Industri Farmasi di Tengah Pandemi, Untung atau Buntung?

Safrezi Fitra
5 Oktober 2020, 20:13
farmasi, industri farmasi, bio farma, kimia farma, indofarma, kalbe farma, emiten, saham, bumn, bumn farmasi, covid-19
123rf/lightwise
Ilustrasi industri farmasi

Pandemi Covid-19 secara nyata telah melumpuhkan banyak sektor bisnis karena keterbatasan ruang gerak masyarakat. Namun, banyak pihak yang memprediksi, industri farmasi menjadi salah satu yang mampu tumbuh di tengah pandemi Covid-19.

Holding BUMN farmasi PT Bio Farma (Persero) membantahnya. Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir mengatakan pandangan industri farmasi mampu diuntungkan dengan pandemi ini tidak sepenuhnya benar. Alasannya, industri farmasi dalam negeri masih harus menanggung beban biaya untuk mendatangkan bahan baku yang harganya naik 3 sampai 5 kali lipat.

Advertisement

"Permasalahan kami adalah bahan baku. Bahan baku di Indonesia untuk farmasi itu 90% tetap impor. Pada saat pandemi ini, semua negara rebutan suplai bahan baku," kata Honesti saat hadir dalam rapat dengan DPR di Jakarta, Senin (5/10).

Sementara, suplai bahan baku obat-obatan hanya dikuasai oleh beberapa negara saja seperti Tiongkok dan India. Keterbatasan suplai tersebut, diperparah dengan kebijakan masing-masing negara yang membatasi ekspor bahan baku obat, karena mencoba memastikan ketahanan kesehatan negaranya masing-masing.

Di tengah keterbatasan suplai tersebut, ternyata permintaan akan bahan baku obat meningkat di tengah pandemi Covid-19. Sehingga, seperti hukum ekonomi, harga bahan baku tersebut menjadi naik berkali-kali lipat dari biasanya.

"Faktor lain tentu ada, seperti faktor kurs,” ujarnya. Perubahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain, terutama dolar Amerika Serikat, sangat berpengaruh, karena mayoritas bahan baku farmasi harus impor.

Ia mengakui, memang ada sedikit peningkatan dari sisi pendapatan perusahaan, tapi terbilang tipis. Sehingga, kenaikan beban biaya bahan baku obat tersebut, tidak bisa diimbangi dengan kenaikan pendapatan perusahaan yang cukup tajam. "Meski begitu, kami mencoba menyeimbangkan dari sisi beban (cost) lain yang kami bisa efisienskan," ujarnya.

Berdasarkan data yang dibagikan oleh Honesti dalam paparannya di DPR, pada semester I 2020, pendapatan Bio Farma tercatat senilai Rp 735 miliar. Sayangnya, dalam paparan tersebut, Honesti membandingkannya dengan pendapatan sepanjang 2019 yang senilai Rp 2,54 triliun, bukan dengan semester I 2019.

Sementara, Bio Farma mencatatkan laba bersih pada enam bulan pertama 2020 ini senilai Rp 55 miliar. Sama seperti pos pendapatan, Honesti membandingkannya dengan laba bersih pada 2019 secara penuh yang senilai Rp 380 miliar.

Secara konsolidasi, pendapatan Bio Farma (termasuk Kimia Farma dan Indofarma) sepanjang semester I-2020 sebesar Rp 5,79 triliun. Nilai ini baru mencapai 44% dari total pendapatan tahun lalu. Perolehan laba bersihnya pun hanya Rp 94 miliar atau 25% dari total laba bersih tahun lalu Rp 380 miliar.

Terdampak Pandemi Covid-19

Selain Dalam keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia, Kimia Farma mengakui pandemi telah mengganggu usaha perseroan. "Berdampak pada pembatasan operasional," tulis manajemen Kimia Farma, 15 Agustus lalu. Pembatasan operasional akibat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini diperkirakan berlangsung 1-3 bulan.

Perseroan mengaku pembatasan kegiatan operasional ini mempengaruhi kinerja keuangan perseroan kurang dari 25%. Namun, hal ini tidak sampai berpengaruh pada pengurangan pekerja yang totalnya saat ini mencapai 13.052 orang.

Halaman:
Reporter: Ihya Ulum Aldin
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement