Catatan Kritis Atas Pendanaan Transisi Energi JETP

Agung Budiono-Yayasan Cerah
Oleh Agung Budiono
12 Desember 2022, 12:40
Agung Budiono-Yayasan Cerah
Katadata

Pertemuan KTT G20 di Bali mengumumkan sebuah kemitraan untuk Transisi Energi Berkeadilan atau Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar US$ 20 miliar atau setara Rp 311 triliun. JETP untuk Indonesia diklaim sebagai pendanaan transisi energi terbesar sepanjang sejarah untuk satu negara oleh Climate Counselor to The Secretary at U.S. Department of the Treasury, John Morton. 

JETP untuk Indonesia akan dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang dan mitra internasional lainnya dengan periode mobilisasi pendanaan selama 3 hingga 5 tahun ke depan. Pembiayaan ini akan terbagi 50:50 antara pembiayaan publik dalam bentuk pinjaman lunak, hibah, dan jaminan dan private. Sebagian besar dana swasta yang akan didapatkan berasal dari koalisi Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).

 Enam bulan ke depan merupakan fase krusial bagi Indonesia dan mitra internasionalnya dalam merumuskan rencana investasi (investment plan) komprehensif dan detail menjelaskan bagaimana kemitraan ini dapat dijalankan di Indonesia serta proyek-proyek PLTU yang disasar. 

 Tentu ada beberapa catatan yang penting digaris bawahi pada proses perumusan investment plan tersebut. Dengan mobilisasi dana yang begitu besar, JETP akan memiliki efek yang dirasakan tidak hanya di tingkat pemerintahan, tetapi sampai ke tingkat grass root. 

Silang pendapat terjadi dalam narasi publik soal pengumuman JETP. Ada yang memandang ini sebagai langkah penting mempercepat proses transisi energi, khususnya terkait pensiun PLTU batu bara sekaligus mengakselerasi pengembangan energi terbarukan.

Di sisi lain terdapat pandangan skeptis khususnya soal detail proyek mana yang akan disasar, serta model pembiayaan dan tata kelola dari pelaksanaan JETP itu sendiri. Untuk itu penting untuk memberikan catatan kritis dalam kerangka penyusunan kebijakan sebagai pertimbangan terkait implementasi JETP di Indonesia.

Pertama, pentingnya memastikan prinsip “Just” atau Keadilan terimplementasi dalam program JETP. Formulasi tentang konsep “Just Transition” atau transisi berkeadilan paling awal muncul dari kalangan serikat pekerja Amerika Serikat pada dekade 1980-an sebagai respons atas regulasi pencemaran air dan udara, hal ini berhasil menghentikan industri yang melanggar aturan tersebut (Newell and Mulvaney, 2013). Transisi berkeadilan kemudian menjadi semakin populer dalam diskursus kebijakan publik dan politik karena menjadi konsep energi yang paling komprehensif. 

Adanya penekanan pada aspek sosial dan teknis seharusnya memberikan ruang untuk memastikan proses transisi menuju energi bersih terbarukan. Semua kalangan yang terdampak tidak ada yang tertinggal dan merugi, seperti mereka yang bergantung pada energi fosil dan masyarakat sekitar yang terdampak langsung.

Konsep Transisi Berkeadilan

Penelitian Normann dan Telmann (2021), menyebutkan ada tiga pendekatan utama yang menjadi interpretasi dalam studi transisi berkeadilan. Konsep pertama dikenal dengan nama shared solution approach yang mengadopsi pendekatan market-based approach. Konsep ini percaya bahwa dalam proses transisi berkeadilan, akan ada pekerjaan yang hilang dan lapangan pekerjaan baru akan terbuka. 

 Hal ini mendorong berkembangnya lapangan pekerjaan hijau baru (green jobs) yang dapat membantu masyarakat terdampak. Ini dengan catatan bahwa negara yang melakukan transisi energi mengembangkan kapasitas energi terbarukannya di wilayah yang bertransisi.

 Konsep kedua mengadopsi pendekatan ecological modernisation/differentiated responsibility approach yang berbanding terbalik dengan konsep pertama. Jika shared solution approach berfokus kepada pihak yang “kalah” dalam sebuah transisi berkeadilan, interpretasi konsep kedua ini justru sebaliknya. Ia berupaya memproteksi pekerjaan yang ada dan membuka peluang baru dalam ekosistem agar dapat menyesuaikan dengan standar masyarakat rendah karbon. 

Dengan kata lain, konsep ini mendukung penundaan penghapusan energi fosil dengan memperkenalkan teknologi dan solusi semu yang masih diragukan untuk menghilangkan emisi. Hal ini memiliki resiko. Sebagai contoh penggunaan teknologi carbon, capture, and storage (CCS) pada PLTU batu bara. Satu-satunya PLTU yang menggunakan teknologi ini, PLTU Boundary Dam di Kanada gagal menangkap 100% karbon sesuai yang dijanjikan dan tidak dapat beroperasi selama satu tahun penuh. 

Konsep ketiga dikenal dengan sebutan radical and transformative approach, yang memiliki postur yang lebih konfrontatif. Sesuai dengan namanya, konsep ini percaya bahwa sebuah transisi energi membutuhkan perubahan sosial yang besar, yang mungkin saja menurunkan perekonomian di wilayah yang melakukannya. 

Halaman:
Agung Budiono-Yayasan Cerah
Agung Budiono
Peneliti

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...