menyarankan untuk mengurus langsung ke pemerintah pusat.
Langkah Fortescue di Pemerintah Pusat hanya menemui jalan buntu. Hingga saat ini, Fortescue belum mengantongi satupun perizinan yang diperlukan untuk membangun pabrik hidrogen hijau maupun PLTA di Sungai Kayan.
Negara Adidaya Energi Hijau
Dalam kolom opininya di Katadata pada Maret silam, CEO Fortescue Futures Industries Julie Shuttleworth menyebut Indonesia bisa menjadi negara adidaya dalam energi hijau, jika memilih fokus pada hidrogen skala besar. Ia memang tidak menyinggung rencana investasi Fortescue secara khusus di Indonesia. Namun menurutnya, hidrogen dan amoniak hijau merupakan masa depan energi.
Menurut Julie, hidrogen hijau adalah bahan bakar tanpa emisi karbon. Hal ini bisa terjadi karena proses pemecahan air menjadi hidrogen hijau dan oksigen dilakukan dengan menggunakan listrik dari energi terbarukan–berupa PLTA dalam rencana Fortescue– sehingga emisinya hanyalah oksigen yang dilepas ke udara.
Penelitian Goldman Sachs memperkirakan bahwa hidrogen hijau berpotensi menciptakan pasar global senilai US$ 11 triliun dan memasok hingga 25% kebutuhan energi dunia pada 2050. “Apabila hidrogen hijau digunakan sebagai sumber energi, hasil akhirnya hanyalah air. Oleh sebab itu, hidrogen hijau adalah energi yang selama ini dinanti-nantikan oleh seluruh dunia,” kata Julie.
Menurut Julie, pada pertemuan B20 Indonesia Inception di Bali pada Januari 2022, Chairman FFI Andrew Forrest kembali menegaskan perusahaannya akan memproduksi komponen-komponen penting dari rantai pasok industri hijau di Indonesia. Ini termasuk mesin-mesin elektrolisis yang menggunakan bahan baku dari dalam negeri.
“IKN Nusantara bisa menjadi ibu kota negara pertama yang dibangun dan dipasok oleh hidrogen hijau,” kata Julie.