Cerita di Balik Penanganan Kerusuhan di Mako Brimob

Ameidyo Daud Nasution
11 Mei 2018, 16:09
Napi Mako Brimob
ANTARA FOTO/Humas Mabes Polri
Napi kasus terorisme keluar dari rutan Brimob saat menyerahkan diri di Rutan cabang Salemba, Mako Brimob, Kelapa Dua, Jakarta, Kamis (10/5).

Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengungkapkan cerita di balik penanganan kerusuhan narapidana terorisme di Markas Komando (Mako) Brimob, Kelapa Dua, Depok. Dia mengatakan prosedur dan proses penangananya sudah berjalan sangat baik.

Saat kerusuhan terjadi, Selasa malam (8/5), Presiden Joko Widodo telah menerima laporan tersebut. Kebetulan Moeldoko sedang menemani Presiden melakukan kunjungan kerja ke Riau. Setelah menerima laporan, Jokowi memberi arahan untuk segera dibentuk sebuah kesatuan komando atau posko yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto, dibantu Polri, TNI, dan Badan Intelijen Negara (BIN).

Advertisement

Dalam menangani kerusuhan ini, Jokowi juga memberikan beberapa petunjuk. Pertama, jangan ragu-ragu dan harus tegas dalam penanganan. Kedua, menghindari adanya korban yang tidak perlu atau banyak korban. Ketiga, Presiden memberikan batasan waktu agar penanganan kerusuhan ini segera diselesaikan.

“Dalam militer kepolisian ada prosedur pengambilan keputusan. Setelah presiden memberikan petunjuk, di sini lah berjalan prosedur pengambilan keputusan,” kata Moeldoko di kantornya, Jakarta, Jumat (11/5). (Baca: Polisi: Kerusuhan di Mako Brimob Tak Didalangi ISIS)

Dia mengatakan ada beberapa alternatif tindakan yang bisa dilakukan berdasarkan petunjuk diantaranya, serbuan langsung, atau memberikan peringatan terlebih dahulu kepada para narapidana terorisme (napiter) yang membuat kerusuhan. Serbuan langsung tidak bisa dilakukan, karena masih ada satu anggota kepolisian yang dijadikan sandera oleh para napiter.

Yang bisa dilakukan adalah alternatif kedua, memberikan peringatan dengan tekanan. Peringatan dilakukan tanpa ada negosiasi. Pemerintah berkomitmen tidak ada toleransi dan sangat tegas dalam menghadapi terorisme. Tindakan peringatan juga dilakukan dengan mematikan akses listrik, air, dan makanan. Setelah lebih dari 24 jam, para napiter mulai mengeluh lapar. Akhirnya mereka membebaskan sandera untuk ditukar dengan makanan.

Setelah sandera dilepas, Komando Khusus kembali memberikan peringatan, sehingga 145 orang napiter menyerah. Namun, masih ada 10 napiter lainnya yang masih melawan. Dengan melihat gerak-gerik mereka melalui kamera CCTV, aparat diperintahkan untuk melakukan penyerbuan. Akhirnya 10 orang napiter ini menyerah.

“Kenapa tidak dihabisi? Karen ada hasil Konferensi Jenewa, kalau lawan sudah menyerah, tidak boleh dibunuh. Semuanya selesai dan tidak ada korban pada serbuan itu,” kata Moeldoko.

Dia juga menjelaskan kenapa penanganan kerusuhan ini dilakukan tertutup dan tidak boleh diketahui media masa sejak awal kejadian. Alasannya, karena ini persoalan taktis yang tidak boleh diketahui agar penanganannya bisa berjalan sesuai rencana.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement