Ekonomi Indonesia Bagus, Investor Besar Akan Tetap Masuk ke Startup

Gabriel Wahyu Titiyoga
18 Juli 2022, 16:23
Italo Gani
Katadata

Publik tersentak ketika sejumlah perusahaan rintisan di Indonesia merumahkan puluhan hingga ratusan orang pegawainya. Industri startup yang beberapa tahun terakhir menjadi primadona ikut tersengat krisis ekonomi global.

Investor dan venture capital (VC) yang biasanya jor-joran menggelontorkan uang mulai terlihat lebih berhati-hati. Pendanaan terhadap startup memang masih terjadi, tetapi hanya perusahaan yang jelas dan terukur model bisnisnya yang punya kesempatan menampung dana segar.

“Saya melihat yang terjadi saat ini hal yang wajar. Semacam kalibrasi dari sebuah industri,” kata Managing Partner Impactto, Italo Gani. 

Italo adalah pemain veteran di industri startup. Ia sudah malang melintang di industri ini sejak 20 tahun silam, dengan memegang posisi strategis di sejumlah institusi bisnis. Kepada Katadata, Italo banyak memberikan gambaran soal tren dunia startup, kondisi terkini, hingga nilai-nilai krusial yang harus dimiliki perusahaan rintisan agar bisa bertahan. 

Berikut petikan wawancaranya:

Belakangan ini marak startup melakukan PHK besar-besaran yang disinyalir sebagai dampak fenomena bubble burst. Bagaimana Anda menilai situasi ini? 

Kalau kita melihat bubble burst itu sebenarnya sudah kejadian beberapa kali di dunia. Dulu ada yang namanya dotcom crash tahun 2000. Periode 1998-2000 itu ada beberapa startup Indonesia yang kena efeknya. Dulu ada Indo.com, Asia Getway, entah apakah masih familiar atau enggak sekarang. Dalam seminggu, some of the companies are closing down

Tapi tahun 1998-2000 dulu itu kan, apalagi untuk startup Indonesia, belum ada mobile internet. Mulai masuk Indonesia sekitar 2005-2007 dengan 3G. Jadi fundamentalnya belum kuat. 

Kemudian periode 2015-2017 juga ada masa-masa banyak investasi di e-commerce, banyak yang enggak stabil juga terjadi. Di situlah muncul istilah-istilah seperti winter, unicorn, dan lain-lain. 

Kalau sekarang saya rasa sangat wajar karena secara makro ekonomi di dunia sedang ada krisis akibat perang Rusia-Ukraina. Sehingga para LP (Limited Partners) dari VC (Venture Capital) juga sangat selektif untuk investasi di VC. Lalu VC sendiri juga sangat selektif untuk invest di startup

Sebenarnya bukan hanya sekadar VC yang selektif. Akhir-akhir ini di Indonesia fenomena startup berkembang sangat cepat. Banyak VC-VC baru, banyak orang yang tiba-tiba menjadi angel investor, datang dengan good money tapi mungkin belum memiliki pendekatan untuk memilih produk yang tepat. 

Perlu diperhatikan juga di Indonesia ini industri startup masih tergolong baru jika dibandingkan dengan di US market. Mungkin tertinggal 10 tahun dibanding Amerika. 

Jadi, sebagai orang yang cukup lama berkecimpung di dunia startup, saya melihat apa yang terjadi sekarang ini adalah hal yang sangat wajar. Ini hanya semacam kalibrasi dari sebuah industri, naik-turunnya sebuah industri. 

Karena saya sudah sering mengalami masa seperti ini, maka akan kelihatan startup yang punya real product yang mencapai sebuah market product fit yang benar-benar memberikan value ke ekosistem, baik itu B2B atau B2C, dia akan survive dan menikmati masa-masa keemasan startup

Infografik_Bisnis startup diguncang bubble burst
Infografik_Bisnis startup diguncang bubble burst (Katadata/ Nurfathi)
 

Startup yang punya real value itu di sektor apa saja? 

Sebenarnya tidak tergantung pada sektornya. startup itu adalah company yang dituntut mengeluarkan inovasi di satu existing business. Inovasinya itu ada dua: dari consumer journey atau user experience dan bussiness model. 

Kita ambil contoh Gojek. Dulu sebelum ada Gojek, kita melakukan transportasi kan masih manual.  Setelah ada Gojek, kita pakai aplikasi. Gojek pun tadinya tidak punya armada, makanya pakai satu bussiness model yang namanya shared economy. 

Proses inovasi ini yang akhirnya menciptakan value di satu ekosistem. Ada efisiensi. Karena kita bisa lihat ada banyak banget ranah yang tidak efisien, ada bisnis yang dari hulu ke hilirnya ada gap, middle man, yang membuatnya tidak efisien. 

Jadi the whole startup ecosystem itu biasanya menciptakan transparansi. Kayak kita ngomongin Gojek, ada transparansi ketika order makanan, transportasi. Traveloka juga ada transparansi dalam booking tiket pesawat. Dulu kan kita nggak bisa tahu langsung harga tiketnya berapa. Kita enggak bisa kontrol mau beli, booking, refund, segala macam. Sekarang bisa lewat aplikasi. 

Ruangguru juga begitu, bagaimana kita bisa ikut bimbel. Kalau dulu kan tergantung lokasi, dekat enggak dengan bimbelnya, atau ada enggak bimbel di kota gue. Terjadi sebuah transparansi dan ini menjadi sebuah efisiensi dari prosesnya.  

Apakah benar bisa mencapai efisiensi itu biasanya dilihat dari produk market fit. Ini banyak orang bilangnya sebuah jargon. Tapi para founders ketika memulai startup, mereka melihat sebuah masalah. Ada inefisiensi. Dengan masalah itu mereka membuat user experience dan bussiness model baru dan meluncurkan (produknya). Setelah launching, mereka lihat di market apakah user pakai atau tidak. Biasanya user yang punya pain point (masalah yang dihadapi) ini maka dia akan pakai terus. Apalagi kalau efeknya besar, dia akan terus pakai. 

Apakah startup seperti ini sudah mencapai product market fit

Biasanya startup butuh waktu karena pada dasarnya dia adalah sebuah proses inovasi, R&D. It takes time bagi mereka untuk melakukan iterasi pada produk mereka sehingga bisa mencapai product market fit. 

Bayangkan ketika Covid-19 tidak ada Tokopedia, Halodoc, Gojek, Indonesia kayak apa? Tiga perusahaan ini kan dibangun bukan gara-gara Covid-19. Mereka bahkan enggak tahu sama sekali bakal ada Covid.  Ketika ada Covid, semua yang punya jualan makanan itu bisa tetap berjualan, orang yang perlu akses kesehatan tetap bisa mengaksesnya. Mereka yang butuh ke sekolah tetap bisa belajar, dengan Ruangguru misalnya. Orang tetap bisa berjualan lewat Tokopedia. 

Jadi itu sudah jelas memberikan efek efisiensi yang sangat besar. Karena perusahaan-perusahaan tradisional enggak siap di situ. Jadi ujungnya adalah bagaimana mencapai product market fit, sehingga bisa secara berkelanjutan bisnis ini bergerak. 

Bagaimana dengan banyaknya sorotan terhadap masalah PHK masif dari startup

Kalau masalah PHK menurut saya terjadi juga besar-besaran di perusahaan tradisional. Di Unilever misalnya. Menurut saya, ini terlalu dibesar-besarkan soal PHK di startup. Kalau dibandingkan jumlah PHK-nya di perusahaan tradisional bisa lebih besar. 

Halaman:
Reporter: Gabriel Wahyu Titiyoga
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...