• Pemerintah masih berkutat soal regulasi dan pendanaan untuk mengejar target net zero emission di 2060. 
  • Kalangan industri tidak lagi bisa menunggu seiring bisnisnya mulai terdisrupsi oleh perubahan iklim dan persyaratan penurunan emisi. 
  • Perlu harmonisasi antara langkah industri dan pemerintah untuk mencapai target netralitas karbon.

Terletak tepat di jalur garis khatulistiwa, Kota Bontang di Kalimantan Timur menyimpan potensi besar energi terbarukan. Kota ini menghadap langsung ke Selat Makassar, membuat matahari terik bersinar nyaris sepanjang hari.

Bontang yang berjarak sekitar 110 kilometer dari Samarinda sudah sejak lama dikenal sebagai kota industri. Ia menjadi rumah dari sejumlah korporasi strategis, mulai dari pupuk hingga gas dan tambang gas dan batu bara.

Advertisement

Sejak Agustus 2022 lalu, Kota Bontang memulai langkah penting dalam berkontribusi mengejar target net zero emission di 2060 yang dicanangkan pemerintah. PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT), salah satu perusahaan merah yang bermarkas di Bontang, juga punya target sendiri. Perusahaan ini ingin memangkas 32,5 % emisi karbonnya pada 2030.

Guna memulai inisiatif tersebut, selama beberapa bulan terakhir PKT memasang panel-panel surya di atas gedung-gedung kantor pusatnya. Proyek ini akhirnya selesaik pada 18 Agustus 2022.

PKT kini memiliki 2.362 unit panel surya di atas gedung kantin, area parkir, hingga kantor pusatnya. Ribuan panel surya ini menutupi area seluas 6.500 meter persegi, cukup untuk menyuplai setrum berkapasitas 1.256,04 Kilowatt Peak (kWp).

“PLTS Atap ini dapat menghemat 20 sampai 30 % kebutuhan energi PKT di area perkantoran,” kata Direktur Utama PKT Rahmad Pribadi saat meresmikan pemasangan PLTS tersebut.

Rahmad bercerita, sejak Januari-Agustus 2022, produksi PLTS atap perusahaan telah mencapai 980,71 megawatt hour. Emisi karbon yang berhasil ditekan mencapai 468,26 ton.

PT Pupuk Kaltim bukan satu-satunya perusahaan yang getol memasang panel surya atap. Sejak tahun lalu, pemerintah telah memasukkan program PLTS Atap sebagai Program Strategis Nasional (PSN). Targetnya pun ambisius. Setidaknya 3,6 Gigawatt PLTS Atap diharapkan terpasang di 2025. 

Katadata.co.id mencatat, sejumlah korporasi besar seperti Danone, Mitsubishi, Nestle, Uni-Charm, hingga Multi Bintang mulai memasang PLTS Atap. PT Nestle Indonesia, misalnya, mematok target PLTS Atap 100 % di 2023. Head of Sustainability Nestlé Indonesia, Prawitya Soemadijo mengatakan, PLTS Atap akan dipasang di semua pabrik, gudang, dan gedung perkantoran milik perusahaan.

Kendati demikian, program ini bukan tanpa persoalan. Dalam beberapa kasus, PLN disebut membatasi kapasitas maksimal PLTS hanya 15 %. Padahal, jika mengacu pada Permen ESDM Nomor 26/2021 tentang PLTS Atap, pengguna dapat memasangnya hingga 100 %.

Kondisi ini membuat Nestle pesimistis targetnya tercapai di 2023. “Sekarang masih ada negosiasi dengan PLN mengenai regulasi tersebut,” ujarnya kepada Katadata.co.id.

Persoalan ini bahkan sempat dibawa hingga ke legislatif. Dalam agenda rapat dengar pendapat antara Komisi VI DPR dan Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo pada pertengahan Juni lalu, anggota DPR sempat menanyakan hambatan implementasi PLTS Atap. “Mereka banyak yang sudah pasang alat, tetapi PLN tidak kasih izin,” kata anggota Komisi VI, I Nyoman Parta.

Kala itu, Darmawan enggan menanggapi langsung pertanyaan tersebut. Ia memilih untuk menjawabnya secara tertulis di lain waktu. Saat diserbu awak media setelah rapat tersebut, Darmawan juga buru-buru balik arah.

Berbagai hambatan di lapangan ini membuat target ambisius PLTS Atap sulit tercapai. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyebutkan kapasitas terpasang PLTS Atap hanya 62 megawatt (MW) hingga Juli 2022, jauh dari target 450 MW di akhir tahun.

“Kendala di lapangan memang PLN kurang support, karena sebetulnya sudah ada kelebihan kapasitas pasokan listrik,” kata Dadan saat berbincang dengan Katadata.co.id.

Dadan menuturkan, pemerintah sudah mencari solusi bersama PLN. Nantinya, perusahaan seterum negara itu akan memperbolehkan pemasangan PLTS Atap sesuai beban dasar listrik. Hitung-hitungan persentasi beban dasar ini akan dirinci dalam petunjuk teknis secara terpisah.

“Pada intinya, PLTS Atap ini bukan untuk jualan atau transaksi karena regulasinya memang tidak memungkinkan,” kata Dadan.

REALISASI PEMBANGUNAN PLTS ATAP
REALISASI PEMBANGUNAN PLTS ATAP (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.) 

Langkah Industri Terpacu Sentimen Negatif Penghasil Karbon

Implementasi PLTS Atap sejatinya bisa menjadi salah satu solusi transisi energi demi mendorong target nol emisi karbon yang dicanangkan pemerintah. Sementara bagi kalangan industri, mengganti sumber energi fosil menjadi energi terbarukan merupakan langkah krusial untuk memastikan target emisi perusahaan tercapai.

“Netralitas karbon itu gerakan voluntary sebetulnya. Tapi kami enggak bisa menunggu karena ini akan berdampak terhadap bisnis,” kata Ketua Komite Tetap Kadin Bidang EBT, Muhammad Yusrizki, saat berbincang dengan Katadata.

Yusrizki menjelaskan, bagi perusahaan yang berorientasi ekspor, misalnya, seberapa besar karbon yang dihasilkan akan menentukan produknya laku atau tidak. Ia mencontohkan, di beberapa negara Eropa, produk yang memiliki jejak karbon lebih besar akan dikenakan biaya tambahan sehingga barang tersebut kurang kompetitif.

Kondisi ini membuat kalangan industri berinisiatif mempercepat target netralitas karbon. Salah satu upaya paling realistis yakni dengan beralih ke energi terbarukan. Yusrizki menjelaskan, dalam peta energy flow periode 2016-2021, 23 % sumber energi yang dipakai sektor energi berasal dari pembangkit milik PLN. Sebanyak 76 % justru diperoleh dari energi mandiri yang dibangun oleh perusahaan, sedangkan 1 % sisanya dari energi terbarukan.

Dari 76% sumber energi tersebut, mayoritas masih didominasi oleh sumber energi kotor yakni gas alam, minyak bumi, dan batu bara. Menurut Yusrizki, mengalihkan 76 % sumber energi kotor industri menjadi energi terbarukan menjadi prioritas pihak swasta. 

“Makanya kami enggak mau lagi ributin soal PLN. Bukan enggak peduli, kami menghormati, dekarbonisasi itu penting. Tapi kami punya tanggungjawab juga untuk 76 %,” ujarnya. 

Guna mendorong sektor swasta mengejar target netralitas karbon, Kadin membentuk Net Zero Hub (NZH). Inisiatif ini menjadi semacam pusat pengetahuan dan asistensi bagi perusahaan yang ingin mencapai target netralitas karbon. 

Yusrizki yang kini juga memimpin Kadin NZH menceritakan animo perusahaan untuk bergabung di inisiatif ini sangat tinggi. “Sudah sekitar 50 perusahaan yang bergabung,” katanya.

Dalam menjalankan aksinya, Kadin NZH menggunakan kerangka acuan Science Based Technology Initiative (SBTI). Framework ini dibentuk oleh empat lembaga internasional: Carbon Disclosure Project (CDP), the United Nations Global Compact, World Resource Institute, dan WWF pada 2015. Tujuan utamanya untuk membantu korporasi mengurangi emisi karbon.

Menurut Yusrizki, implementasi SBTI tergolong di baru di Indonesia. “Ini gold standard yang dipakai secara global,” katanya.

Ada empat tahap bagi perusahaan yang ingin menurunkan emisi karbon sesuai standar SBTI. Pertama, avoid atau menghindari aktivitas bisnis yang tidak diperlukan untuk mengurangi emisi. Salah satu langkah sederhana misalnya mematikan pendingin ruangan atau lampu saat tidak diperlukan.

Kedua, reduce atau mengurangi aktivitas-aktivitas tertentu. Memindahkan pertemuan dari luring menjadi daring menjadi salah satu upaya tahapan ini.

Ketiga, replace atau mengganti alat-alat produksi dan sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Inilah sebabnya banyak perusahaan mulai beralih ke energi terbarukan seperti PLTS atau biomassa. Tahap keempat adalah capture atau menangkap emisi karbon yang menjadi produk buangan produksi.

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora, Intan Nirmala Sari
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement