Indonesia Harus Memperkuat Fasilitas Kesehatan Primer

Rezza Aji Pratama
11 Agustus 2022, 17:20
Harya Bimo Klinik Pintar
Katadata

Indonesia saat ini memiliki sekitar 26.000 fasilitas kesehatan, termasuk Puskesmas, klinik, dan rumah sakit baik milik swasta maupun pemerintah. Sayangnya, puluhan ribu faskes tersebut belum terintegrasi. Rekam medis digital belum jamak digunakan sehingga pasien seringkali kesulitan saat harus berpindah klinik atau rumah sakit.

Startup Klinik Pintar melihat paintpoint itu sebagai peluang. Ketika didirikan pada 2018 silam, perusahaan sebetulnya fokus menggarap segmen software as a service untuk rumah sakit. Namun, model bisnis ini rupanya kurang berjalan baik. Para founder pun akhirnya mengubah arah perusahaan dan mulai fokus mengembangkan digitalisasi klinik.

Advertisement

“Kami ingin klinik-klinik ini terintegrasi secara digital dan berkembang secara bisnis,” kata CEO Klinik Pintar Harya Bimo, ketika berbincang dengan Katadata. 

Pada November 2021, Klinik Pintar akhirnya memperoleh pendanaan Seri A senilai Rp 58 miliar. Bimo menuturkan ia akan menggunakan dana ini untuk mengembangkan tim dan mengintegrasikan lebih banyak klinik ke sistem perusahaan. 

Kepada Katadata, Harya Bimo banyak bercerita soal tantangan membangun Klinik Pintar, juga bagaimana perusahaan akan mendukung ambisi Pemerintah mengintegrasikan faskes di seluruh Indonesia.

Berikut petikan wawancaranya:

Apa yang mendorong Anda mendirikan Klinik Pintar?

Jadi saya tuh dulu memang kan bidangnya IT. Klinik Pintar ini perusahaan ketiga saya. Perusahaan pertama, saya membangun teknologi untuk perusahaan lain. Jadi ada product development, user experience, digital marketing, dan seterusnya. Perusahaan kedua saya itu co-founder dari satu aplikasi namanya Qasir.

Saya akhirnya keluar dari aplikasi itu dan membuat Klinik Pintar karena saya punya misi pribadi di sektor kesehatan. Sebelum ibu saya meninggal, dia terkena tumor otak dan diabetes selama 8-10 tahun. Itu di tempat tidur enggak bisa kemana-mana dan kondisinya buta pada masa itu. Jadi kita kalau ke rumah sakit itu ribet banget karena harus pakai ambulans. Dua hari sebelumnya sudah harus siap-siap.

Yang paling ribet bagi kami itu adalah rekam medis. Jadi dulu kalau ke dokter harus bawa seluruh hasil rontgen. Mungkin ada 15 rontgen yang harus dibawa termasuk rekam medis yang ditulis supaya dokter bisa memeriksa dengan baik.

Ada satu momen saat ibu saya di rawat, dokternya menyerah. Ketika saya mau bikin aplikasi second opinion di rumah sakit lain, mencari dokternya susah karena rekam medisnya enggak dilepas sama rumah sakit. 

Akhirnya kita sekeluarga harus ambil keputusan yang sangat besar. Pada saat itu berisiko ketika kita pindahkan bisa jadi ada masalah. Akhirnya kita pindahkan ke salah satu rumah sakit di luar Kota Jakarta dan bisa dioperasi. Ibu kami masih bisa bersama dengan kami 2-3 tahun setelah itu. 

Dia akhirnya meninggal karna memang sudah takdir Tuhan, tapi itu yang menyebabkan saya punya misi pribadi buat menghubungkan data kesehatan. Kenapa sih kita enggak pakai rekam medis digital dan engak bisa terkoneksi dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain. Itu sih pesan yang ingin saya sebarkan ke semua orang, bahwa kalau kita ini di Indonesia sudah terhubung, ini makin banyak manfaatnya buat pasien.

Jadi sebetulnya model bisnis Klinik Pintar seperti apa dan painpoint apa yang hendak disasar?

Jadi painpoint-nya sebenarnya kan di Indonesia ini kita melihat banyak anggaran kesehatan itu larinya ke kuratif, buat menyembuhkan orang yang sakit. Nah, Klinik Pintar sudah menyadari ini sejak awal, jadi kita memang fokus di kesehatan primer. Kita lihat sekarang ada tren di seluruh dunia, negara-negara maju itu justru kesehatan primernya kuat, karena dari kesehatan primer, di klinik dan puskesmas di Indonesia bisa mencegah dulu jangan sampai orang sakit diabetes, jangan sampai orang sakit jantung. Jadi akhirnya secara overall, budget kesehatan Indonesia bisa terkontrol.

Selain itu, kalau kita ke kota-kota tier 2 dan tier 3 agak susah ke rumah sakit. Jadi klinik dan puskesmas jauh bisa lebih diakses oleh masyarakat dibanding ke rumah sakit. Selain juga lebih terjangkau. Ternyata di klinik itu bisa 145 dignosa ditangani tanpa harus dirujuk ke rumah sakit.

Sebenarnya sistem jaminan kesehatan nasional itu kan enggak boleh langsung ke spesialis. Jadi kami merasa Indonesia perlu memperkuat sistem kesehatan primernya sehingga ke depan Indonesia juga bisa lebih maju.

Lalu kalau misalnya kita lihat ke klinik-klinik, nah ini paintpoint-nya klinik ya. Jadi klinik itu benar-benar terfragmentasi banget. Fasilitasnya kadang-kadang kumuh, orang jadi malas ke klinik. Lagipula masih belum terdigitalisasi, jadi semuanya masih manual mulai dari pendaftaran, penjadwalan dokter, rekam medis, transaksi, semuanya manual. 

Nah ini yang Klinik Pintar pertama kali mencoba untuk mendigitalisasi klinik dulu, jadi kita punya sistem Klinik Operating System (OS) yang bisa dipakai oleh klinik-klinik di seluruh Indonesia. Setelah mereka pakai sistem kami, mereka bisa mendigitalisasi, kami bantu operasional kliniknya. Lalu kita kembangkan bisnis kliniknya bersama dengan si owner klinik.

LAYANAN KESEHATAN POSYANDU PRIMA
LAYANAN KESEHATAN POSYANDU PRIMA (ANTARA FOTO/Didik Suhartono/rwa.)

Jadi juga sampai menyentuh ke aspek bisnisnya?

Iya, karena banyak pemilik klinik masih bingung mengembangkan bisnisnya. Kebanyakan pemilik ini adalah dokter-dokter, jadi dokter berpraktik tapi banyak yang tidak bisa mengembangkan kliniknya. 

Jadi itu business modelnya. Tentunya kalau klinik berkembang ya kita juga dapat revenue. Jadi kita ada revenue sharing. Ada juga beberapa klinik yang kita operasikan bersama dengan model profit sharing. 

Anda sempat menyebut soal digitalisasi klinik, bagaimana modelnya?

Digitalisasi klinik itu jadi mulai dari pasien booking lewat sistem kita. Kita memang enggak menyediakan aplikasi khusus di-download karena di daerah orang enggak pakai aplikasi. Mereka banyak pakai WhatsApp, jadi kita sistem booking-nya pakai WhatsApp. Habis itu datang ke klinik, mereka tinggal bilang mau pakai BPJS atau private insurance lain kalau ada, atau bayar tunai. 

Dari situ mereka udah bisa antre dan sistem antrean itu diatur by system. Jadi setiap 15 menit itu disiplin ya. Orang nunggunya juga enggak lama. Lalu masuk ketemu dokternya, itu dokternya masuk ke rekam medis digital, ke sistem. Jadi enggak pakai ambil berkasnya lagi. Habis itu dapat obat, kalau di Klinik Pintar itu bayar sudah dapat obat generik. Jadi ke farmasi juga pakai digital, lalu pulang.

Kalau mau konsultasi lagi enggak bisa ke klinik, bisa telekonsultasi pakai video. Begitu kira-kira digitalisasinya. 

Sistem semacam ini sudah banyak diterapkan di rumah sakit besar, tetapi belum jamak di klinik ya?

Betul.

Pengalaman selama ini mengembangkan bisnis klinik, sebetulnya apa sih tantangannya?

Pertama adalah business development. Kebanyakan kllinik-klinik enggak punya tim business development, sales, dan marketing. Jadi layanan mereka itu-itu saja.

Jadi kita akan bantu mereka mengembangkan layanan baru. Kita di sini yang akan membangun layanannya, lalu kita juga melatih dokter dan tenaga medis untuk bisa memberikan layanan tersebut.

Salah satunya yang kita lakukan pertama adalah vaksinasi anak di Indonesia. Dokter-dokter sebenarnya bisa saja melaksanakan vaksinasi tapi mereka enggak punya fasilitasnya, enggak tahu cara ngembanginnya. 

Jadi kita kasih kulkas vaksin dari kita dan kita juga melatih dokternya, lalu kita revenue sharing. Salah satu contoh, kita juga ada pelayanan Ibu Anak, jadi dokternya kita latih dari spesialis kita. Lalu kita berikan alat di klinik buat bisa memeriksa kehamilan misalnya. Jadi hal seperti itu yang kita bantu kembangin.

Bagian kedua adalah marketingnya, salesnya, kita kerjasama sama perusahaan-perusahaan, terutama di sekitar lokasi klinik. Tercatat 2021 kemarin itu rata-rata anggota dari jaringan Klinik Pintar itu bisa sampai pendapatannya bisa naik 22%, sangat terbantu dengan keberadaan kerjasama dengan kita.

Klinik Pintar sudah melakukan MoU dengan Kemenkes, itu seperti apa bentuknya?

Ini Kemenkes memang lagi keren-kerennya. Jadi mereka punya misi untuk mendigitalisasi seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia. Targetnya pada 2024 seluruh faskes itu harus sudah 100% digital, terutama untuk rekam medis. 

Kemenkes baru launching sistem namanya SATUSEHAT,  di mana data kesehatan Indonesia ini harus terkoneksi ke sana.  Nah, karena salah satu tantangannya adalah digitalisasi klini, jadi mereka butuh partner seperti Klinik Pintar. Jadi kliniknya terdigitalisasi dalam platformnya Klinik Pintar dan platform Klinik Pintar connect ke SATUSEHAT. 

Nanti pasien yang datang ke klinik rekam medisnya nyambung ke SATUSEHAT. Setelah itu kalau pasien datang ke rumah sakit besar di Jakarta misalnya, rekam medisnya sudah bisa diakses. Jadi histori data kesehatan rakyat Indonesia ini semuanya akan menyatu di SATUSEHAT. Kita terpilih menjadi 31 perusahaan pertama yang bisa terkoneksi ke SATUSEHAT. Jadi kita senang banget sih bisa kepilih. 

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement