Proyek Blok Migas Nonkonvensional CBM Pertama di Indonesia Dimulai
Kementerian ESDM akhirnya menyetujui revisi proposal rencana pengembangan pertama atau POD blok migas nonkonvensional Tanjung Enim. Ini akan menjadi proyek pengembangan blok yang menghasilkan gas dari batu bara atau Coal Bed Methane (CBM) pertama di Indonesia, menggunakan skema kontrak gross split.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan rencana pengembangan blok ini diperkirakan dapat meningkatkan produksi gas nasional pada 2023. Tingkat produksi puncak dari Lapangan A dan B Tanjung Enim diperkirakan mencapai 25,74 juta standar kaki kubik per hari MMSCFD.
Selain itu, pengembangan blok ini juga akan meningkatkan penerimaan negara dari bagi hasil dan pajak yang diperkirakan mencapai US$ 158 juta. "Dengan rencana investasi sebesar US$ 172 juta, diharapkan pengembangan lapangan ini akan berdampak positif bagi Indonesia ke depan," ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (17/6).
Arifin berharap dimulainya pengembangan Tanjung Enim sebagai Blok CBM pertama di Indonesia bisa menjadi pemicu. Sehingga Wilayah Kerja CBM lainnya bisa tergerak mengambil tahap selanjutnya yakni eksploitasi.
Potensi Sumber Daya CBM di Indonesia
NuEnergy melalui anak usahanya, yakni Dart Energy (Tanjung Enim) Pte Ltd menjadi operator dengan hak kelola 45% di Blok Tanjung Enim. Sisanya dipegang mitranya yang terdiri dari PT Pertamina Hulu Energi (PHE) Metra Enim 27,5%, dan PT Bukit Asam Metana Enim 27,5%.
Berdasarkan situs resminya, Blok Tanjung Enim terletak di Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Kontrak blok ini pertama kali disetujui pada 4 Agustus 2009 lalu selama 30 tahun.
Mantan Dirjen Migas Djoko Siswanto pernah mengatakan perusahaan yang telah menyatakan minat untuk menyerap gas dari Blok Tanjung Enim adalah PT Pertamina Gas atau Pertagas. Saat ini, Nu Energy dan Pertagas telah menyepakati nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding/MoU.
Djoko menyebut untuk harga jual gas hulu Blok Tanjung Enim diproyeksikan berkisar di angka US$ 5 per MMBTU. Sehingga dalam pengembangannya operator masih mendapatkan harga yang kompetitif. "Harga gasnya ekonomis, di bawah rata-rata gas Hulu, kurang lebih lima. Kami suruh efisiensi kan," ujar Djoko.