Kondisi Keuangan Minus, Jiwasraya Ubah Strategi Investasi
PT Asuransi Jiwasraya (Persero) melakukan transformasi dalam rangka meningkatkan kualitas tata kelola dan manajemen risiko perusahaan. Upaya penerapan transformasi ditujukan untuk mendukung program penyelamatan polis Jiwasraya yang akan disosialisasikan dalam waktu dekat.
"Kami sadar, di tengah aksi korporasi yang saat ini sedang dijalankan pemerintah dan Tim Gabungan, manajemen baru juga harus melakukan pembenahan dari sisi fundamental," kata Direktur Kepatuhan dan Sumber Daya Manusia (SDM) Jiwasraya R Mahelan Prabantarikso dalam siaran pers, Rabu (21/10).
Salah satu penerapan transformasi perusahaan Jiwasraya, yaitu terkait dengan portofolio investasi yang dimiliki perusahaan. Saat ini, asuransi milik negara ini sudah menerapkan standarisasi yang ideal dan sesuai aturan terhadap penempatan portofolio.
"Tak hanya itu, penerapan standarisasi portofolio tersebut dibarengi pula oleh penerapan manajemen risiko pada investasi," katanya.
Secara umum, Mahelan yang juga menjadi salah satu Koordinator Tim Satgas Restrukturisasi Jiwasraya menjelaskan transformasi ini difokuskan pada penerapan berbagai prinsip. Seperti transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, hingga asas keadilan (fairness).
"Program restrukturisasi juga harus dibarengi dengan restrukturisasi organisasi dan perbaikan proses bisnis terutama di bisnis utama hingga penempatan investasi," tambah Mahelan.
Transformasi ini diperlukan karena kondisi keuangan Jiwasraya yang negatif, seperti ekuitas negatif hingga Rp 37,6 triliun per Juli 2020. Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai ini disebabkan oleh produk asuransi dengan bunga pasti yang tinggi. Salah satunya, produk JS Saving Plan yang memiliki bunga pasti mulai dari 7% hingga 10% net per tahun.
"Sudah menjadi fakta, Jiwasraya sudah megap-megap sejak 2017. Saat itu juga sudah banyak nasabah yang mencium JS Saving Plan masuk dalam kategori ponzi," katanya lewat siaran pers, Rabu (30/9).
Skema Ponzi adalah modus investasi palsu yang membayarkan keuntungan kepada investor dari uang mereka sendiri atau uang yang dibayarkan oleh investor berikutnya. Ini bukan dari keuntungan yang diperoleh oleh individu atau organisasi yang menjalankan usaha.
Menurut Boyamin, manajemen Jiwasraya yang menjadi terdakwa kasus korupsi, menempatkan portofolio investasi Jiwasraya pada saham-saham berkualitas rendah. Investasi itu, baik secara langsung atau dibungkus dengan reksadana perusahaan milik terdakwa lainnya yakni Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat.
Sementara aset likuid yang selama ini dimiliki Jiwasraya, telah habis karena tren pencairan klaim JS Saving Plan telah menunjukkan peningkatan yang signifikan sejak awal 2017. Akibatnya, manajemen Jiwasraya sudah tidak memiliki aset yang likuid untuk menutup klaim yang besar saat nasabah ingin mencairkan dana investasinya.
Setelah tidak memiliki aset yang likuid itu lah yang menyebabkan Jiwasraya mengumumkan gagal bayar dalam surat bertanggal 15 Oktober 2018 kepada nasabah, dimana saat itu yang menjabat sebagai Direktur Utama asuransi milik pemerintah adalah Asmawi Syam.