Advertisement
Analisis | Melacak Penyebab Lonjakan Kasus Corona di Jawa Timur - Analisis Data Katadata
ANALISIS DATA

Melacak Penyebab Lonjakan Kasus Corona di Jawa Timur

Yosepha Pusparisa*

30/07/2020, 10.00 WIB

Ilustrasi: Joshua Siringoringo

Aktivitas warga berlangsung normal meski ada PSBB, yang terlihat dari data Google Mobility Index dan Facebook Range Map. Selain itu, masalah kurangnya kepatuhan terhadap protokol kesehatan dan rendahnya kapasitas lacak dan testing terduga Covid-19.

  • Line Chats

Wilayah Surabaya Raya, yakni Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik (SSG) telah menjadi episentrum pandemi Covid-19 di Jawa Timur (Jatim). Di tiga daerah tersebut, terdapat 11.961 kasus terkonfirmasi positif hingga 20 Juli. Porsinya mencapai 64 persen dari total kasus positif di Jatim yang mencapai 18.545 kasus.

Lonjakan kasus di Surabaya Raya menyebabkan Jatim berada di posisi puncak klasemen pandemi Covid-19. Bahkan dalam beberapa pekan terakhir, Jatim menjadi penyumbang terbesar kasus harian nasional berbalapan dengan DKI Jakarta.

Ironisnya, hal ini terjadi setelah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah wilayah di Jatim mulai 28 April 2020. Tren tambahan kasus baru terus mengalami peningkatan sejak Ramadan yang dipengaruhi adanya gelombang mudik, hingga pertengahan Juli.

Hasil kajian Katadata Insight Center (KIC) pada April lalu pun menyebutkan, Jatim adalah salah satu provinsi yang rawan mengalami pandemi Covid-19. Padahal kondisi layanan kesehatan di sana termasuk kurang memadai dibandingkan jumlah penduduknya. (Baca juga: Rapuhnya Indonesia Menghadapi Covid-19)

Bagaimana jumlah kasus positif Covid-19 di Jatim dapat melonjak? Kami mengidentifikasi sejumlah persoalan yang terjadi di sana. Antara lain, masih tingginya pergerakan manusia yang menunjukkan aktivitas masyarakat tetap berlangsung normal meski ada PSBB. Kurangnya kepatuhan warga terhadap protokol kesehatan serta rendahnya kapasitas lacak dan testing terduga Covid-19.

Mobilitas Masyarakat Jatim

Akselerasi pertambahan kasus di Jatim tecermin dari masih tingginya pergerakan masyarakat di luar rumah. Hal ini menunjukkan aktivitas warga cenderung masih normal seperti sebelum pandemi. Ada dua sumber data untuk melihat mobilitas manusia tersebut.

Pertama, Google Mobility Index yang menyusun basis perhitungan menurut lokasi tujuan. Seperti: perkantoran, ritel dan pusat rekreasi (restoran, kafe, pusat perbelanjaan, museum, bioskop), grosir dan farmasi (pasar, toko bahan makanan, toko obat), kawasan perumahan, pusat transit (terminal bus, stasiun kereta, MRT), serta taman.

Kedua, Facebook Range Map yang mengukur berdasarkan persentase warga yang tidak melakukan pergerakan dan intensitas pergerakan dibandingkan rata-rata sebelum Covid-19. Berbeda dengan Google yang menampilkan data per provinsi, Facebook menampilkan data berdasarkan wilayah yang lebih kecil.

Kami menampilkan data dari kedua sumber tersebut. Namun karena data yang disajikan berdasarkan pergerakan harian, sehingga menimbulkan pola grafik yang fluktuatif. Guna menghindarinya, kami menerapkan perhitungan rata-rata selama tujuh hari ke belakang.

Data Google Mobility Index menunjukkan, selama PSBB aktivitas penduduk kebanyakan berada di kawasan perumahan. Sementara di area lain cenderung mengalami penurunan. Secara umum pola mobilitas manusia ini perlahan mengalami peningkatan pada akhir Mei setelah pemerintah melontarkan wacana “New Normal”.

Di Jawa Timur, pergerakan manusia juga menujukkan kecenderungan turun tapi intensitasnya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Jakarta dan Jawa Barat. Salah satunya karena beberapa mal, khususnya di Surabaya dibiarkan tetap buka.

“Pada dasarnya pusat perbelanjaan di Surabaya tidak pernah ditutup saat PSBB,” ujar Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawangsa, dikutip dalam dialog special report Inews TV, Sabtu (30/5).

Sementara pola pergerakan manusia berdasarkan data Facebook Range Map di tiga kota, terlihat kemiripan dengan pola yang dihasilkan data Google Mobility Index. Pergerakan manusia cenderung berkurang selama PSBB, tapi intensitas pergerakan di Surabaya lebih tinggi dibandingkan Jakarta dan Bandung. Pada akhir Mei, mobilitas penduduk di tiga kota tersebut cenderung meningkat seiring rencana pelonggaran PSBB.

Kepatuhan PSBB dan Persepsi Risiko Tertular

Masih tingginya mobilitas di Jatim tak lepas dari kurangnya kepatuhan warga saat PSBB. Dalam survei yang dilakukan Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi) pada 4-8 Mei 2020 lalu, aktivitas ruang publik di sana masih berlangsung seperti biasa. Misalnya, di tempat ibadah, kantor dan pabrik, kedai kopi, dan arena olahraga luar ruang.

Dalam laporan bertajuk “Evaluasi Pelaksanaan PSBB Jawa Timur”, diketahui banyak responden di Jatim yang mengaku enggan melaksanakan protokol kesehatan. Masyarakat yang beraktivitas di luar rumah pun banyak tanpa menggunakan masker dan menerapkan jaga jarak fisik. 

Minimnya kepatuhan warga juga terlihat dari survei persepsi risiko yang dilakukan Social Resilience Lab, Nanyang Technological University dan Lapor Covid-19. Hasil survei tersebut menyebutkan, mayoritas penduduk di Surabaya menganggap enteng risiko tertular Covid-19.

Associate professor sosiologi bencana Nanyang Technological University Sulfikar Amir menyebutkan, sekitar 59% responden mengaku yakin risiko dirinya tertular Covid-19 sangat kecil dan kecil. Persepsi ini, menurutnya, tidak lepas dengan kondisi sosial dan ekonomi warga yang rentan terhadap dampak Covid-19.

Minim Pelacakan, Isolasi, dan Kurang Waspada

Presiden Joko Widodo menyampaikan, ada tiga kunci penanganan Covid-19. Pertama, melakukan pelacakan terhadap setiap kasus positif. Kedua, meningkatkan kapasitas testing. Ketiga, melakukan perawatan, termasuk isolasi terhadap orang-orang pernah melakukan kontak hingga benar-benar terbukti tidak mengidap Covid-19.

Ketiga aspek tersebut dinilai penting untuk menemukan kasus-kasus yang tersembunyi, sehingga dapat mengekang penyebaran. Menurut Ronald Bessie, Koordinator Tim Data KawalCovid19, idealnya dari setiap kasus positif pemerintah dapat melacak minimal 30 orang yang pernah melakukan kontak.

Dari hasil pelacakan tersebut, pemerintah kemudian dapat melakukan isolasi atau perawatan, baik secara mandiri maupun karantina terpusat. “Jika ini dapat dilakukan tak hanya penambahan kasus yang dapat ditekan, tapi juga angka kematian akibat Covid-19 bisa diminimalisasi,” kata dia kepada Katadata.

KawalCovid19 telah mengeluarkan Rasio Lacak-Isolasi (RLI) yang rutin dikeluarkan tiap hari. Data tersebut membandingkan antara jumlah orang yang menjadi terduga terhadap jumlah kasus yang terkonfirmasi positif melalui tes PCR (Polymerase Chain Reaction).

Dari data RLI yang dirilis KawalCovid19, diketahui tingkat RLI di Jatim masih tergolong rendah yakni hanya sekitar 5,46 pada 20 Juli. Ini artinya dari satu kasus positif, hanya mampu melacak kurang dari enam orang yang pernah melakukan kontak erat. Sementara di Surabaya RLI hanya sebesar 0,63, Sidoarjo (0,59), dan Gresik (1,08).

Rendahnya kapasitas pelacakan kontak erat menyebabkan pengendalian pandemi menjadi sulit. Akibatnya, banyak orang yang pernah berhubungan dengan pasien positif tetapi tidak terpantau. Alhasil banyak kasus positif yang muncul dari orang-orang tanpa gejala, dan mereka pun berpotensi menyebarkan lagi ke orang lain. “Hal ini mestinya dapat dicegah jika tegas melakukan isolasi,“ tutur Bessie.

Melihat rendahnya kapasitas pelacakan, KawalCovid19 memasukkan beberapa wilayah di Jawa Timur dalam kategori risiko tinggi. Dalam Indeks Kewaspadaan KawalCovid19, kawasan Surabaya Raya dimasukkan dalam kategori “Waspada 6”. Kategori tersebut merupakan indeks dengan kewaspadaan tertinggi.

Berdasarkan indeks kewaspadaan per 20 Juli, Gresik memiliki tingkat kewaspadaan sebesar 14,46 yang diikuti Surabaya (12,83), dan Sidoarjo (10,67). Tingginya angka indeks menunjukkan potensi transmisi di komunitas yang tidak terdeteksi. Hal ini lantaran ada orang yang mengidap Covid-19 bebas bergerak dan tidak terdeteksi.

Kuantitas Tes yang Belum Memenuhi Standar

Rasio antara jumlah kasus positif dengan jumlah tes Covid-19 menghasilkan tingkat kepositifan (positivity rate) Semakin tinggi rasionya, berarti penderita yang terinfeksi dan belum terdeteksi virus corona juga semakin besar.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan tingkat kepositifan suatu negara maksimal berkisar 5%. Sementara Kementerian Kesehatan menargetkan, pemeriksaan minimal 1 orang per 1.000 penduduk per pekan. Dengan kapasitas tersebut, dapat tergambarkan jelas pola dinamika kasus yang tengah terjadi.

Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), di Jatim selama periode 1-14 Juni 2020 tercatat 9.004 tes dengan tingkat kepositifan 31,6%. Hal ini menempatkan Jatim sebagai yang tertinggi di Pulau Jawa. Artinya terdapat penambahan hingga 2.936 kasus berdasarkan data Gugus Tugas pusat.

Pemerintah telah menerapkan adaptasi kebiasaan baru dalam menghadapi Covid-19 untuk mendorong aktivitas ekonomi. Namun, langkah itu mesti diimbangi peningkatan kapasitas lacak, tes, dan perawatan yang disampaikan Presiden Joko Widodo.

***

*) Dalam penulisan dibantu Ibnu Muhammad, Data Engineer Katadata. Dapat dihubungi di ibnu@katadata.co.id