Pengusaha Tambang Ingatkan Pemerintah Hati-Hati Terapkan Pajak Karbon

Image title
25 Juni 2021, 19:26
pajak karbon, emisi karbon, pertambangan, energi, karbon, batu bara, perdagangan karbon, bebas emisi, indonesia bebas emisi
Arief Kamaludin (Katadata)
Ilustrasi emisi karbon.

Pemerintah saat ini tengah menggodok aturan mengenai penetapan tarif pajak karbon di Indonesia. Pelaku usaha di sektor pertambangan meminta agar wacana tersebut dapat diterapkan secara hati-hati.

General Manager Legal & External Affairs PT Arutmin Indonesia Ezra Sibarani berharap perintah dapat lebih banyak mempertimbangkan masukan dari stakeholder. Terutama dalam rencana menetapkan mekanisme pajak karbon bagi komoditas yang mengeluarkan emisi.

Dia memahami penetapan tarif ini cukup penting untuk memitigasi perubahan iklim dan menjadi instrumen dalam melindungi lingkungan. Namun di sisi lain, hal ini juga akan berdampak pada harga jual energi di dalam negeri.

"Akan tetapi ini akan meningkatkan harga jual energi di dalam negeri dan akan berdampak ke masyarakat secara umum," ujar dia kepada Katadata.co.id, Jumat (25/6).

Selain itu, di pasar internasional, harga energi Indonesia akan kekurangan daya saing. Oleh sebab itu, perlu diperhatikan juga pengaturan pajak karbon di negara-negara eksportir energi yang menjadi kompetitor komoditas Indonesia.

Arutmin melihat isu ini sebagai tantangan untuk lebih efisien dalam biaya produksi. Apalagi di tengah kondisi pandemi saat ini, industri masih mencoba untuk pulih dari memburuknya kinerja tahun lalu.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan pihaknya saat ini masih mengkaji mengenai rencana penetapan pajak karbon. Ia pun ingin mendiskusikan lebih lanjut dengan pemerintah.

Mengingat dampaknya akan cukup besar, tak hanya sektor batu bara, namun juga seluruh industri. Untuk itu, APBI perlu mengetahui secara detail mengenai dasar pengenaan dan perhitungan dari pajak karbon.

"Itu yang perlu didalami. Baru kami berikan argumentasi. Harus diperhitungkan juga kami sudah melakukan reklamasi itu luas sekali,"  ujarnya.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya sebelumnya mengatakan peraturan presiden atau Perpres sebagai dasar landasan hukum nilai ekonomi karbon masih disusun. Adapun tiga mekanisme yang saat ini tengah disusun, yakni perdagangan karbon, result based payment dan  pungutan karbon.

Siti menjelaskan mekanisme perdagangan karbon merupakan proses transaksi karbon antara pelaku usaha atau kegiatan yang memiliki emisi melebihi batas emisi yang ditentukan. "Jadi kalau ada proyek batas emisinya ditentukan dulu kalau lebih nanti bisa diperdagangkan itu namanya trade, dan offset," kata dia dalam Raker bersama Komisi VII pekan lalu.

Lalu, mekanisme result based payment yakni insentif berupa pembayaran yang diperoleh dari hasil capaian mengurangi emisi gas rumah kaca setelah melalui proses verifikasi dan tersertifikasi. Adapun mekanisme ini baru diterapkan untuk sektor kehutanan.

Kemudian untuk pungutan karbon saat ini pemerintah sendiri masih mengkaji mekanisme yang tepat. Pengenaan pungutan karbon tengah dipertimbangkan untuk diberlakukan terhadap komoditas yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi gas rumah kaca.

"Ini meja kayu ini carbon stock apakah akan dihitung seperti itu. Apakah nanti dihitung dari emisi yang dihasilkannya. Saya sependapat memang hal-hal ini harus berdasarkan hasil interaksi dari segala stakeholders," ujarnya.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...