- Penggunaan aplikasi MyPertamina digadang-gadang bisa membatasi kuota subsidi BBM yang diperkirakan bakal habis sebelum tutup tahun ini.
- Secara teknis, aplikasi MyPertamina masih banyak memiliki problem teknis yang membuat ratingnya jeblok di Google Playstore.
- Aplikasi MyPertamina berpotensi menghasilkan big data tentang perilaku konsumen, yang bisa digunakan untuk membantu pemerintah merancang kebijakan subsidi di masa depan.
Antrean panjang mengular di salah satu Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) di Kota Depok pada Rabu sore (13/7). Sebagian besar antrean terjadi di lini penjualan Pertalite, yang didominasi oleh sepeda motor. Sementara di lini Pertamax dan Pertamax Turbo, antrean cenderung sepi.
Agus, salah seorang petugas SPBU, bercerita antrean semacam ini jamak ditemui setiap pagi dan menjelang petang. Saat berbincang dengan Katadata, Agus mengaku sudah mendengar soal rencana Pertamina membatasi penjualan BBM bersubsidi menggunakan aplikasi. Namun, hingga saat ini ia mengaku belum mendapatkan informasi soal mekanisme pelaksanannya.
“Belum ada briefing. Enggak tahu nanti gimana caranya,” kata Agus.
Selama beberapa pekan terakhir, Pertamina memang sudah gencar sosialisasi dan uji coba di beberapa daerah terkait penggunaan aplikasi MyPertamina. Ini sebetulnya bukan barang baru. Aplikasi MyPertamina sudah diluncurkan sejak awal 2017 silam. Perubahan besar dilakukan dua tahun kemudian dengan menggandeng LinkAja sebagai fitur pembayaran digital.
Aplikasi MyPertamina awalnya dipakai oleh konsumen yang ingin mengincar promo. Salah satunya lewat sistem poin, di mana konsumen yang berbelanja produk Pertamina akan mendapatkan sejumlah poin. Poin-poin ini kemudian bisa ditukarkan dengan voucher atau merchandise. Dalam beberapa kesempatan, MyPertamina juga memberikan cahsback jika konsumen menggunakan LinkAja sebagai metode pembayaran.
Sejak pertengahan tahun ini, aplikasi MyPertamina memerankan fungsi tambahan. Pertamina akan menggunakannya untuk membatasi pembelian BBS bersubsidi. Aplikasi ini digadang-gadang bisa membantu menyelesaikan beban keuangan yang ditanggung oleh Pertamina dan pemerintah.
Beban Subsidi
Pertamina cukup lama menahan harga Pertamax di kisaran Rp 9.000. Baru pada Maret 2022, ketika harga minyak mentah melonjak tak terkendali hingga tembus US$ 100 per barel, Pertamina tidak sanggup lagi menahan ledakan beban subsidi. Perusahaan pelat merah itu akhirnya menaikkan harga Pertamax menjadi Rp 12.500 per liter. Kendati demikian, Pertamina masih menahan harga Pertalite dan solar masing-masing di kisaran Rp 7.650 dan Rp 5.150.
Sayangnya, harga minyak terus meroket. Pada Juni 2022 misalnya, rerata harga Indonesian Crude Price (ICP) mencapai US$ 117,62 per barel. Ini membuat Pertamina kian kelimpungan menahan menambal selisih subsidi BBM eceran.
Pertamina akhirnya tidak punya pilihan selain mengerek harga BBM nonsubsidi. Keputusan ini resmi diambil pada 10 Juli lalu, di mana harga Pertamax Turbo naik dari Rp 14.500 menjadi Rp 16.200 per liter dan Dexlite naik dari Rp 12.950 menjadi Rp 15.000.
Kendati demikian, menurut Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, BBM RON tinggi seperti Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertadex hanya berkontribusi sekitar 3% terhadp penjualan bahan bakar. Sebagian besar penjualan BBM masih didominasi Pertamax dan yang paling utama adalah Pertalite.
Pemerintah dan Pertamina sejatinya sudah mengalokasikan 24,05 juta kiloliter (KL) subsidi untuk Pertalite, kemudian 15,8 juta KL untuk solar, dan 0,48 KL untuk minyak tanah. Faktanya, kuota BBM subsidi ini tergerus dengan cepat.
Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman mengatakan lebih 50% dari total kuota BBM subsidi tahun ini sudah habis dikonsumsi. Rinciannya, sebanyak 13,26 juta KL untuk Pertalite dan 7,73 juta KL untuk solar.
“Kalau tidak kita lakukan pengendalian maka [BBM] subsidi akan habis pada Oktober atau November,” kata Saleh.
Demi menahan agar kuota BBM tahan lebih lama, Pertamina pun berencana membatasi pembelian bahan bakar menggunakan aplikasi MyPertamina. Saleh mengatakan kemungkinan besar Pemerintah akan melarang mobil berkapasitas 1.500 cc hingga 2.000 cc untuk membeli BBM bersubsidi. Menurut hitung-hitungan Saleh, ada sekitar 7 juta unit kendaran di segmen ini yang seharusnya tidak berhak mengonsumsi BBM subsidi.
Sementara itu, meskipun Pertamina sudah melakukan uji coba di sejumlah daerah, kebijakan ini belum bisa diterapkan sebelum pemerintah menetapkan payung hukum. Saat ini penyaluran BBM subsidi diatur lewat Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.
Namun, beleid itu masih punya celah karena belum mengatur soal digitalisasi. “Pemerintah harus bergerak cepat menyiapkan payung hukum agar pengguna BBM subsidi tepat sasaran,“ kata anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS, Mulyanto, Jumat (8/7).
Tidak Signifikan
Kendati terlihat menjanjikan, sejumlah ekonom pesimistis terhadap kebijakan pembatasan BBM menggunakan MyPertamina. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Tallatov menilai kebijakan penggunaan MyPertamina bukan solusi utama untuk mengendalikan BBM bersubsidi.
“Tapi sebagai inisiasi awal, saya melihat ini cukup positif untuk menyiapkan ketika pemerintah merilis revisi Peraturan Presiden,” kata Abra pada Katadata.
Dalam perhitungan Abra, potensi penghematan kuota BBM dengan aplikasi tidak terlalu signifikan. Ia merinci dari kuota Pertalite sebanyak 23,05 juta KL, ada potensi kelebihan kuota sebanyak 5,45 juta KL. Dari jumlah tersebut, Abra memperkirakan penggunakan aplikasi MyPertamina hanya bisa menekan overkuota menjadi sekitar 3,6 juta KL saja.
Dengan angka tersebut, Abra memperkirakan pemerintah harus menambah anggaran senilai Rp 20,6 triliun untuk kompensasi kuota Pertalite dan Rp 19,25 triliun untuk penambahan kuota solar.
“Ada total dana senilai Rp 39,85 triliun yang perlu disiapkan untuk kompensasi, bila tidak ingin terjadi kelangkaan BBM pada November seperti yang diperkirakan BPH Migas,” kata Abra.
Abra mengatakan saat kuota habis, Pertamina tidak punya kewajiban lagi menyediakan BBM dengan harga penugasan. Padahal di sisi lain, Pertamina bahkan tidak mudah menetapkan harga jual Pertamax mendekati harga keekonomiannya.
“Artinya harus menanggung rugi juga,” kata Abra.
Senada dengan Abra, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan subsidi yang berorientasi kepada barang dapat mengarah pada jebolnya keuangan negara. Maka dari itu, subsidi yang berorientasi pada orang atau penerima manfaat harus dilakukan untuk membendung harga minyak mentah dan gas dunia yang masih tinggi.
Menurut pengamatan Mamit, mayoritas penyaluran BBM saat ini bermasalah dan tidak tepat sasaran, karena mengarah pada masyarakat menengah ke atas.
“Untuk solar bahkan saya prediksi 80% salah sasaran, karena yang beli saat ini adalah mereka pengusaha perkebunan dan pertambangan yang seharusnya tidak layak mendapat harga solar subsidi,” kata Mamit pada Katadata.
Kurang Diminati
MyPertamina tampaknya kurang mendapatkan sambutan positif dari masyarakat. Rating aplikasi ini di Google Playstore anjlok hingga 1,2 bintang saja. Berbagai ulasan negatif juga muncul, yang membuat pamor aplikasi ini kian memburuk.
Beberapa komentar misalnya mengeluhkan tidak bisa melakukan registrasi di aplikasi MyPertamina. Ada juga yang mengeluhkan soal teknis pembayaran melalui LinkAja yang masih sering bermasalah.
“Kalau mau memaksa orang pakai aplikasi ini, setidaknya buatlah yang aplikasi yang bagus dan berfungsi,” keluh, salah seorang pengguna MyPertamina di Playstore.
Menurut Ekonom Indef, Abra Tallatov, narasi yang muncul dari pemerintah bersifat pemaksaan untuk menggunakan BBM subsidi. Ia menyarankan Pertamina agar menggunakan metode yang lebih bersifat promotif agar masyarakat mau menggunakan aplikasi ini.
“Misalnya ada program bonus, cashback, dan sebagainya, sehingga masyarakat berbondong-bondong secara sukarela mau meng-install dan submit data mereka,” tutur Abra.
Agar bisa mendapatkan jatah kuota subsidi, masyarakat harus melakukan pendaftaran melalui laman subsiditepat.mypertamina.id atu lewat aplikasi MyPertamina. Pendaftaran juga bisa dilakukan dengan mendatangi SPBU terdekat. Setelah mendaftarm masyarakat akan memperoleh QR COde yang bisa dipakai untuk membeli BBM.
“Bagi yang tidak memiliki smartphone QR Code-nya di print, dilaminating lalu ditempel saja ke kendaraannya,” kata Direktur Utama Pertamia Nicke Widyawati.
Sementara itu, Spesialis Keamanan Teknologi Vaksincom Alfons Tanujaya ragu bahwa aplikasi MyPertamina siap digunakan untuk penyaluran BBM. Pasalnya, aplikasi ini membutuhkan proses dalam pengembangannya, seperti membuat versi beta, evaluasi bug hingga penyempurnaan.
“Ini membutuhkan waktu beberapa bulan,” kata Alfons, kepada Katadata.
Penggunaan aplikasi MyPertamina, sebetulnya bukan cuma dimaksudkan untuk membatasi penyaluran BBM subsidi. Menurut Sales Area Manager Karawang PT Pertamina Patra Niaga, Jimmy Wijaya, aplikasi MyPertamina juga bisa membantu untuk menghasilkan big data yang bisa membantu pemerintah mengalokasikan subsidi tepat sasaran.
Dalam kolom opininya di Katadata yang dimuat pada Selasa (12/7), Jimmy menuturkan data dari MyPertamina bisa menggambarkan customer behavior untuk mengetahui sejauh mana kebutuhan seseorang terhadap konsumsi BBM.
“MyPertamina bisa menjadi platform untuk semua kalangan. Yang tidak kalah penting, masa depan MyPertamina akan memberi petunjuk untuk menjalankan transisi energi,” tulis Jimmy.