Mengenal Tari Legong, Salah Satu Kesenian Warisan Budaya Dunia UNESCO

Image title
11 November 2021, 09:54
Sejumlah seniman menampilkan tari Legong Keraton Lasem dalam Festival Legong Keraton Lasem VI di Puri Agung Denpasar, Bali, Sabtu (22/2/2020). Kegiatan yang diikuti 156 penari tersebut merupakan rangkaian HUT ke-232 Kota Denpasar dalam upaya pelestarian b
ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo
Sejumlah seniman menampilkan tari Legong Keraton Lasem dalam Festival Legong Keraton Lasem VI di Puri Agung Denpasar, Bali, Sabtu (22/2/2020). Kegiatan yang diikuti 156 penari tersebut merupakan rangkaian HUT ke-232 Kota Denpasar dalam upaya pelestarian budaya Bali.

Bicara soal Bali, tentu tak lepas dari wisata dan budaya. Selain rumah adatnya yang unik dan sarat makna, Bali juga menyimpan segudang warisan budaya eksotis yang menjadi kebanggaan masyarakatnya. Satu di antaranya adalah tari legong.

Tari legong merupakan pertunjukan seni tari yang biasanya dibawakan oleh penari perempuan dengan kipas yang menjadi ciri khasnya. Tari legong berasal dari daerah-daerah keraton Bali yang menceritakan kisah zaman dahulu, seperti Prabu Lasem.

Advertisement

Sejarah Tari Legong

Melansir jurnal berjudul Sejarah Trai Legong di Bali yang diterbitkan oleh ISI Denpasar, menurut Babad Dalem Sukawati, tari legong tercipta berdasarkan mimpi I Dewa Agung Made Karna, Raja Sukawati yang bertahta tahun 1775-1825 M.

Ketika beliau melakukan tapa di Pura Jogan Agung desa Ketewel ( wilayah Sukawati ), beliau bermimpi melihat bidadari sedang menari di surga. Mereka menari dengan menggunakan hiasan kepala yang terbuat dari emas.

Ketika beliau sadar dari semedinya, segeralah beliau menitahkan Bendesa Ketewel untuk membuat beberapa topeng yang wajahnya tampak dalam mimpi beliau ketika melakukan semedi di Pura Jogan Agung dan memerintahkan pula agar membuatkan tarian yang mirip dengan mimpinya.

Akhirnya Bendesa Ketewel pun mampu menyelesaikan sembilan buah topeng sakral sesuai permintaan I Dewa Agung Made Karna. Pertunjukan tari Sang Hyang Legong pun dapat dipentaskan di Pura Jogan Agung oleh dua orang penari perempuan.

Tak lama setelah tari Sang Hyang Legong tercipta, sebuah grup pertunjukan tari Nandir dari Blahbatuh yang dipimpin I Gusti Ngurah Jelantik melakukan sebuah pementasan yang disaksikan Raja I Dewa Agung Manggis, Raja Gianyar kala itu.

Beliau sangat tertarik dengan tarian yang memiliki gaya yang mirip dengan tari Sang Hyang Legong ini, sambil menitahkan dua orang seniman dari Sukawati untuk menata kembali dengan menggunakan dua orang penari wanita sebagai penarinya. Sejak itulah tercipta tari legong klasik yang kita saksikan sekarang ini.

Bila ditinjau dari akar katanya, legong berasal dari kata “ leg “ yang berarti luwes atau elastis dan kata “gong” yang berarti gamelan. Kedua akar kata tersebut bila digabungkan akan berarti gerakan yang sangat diikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya.

Perkembangan Tari Legong

Sejak abad ke-19 tampak ada pergeseran: Legong berpindah dari istana ke desa. Wanita-wanita yang pernah mengalami latihan di istana kembali ke desa dan mengajarkan tari Legong kepada generasi berikutnya. Banyak sakeha (kelompok) Legong terbentuk, khususnya di daerah Gianyar dang Badung.

Guru-guru tari legong juga banyak bermunculan, khususnya dari desa Saba, Bedulu, Peliatan, Klandis, dan Sukawati. Murid-muridnya didatangkan dari seluruh Bali untuk mempelajari tari Legong, kemudian mengembangkannya kembali ke desa-desa. Legong menjadi bagian utama setiap upacara odalan di desa-desa.

Dalam perkembangan selanjutnya, tari Legong bukan lagi merupakan kesenian istana, melainkan menjadi milik masyarakat umum. Pengaruh istana makin lama makin melemah sejak jatuhnya Bali ke tangan Belanda pada 1906-1908 M. Di desa, kini Legong dipergelarkan jika diperlukan untuk kepentingan upacara keagamaan.

Leluhurnya, Sang Hyang, dipentaskan berhubungan dengan kepercayaan animisme. Adapun nenek moyangnya yang lain, yaitu Gambuh mengungkapkan artikulasi idea dari Majapahit. Pada mulanya Legong juga berhubungan dengan agama Hindu istana yang tinggi nilainya, namun kini berhubungan dengan agama Hindu Dharma yang lebih bersifat sekuler.

Tari legong masih ditarikan oleh anak gadis dari desa tertentu pada sebuah kalangan yang sudah diupacarai sehubungan dengan upacara keagamaan. Kalangan sering-sering dibuat di luar halaman tempat persembahyangan walaupun masih diorientasikan dengan dua arah kaja dan kelod sebagai arah yang angker dalam kepercayaan orang-orang Bali.

Utamanya, tari legong dipersembahkan sebagai hiburan bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam upacara keagamaan.

Halaman:
Editor: Safrezi
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement