• Indonesia, Brasil, dan Republik Demokratik Kongo yang menguasai setengah dari luas hutan di dunia membentuk aliansi untuk memperkuat posisi dalam perundingan global.
  • Aliansi ini berpotensi mengontrol suplai dan membentuk harga karbon global dengan dominasi kepemilikan hutan, seperti OPEC yang menguasai harga minyak.
  • Di Indonesia, aliansi akan mengahadapi tantangan birokrasi dan fokus politik menjelang Pemilu 2024. 

Brasilia dan Jakarta terpisah jarak 16.430 kilometer, tetapi apa yang terjadi di ibukota Brazil itu mempengaruhi kebijakan penting di Indonesia. Sepekan pekan sebelum COP27 digelar di Sharm el Sheikh, Lula da Silva memenangkan pemilu Brasil mengalahkan petahana Jair Bolsonaro.

Saat menjadi Presiden pada periode 2003-2010, Lula dikenal karena kontribusinya menahan laju deforestasi di Amazon. Saat berkuasa, deforestasi kawasan itu turun hingga 70%. Sebaliknya, Bolsonaro justru dikenal sebagai biang kerok kerusakan lingkungan. Selama empat tahun ia berkuasa, Amazon menghadapi banyak sekali kebakaran dan perambahan hutan.

Advertisement

Dalam pidato kemenangannya pada 31 Oktober, Lula menegaskan akan mengerahkan segala cara untuk menyelamatkan hutan Amazon. “Mari kita berjuang untuk nol deforestasi,” kata Lula, dikutip dari Washington Post.

Sementara orang-orang Brasil bersiap menatap masa depan baru di bawah kepemimpinan Lula, Jakarta sedang sibuk menyiapkan dua agenda penting yang berdekatan. Conference of Parties (COP) 27 yang berlangsung pada 6-18 November dan G20 Summit di Bali pada 15-16 November 2022. 

Kendati hanya berjarak beberapa hari, Indonesia tetap mengirimkan sejumlah pejabat penting ke Sharm el Sheikh. Wakil Presiden Ma’ruf Amien menggantikan Presiden Joko Widodo yang berhalangan hadir. Selain itu, menurut pantauan Katadata, sejumlah pejabat tinggi seperti Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) Siti Nurbaya Bakar dan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Wahyu Sakti Trenggono juga menghadiri COP27.

Sepekan pertama hajatan COP27, Paviliun Indonesia di Sharm el Sheikh tidak berhenti menggelar sejumlah diskusi menarik. Delegasi Indonesia kali ini membawa banyak sekali perwakilan dari perusahaan dalam negeri. Nama-nama besar seperti PT PLN dan Pertamina memberikan perspektif segar soal ambisi net zero emission. Namun, agenda paling penting barangkali terjadi di hari ke-2.

Dalam satu sesi bersama perwakilan Brasil dan Republik Demokratik Kongo, Indonesia memperkenalkan aliansi strategis antara ketiga negara tersebut. Aliansi dan kerja sama antar negara sebetulnya bukan barang baru di ajang penting seperti COP27. Namun, kolaborasi ketiga negara pemilik hutan hujan tropis ini menarik dicermati.

Gabungan hutan tropis di Indonesia, Brasil, dan RDK berkontribusi hingga 52% dari hutan dunia. “Penting bagi ketiga negara ini untuk memperkuat aliansi strategis guna meningkatkan pengaruh dalam perundingan perubahan iklim di tingkat global,” kata Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan melalui sambungan video dalam sesi di Paviliun Indonesia itu.

Dalam konteks COP27, aliansi strategis ini memiliki makna penting. Agenda tahunan perubahan iklim di Mesir ini fokus membahas soal Article 6 dalam Kesepakatan Paris yang akan mengatur soal perdagangan karbon. Sementara menurut sejumlah pejabat Indonesia dan Brasil yang Katadata temui, salah satu tujuan aliansi ketiga negara ini untuk menarik investasi dan pembiayaan pengelolaan hutan berkelanjutan, yang ujung-ujungnya untuk mengatur pasar karbon. 

Terpilihnya Lula sebagai Presiden Brasil membuka jalan bagi masa depan aliansi ini. Sebab, sulit membayangkan aliansi untuk mengatur pengelolaan hutan lestari ini bisa diwujudkan jika Bolsonaro masih berkuasa. Di Sharm el Sheikh, kepentingan tiga negara penguasa hutan bertemu untuk pertama kalinya. 

Infografik_Aliansi Tiga Negara Penguasa Hutan
Infografik_Aliansi Tiga Negara Penguasa Hutan (Katadata/ Nurfathi)
 



Investasi Pengelolaan Hutan

Kendati sudah diperkenalkan ke publik internasional di ajang COP27, belum banyak informasi yang bisa digali soal mekanisme aliansi Indonesia, Brasil, dan RDK. Katadata menemui Nani Hendriarti, Deputi Menteri Bidang Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Maritim dan Investasi, di sela-sela agenda padat COP27 untuk membicarakan soal aliansi tiga negara.

“Memang sebetulnya belum resmi diluncurkan. Istilahnya baru road to,” katanya, kepada Katadata.

Nani, yang mewakili Menteri Luhut di ajang COP27 bercerita inisiasi ini sebetulnya sudah dimulai sejak COP26 di Glasgow tahun lalu. Kala itu, para pejabat tinggi tiga negara tersebut duduk bersama untuk merancang kolaborasi. Pertemuan demi pertemuan kemudian digelar beberapa kali. Ia menyebut Menteri Luhut bahkan sudah bertemu dengan Lula da Silva sebelum ia terpilih sebagai Presiden.

Menurut penuturan Nani, Lula sangat bersemangat dengan ide ini. Konstelasi politik terbaru di Brasil yang mengantarkan politisi sayap kiri itu sebagai Presiden membuat aliansi ini kian matang. Namun, ia mengaku masih perlu waktu sebelum mengumumkan secara resmi aliansi tersebut.

“Kita masih harus menunggu Lula resmi dilantik sebagai Presiden, Januari 2023 nanti,” kata Nani.

Sembari menunggu peresmian Lula, Nani menyebut masih ada sejumlah detil aliansi yang harus dibahas. Itulah mengapa belum banyak informasi yang bisa dikorek dari aliansi ini. Saat ini, mekanismenya masih dibahas di level deputi menteri.

Kendati demikian, Nani memberikan gambaran bagaimana aliansi ini akan berjalan. Ia menyebut prinsipnya adalah kemitraan tiga negara dalam kerangka forest for climate dalam konteks mitigasi, adaptasi, dan investasi. “Kita maunya ada pendanaan untuk hutan kita, jangan langsung masuk ke karbonnya,” kata Nani.

Ia mencontohkan pendanaan misalnya bisa diterapkan dalam kontek ecotourism di hutan mangrove. Jadi, kawasan mangrove akan dikembangkan menjadi area konservasi dengan pendekatan blue carbon. Nantinya, kawasan ini akan dihubungkan ke investasi karbon untuk mengembangkan pariwisata sekaligus menjaga area konservasi. Soal bagaimana mekanisme pendanaannya, apakah skema hibah atau pinjaman, Nani belum bisa bercerita banyak. 

“Sekarang kita mulai dari tiga negara dulu. Mudah-mudahan negara pemilik hutan lainnya seperti Republik Kongo dan Peru bisa bergabung,” katanya.

Kisi-kisi soal format pendanaan hutan datang Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK Agus Justianto. Dalam satu sesi di Paviliun Brasil pada Kamis (10/11), Agus menjelaskan salah satu contoh pendanaan misalnya berupa Pembayaran Berbasis Kinerja (Result Based Payment/RBP) untuk program reducing emission from deforestation and forest degradation (REDD+).

Bagi Indonesia, ini memang bukan program baru. Selama beberapa tahun terakhir Indonesia sudah menerima jutaan dolar dari Norwegia untuk upaya menjaga hutan. Kesepakatan REDD+ sempat terhenti tahun lalu tetapi kemudian kembali dilanjutkan tahun ini.

Skema RBP memang terlihat menjanjikan bagi Indonesia. Pada Selasa (8/11), Bank Dunia mengumumkan pembayaran awal sebesar US$ 20,9 juta atau sekitar Rp 320 miliar untuk proyek REDD+ di Kalimantan Timur. Dalam konteks Bank Dunia, program ini merupakan bagian dari proyek Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) di mana Indonesia bakal menerima US$ 110 juta saat proyek berhasil diselesaikan.

Deputi Menteri Lingkungan Hidup Brasil, Marcus Paranagua mengatakan ketiga negara ini harus memimpin perundingan global terkait hutan terutama untuk isu konservasi dan pasar karbon. Ia menyebut Indonesia, Brasil, dan RDK siap berkolaborasi untuk forum-forum penting seperti COP-15 Biodiversitas yang akan digelar di Montreal, Desember mendatang.

Dalam pernyataannya, Paranagua secara tegas menyebutkan hutan tropis di ketiga negara ini merepresentasikan kekayaan biodiversitas yang luar biasa besar sehingga harus dinilai aset penting dalam hal remunerasi. 

“Saat kita sedang finalisasi joint communique dan akan segera resmi diluncurkan dalam waktu dekat,” katanya, di Paviliun Indonesia. 

Peluncuran aliansi tiga negara hutan tropis
Peluncuran aliansi tiga negara hutan tropis (Katadata)
 



Deforestasi, Pendanaan, Hingga Perhutaan Sosial

Meskipun belum dijabarkan secara detil dan terang benderang, sesi Agus Justianto di Paviliun Brasil setidaknya bisa memberikan gambaran awal bagaimana skema aliansi Indonesia, Brasil, dan RDK ini akan berjalan. Agus menuturkan, ada beberapa fokus area yang ingin dicapai melalui aliansi ini.

Pertama, pengurangan deforestasi. Agus menyebut Indonesia berhasil mengurangi laju deforestasi melalui serangkaian kebijakan dan penegakkan hukum. “Laju deforestasi Indonesia saat ini merupakan level terendah dalam 30 tahun terakhir,” kata Agus.

Kedua, manajemen kebakaran hutan yang menurut Agus, Indonesia sukses menekan tingkat kebakaran hutan dalam beberapa tahun terakhir. Ketiga, perhutanan sosial dan manajemen hutan berbasis komunitas. Keempat, pendanaan iklim untuk kehutanan. Dalam hal ini, Agus menyebut secara khusus keberhasilan Brasil dengan Amazon Fund. 

Isu kelima yang juga masuk dalam kerangka kolaborasi ini terkait dengan pertanian berkelanjutan terutama dalam konteks agroforestri. Selain itu, Agus juga menyebut soal manajemen administrasi pertanahan, biodioversitas, dan legalitas sertifikasi kayu.

Halaman:
Reporter: Rezza Aji Pratama
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement