Pekerja Mendesak Pemerintah Selesaikan Masalah dengan Freeport

Miftah Ardhian
7 Maret 2017, 13:47
Demonstrasi Pekerja Freeport Indonesia
Miftah Ardhian|KATADATA

Kisruh PT Freeport Indonesia dengan pemerintah berbuntut panjang. Para pekerja bersama kontraktor dan subkontraktor yang terkait dengan operasional tambang Freeport Indonesia di Papua datang ke Jakarta. Mereka yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Peduli freeport (GSPF) ini melakukan demonstrasi, mendesak pemerintah menyelesaikan masalah tersebut.

Ketua GSPF Mikael Adii mengatakan hal utama yang mendorongnya melakukan aksi ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017. Dia menganggap aturan ini mewajibkan status Kontrak Karya Freeport yang masih berjalan diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), jika ingin tetap bisa mengekspor konsentratnya.

Advertisement

"Aturan tersebut mengakibatkan Freeport sejak 19 Januari 2017 dengan terpaksa menghentikan ekspor konsentratnya ke negara tujuan," ujar Mikael dalam orasinya saat demonstrasi tersebut, di Jakarta, Selasa (7/3). Aksi damai ini dilakukan dari kawasan Istana Negara, Gedung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga berakhir di kawasan Monumen Nasional (Monas). (Baca: Seribu Pekerja Dirumahkan, Karyawan Freeport Mengadu pada Menaker)

Untuk bisa mendapatkan izin ekspor, Freeport harus mengakhiri Kontrak Karya yang sebenarnya masih berjalan sampai 2021. Kemudian menyelesaikan pembangunan smelter dalam jangka lima tahun, membayar bea keluar, dan tunduk pada semua ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, termasuk mendivestasikan 51 sahamnya kepada pemerintah.

Para pekerja Freeport merasa kewajiban-kewajiban ini akan memberatkan perusahaan tempat mereka mencari nafkah. "Kondisi ini mengharuskan PT Freeport Indonesia melakukan penyesuaian-penyesuaian kegiatan proyek dan finansial," ujarnya. 

Menurut Mikael, saat ini Freeport Indonesia terpaksa menghentikan ekspor konsentratnya ke negara-negara tujuan. Freeport harus mengurangi produksinya hingga 60 persen, lantaran hanya bisa memasok 40 persen hasil produksi konsentratnya ke PT Smelting Gresik.

Freeport memang sudah menyatakan keberatan dan menolak mengubah status kontraknya menjadi IUPK. Bahkan, manajemen Freeport Indonesia mengancam akan melakukan pengurangan karyawan dan menggugat Pemerintah Indonesia ke pengadilan arbitrase internasional. (Baca: Mulai Proses Arbitrase, Bos Freeport: Pemerintah Langgar Kontrak)

Mikael mengatakan pengurangan karyawan bukan hanya isapan jempol atau sekadar ancaman. Freeport bisa melakukan hal ini sebagai dampak dari ragulasi yang diterbitkan pemerintah secara sepihak, tanpa memikirkan nasib 32 ribu pekerja dan masyarakat Timika, Papua.

Penghentian operasi penambangan seperti di tambang bawah tanah memiliki risiko yang besar. Jika terhenti dalam waktu lama, tambang bawah tanah yang menggunakan sistem Block Caving (metode kontinuitas) akan sangat sulit untuk dioperasikan kembali. Menurutnya tidak akan ada yang sanggup melanjutkannya, karena lubang-lubang tambangnya sudah rusak dan terkubur.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement