Memahami Toxic Masculinity, Contoh dan Cara Mengatasinya
Istilah toxic masculinity belakangan ini cukup sering diperbincangkan, terutama di media sosial. Kata atau istilah tersebut, sebetulnya masih ada kaitannya dengan kepribadian toxic. Lebih lanjut, toxic masculinity adalah istilah yang umum dipakai dalam kegiatan akademis terkait sifat dan standar maskulinitas atau kejantanan itu sendiri.
Lantas, bagaimana sifat maskulin bisa menjadi sesuatu yang toxic? Mari ambil contoh toxic masculinity agar lebih mudah memahaminya. Contoh toxic masculinity yang paling sederhana adalah pernyataan bahwa pria tidak boleh menangis, karena akan dianggap lemah.
Dari contoh toxic masculinity tersebut, pria yang menangis akan dianggap lemah dan tidak menjadi pria secara utuh. Padahal sebagai manusia, menunjukkan perasaan adalah sesuatu yang lazim, terlepas dari gender, apakah itu pria atau wanita.
Pengertian Toxic Masculinity
Pada beberapa kesempatan toxic masculinity bisa jadi cukup parah dan bisa berdampak ke mental seorang pria. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Sebelum itu, mari kita pahami dulu pengertian toxic masculinity.
Berdasarkan Oxford Dictionary, toxic masculinity adalah kepercayaan yang salah tentang sikap atau sifat yang harus ditunjukkan oleh seorang pria. Lebih lanjut, toxic masculinity adalah kata benda atau noun.
Sementara itu Terry Kupers memiliki pandangan bahwa, toxic masculinity adalah sebuah sifat dalam sosial, yang mendorong adanya dominasi sifat maskulin, sifat merendahkan (terutama pada perempuan), homofobia, dan tindak kekerasan asusila.
Sebagai informasi, Terry Kupers merupakan psikiater, yang memiliki latar belakang psikoterapi psikoanalisis. Definisi toxic masculinity yang dipaparkan oleh Kupers tadi berasal dari jurnal yang ia tulis berjudul Gender and Domination in Prison.
Raewyn Connell, seorang sosiolog asal Australia juga memiliki pandangan lain terkait toxic masculinity. Sosiolog asal Sydney, Australia tersebut menjelaskan bahwa toxic masculinity adalah standarisasi sikap atau sifat seorang pria secara berlebihan.
Jika standar tersebut tidak terpenuhi maka seorang pria akan dianggap tidak jantan atau maskulin. Padahal, maskulin itu sendiri tidak bisa dijadikan standar perubahan zaman. Lebih lanjut, Connell juga menjelaskan apa saja standar maskulinitas yang kemudian menjadi toxic masculinity.
Melansir The Atlantic, sosok pria yang maskulin adalah yang dihormati di lingkungannya, memiliki kekuatan fisik dan seksual. Hal-hal tersebut kemudian jadi standar yang malah terlalu tinggi, dan malah menjadi toxic masculinity.
Contoh Toxic Masculinity
Setelah memahami pengertian toxic masculinity di atas, mari membedah apa saja contoh toxic masculinity, yang biasa kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Merangkum dari berbagai sumber, berikut ini beberapa contoh toxic masculinity.
1. Tidak Boleh Menunjukkan Perasaan
Contoh toxic masculinity yang pertama, yang paling sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari adalah anggapan, bahwa pria tidak boleh menangis. Atau secara umum, pria tidak boleh menunjukkan perasaan atau emosionalnya.
Pria dituntut untuk selalu kuat secara fisik dan mental. Padahal sejatinya, pria juga manusia yang bisa saja bersedih, kecewa dan menunjukkan perasaannya.
2. Harus Mendominasi
Seorang pria haruslah mendominasi, baik dalam sebuah hubungan, lingkungan sosial dan dalam hal-hal lainnya. Tuntutan untuk harus selalu mendominasi inilah yang kemudian menimbulkan toxic masculinity. Mengapa demikian?
Dalam kehidupan sosial, pria tidak harus selalu mendominasi dan mengambil keputusan. Seperti dalam sebuah hubungan, ada kalanya pria mengalah dan membiarkan pasangannya untuk mengambil keputusan.
3. Menganggap Normal Perilaku Kekerasan
Ada pemahaman bahwa pria dan kekerasan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, dan kepercayaan inilah yang kemudian menjadi toxic masculinity. Pria dan kekerasan bukanlah sesuatu yang saling berhubungan.
Kekerasan bisa terjadi tanpa memandang gender, dan tidak bisa dianggap wajar. Kekerasan merupakan tindakan yang tidak tepat secara moral, dan sangat tidak dianjurkan dalam menyelesaikan sebuah masalah.
4. Menganggap Aktivitas di Rumah Hanya Milik Perempuan
Contoh toxic masculinity yang berikutnya adalah anggapan bahwa kegiatan atau aktivitas di rumah hanyalah milik perempuan. Aktivitas yang dimaksud adalah memasak, membersihkan rumah, dan sebagainya.
Di masa sekarang, membagi kegiatan atau aktivitas berdasarkan gender sudah tidak lagi relevan, dan malah menimbulkan toxic masculinity. Pria bisa saja memasak atau membersihkan rumah tanpa kehilangan status maskulinitasnya.
5. Mewajarkan Tindakan Ekstrem
Poin terakhir dari contoh toxic masculinity adalah mewajarkan tindakkan ekstrem. Hal ini, berkaitan dengan menormalisasi perilaku kekerasan, dan menganggap bahwa pria dan kekerasan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Tindakan ekstrem yang dimaksud misalnya, berkendara dengan kecepatan tinggi, melanggar peraturan lalu lintas.
Cara Mengatasi Toxic Masculinity
Toxic masculinity hanya akan membawa pria kepada hal-hal yang membebankan fisik dan mental. Raewyn Connell menjelaskan bahwa standar maskulinitas yang sulit dicapai adalah toxic masculinity.
Menurut jurnal Efek dari toxic masculinity memengaruhi fisik dan mental. Mengutip dari American Journal Public Health yang dirilis pada 2014, pria yang mengejar standar toxic masculinity cenderung sulit tidur bahkan depresi.
Hal ini diperparah dengan laporan dari jurnal kesehatan pria, Am J Mens Health, yang menyebutkan bahwa pria cenderung menghindari konsultasi ke dokter, ketika dilanda masalah kesehatan fisik maupun mental.
Healthline media kesehatan dan kebugaran Amerika memberikan tiga poin cara mengatasi toxic masculinity. Apa sajakah itu?
1. Menerima Keadaan
Cara mengatasi toxic masculinity yang pertama adalah dengan menerima keadaan. Ya, jika kita tidak bisa mengubah keadaan, atau setidaknya kita sudah berusaha untuk itu dan tidak berhasil, maka terimalah kondisi atau keadaannya.
Tidak semua hal bisa kita kontrol dan kita ubah. Mengikuti standar maskulinitas di lingkungan sosial, hanya membawa kita kepada toxic masculinity.
2. Cari Teman Bicara yang Positif
Curhat kepada teman yang memiliki pikiran positif, jadi salah satu cara mengatasi toxic masculinity. Ketika kita sudah berusaha menerima keadaan, ada kalanya pikiran-pikiran negatif itu datang lagi.
Berceritalah kepada sosok teman, yang bisa mendengarkan dan memberikan sudut pandang baru yang lebih sehat, adalah salah satu cara mengatasi toxic masculinity.
3. Belajar Percaya Kepada Diri Sendiri
Hal terakhir yang merupakan cara mengatasi toxic masculinity adalah dengan percaya diri. Standar maskulinitas yang ditetapkan oleh lingkungan, terkadang tidaklah cocok dengan kepribadian kita. Menuruti standar tersebut tak hanya membawa kita kepada toxic masculinity, tapi juga membuat kita tidak percaya kepada diri sendiri.