Keuntungan Bank Besar Rontok Akibat Pandemi, BCA Tak Sedalam Bank BUMN

Image title
12 November 2020, 16:41
perbankan, laba bank, laba perbankan, laba bank kuartal III, kinerja bank besar, laba bank besar, bca, bank mandiri, bri, bni, bbri, bbni, bmri, bbca, kredit macet bank meningkat, kredit macet bank naik, npl bank besar naik, laba bank anjlok
123RF.com/Artit Aungpraphapornchai
Profitabilitas Bank Besar Rontok Akibat Pandemi Covid-19

Beberapa bank besar Tanah Air telah menyampaikan laporan keuangan periode sembilan bulan yang berakhir 30 September 2020. Profitabilitas bank-bank besar ini banyak yang tergerus oleh pencadangan dan membuat laba bersihnya turun dibanding periode yang sama tahun lalu.

Katadata.co.id mengelaborasi empat bank besar Indonesia yang sudah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pertimbangan memilih empat bank tersebut, karena keempat bank ini memiliki nilai kapitalisasi pasar paling besar dibandingkan dengan bank-bank lainnya.

Hingga perdagangan Kamis (12/11) nilai kapitalisasi pasar PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) mencapai Rp 794 triliun. Lalu, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mencapai Rp 489 triliun. Kapitalisasi pasar PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) senilai Rp 288 triliun. Terakhir, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) senilai Rp 100 triliun.

Di antara empat bank tersebut, BCA mampu mengantongi laba bersih paling besar, nilainya mencapai Rp 20 triliun. Lalu, ada BRI yang meraup laba Rp 14,15 triliun dan BMRI Rp 14,03 triliun. Sedangkan BBNI mengantongi laba bersih senilai Rp 4,32 triliun.

Dengan nilai perolehan laba paling besar, penurunan laba BCA tercatat yang paling kecil di antara bank lainnya, persentasenya hanya 4,2% dibandingkan perolehan laba kuartal III tahun lalu. Sementara BNI yang perolehan nilainya paling kecil, ternyata mengalami penurunan laba paling besar, mencapai 63,9%.

Penurunan laba bersih ini bukan tanpa alasan. Bank-bank ini meningkatkan pencadangan untuk mengantisipasi risiko dari gagal bayar nasabahnya. Terlebih, bank-bank mendapatkan relaksasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk bisa merestrukturisasi nasabah terdampak pandemi Covid-19, sehingga nasabah tidak langsung dimasukkan ke kategori NPL, meski seharusnya sudah tergolong macet.

Namun, OJK meminta perbankan mewaspadai kemungkinan munculnya debitur-debitur nakal pasca-program restrukturisasi kredit berakhir. Bank harus membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai atau CKPN guna mengantisipasi kondisi tersebut.

"Kalau ekonomi tumbuh, pasti penyaluran dan kualitas kredit akan pulih cepat, tetapi perbankan harus waspada jika ada yang butuh perhatian lebih dan tak punya niat baik, harus dibentuk CKPN," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan melalui video daring, Selasa (27/8).

Meski begitu, OJK memperpanjang masa pemberian relaksasi restrukturisasi kredit perbankan selama setahun, sehingga berakhir pada Maret 2022. Relaksasi restrukturisasi yang seharusnya berakhir Maret 2021 ini, dinilai bisa menjaga stabilitas sektor jasa keuangan dari tekanan ekonomi akibat Covid – 19.

Direktur Utama BRI Sunarso mengatakan langkah memperbesar pencadangan merupakan prioritas yang dipilih di tengah situasi penuh ketidakpastian. Namun, dia memastikan laba BRI untuk tahun ini akan tetap positif, meskin pertumbuhannya negatif, karena konsekuensi sebuah pilihan.

"Pilihannya dalam situasi seperti sekarang, kami mengejar laba atau mengejar selamat? Saya memilih selamat dulu," kata Sunarso dalam konferensi pers terkait kinerja triwulan III 2020, Rabu (11/11).

Mencari selamat yang dimaksud adalah dengan menyediakan bantalan berupa pencadangan. Jika sewaktu-waktu terjadi pemburukan, BRI sudah bisa menutupinya dengan bantalan tersebut. Konsekuensi dari menaikkan pencadangan ini adalah laba bersih yang dicatatkan menjadi turun.

BRI melakukan pencadangan senilai Rp 19,39 triliun hingga triwulan III 2020, naik 24,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ini dilakukan lantaran rasio kredit macet alias non-performing loan (NPL) dan restrukturisasi yang dilakukan bank pemerintah ini juga meningkat.

Tercatat, NPL di BRI berada pada level 3,12%, memburuk dibandingkan dengan periode sama tahun lalu di level 3,10%. Bank yang fokus pada pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ini menambah pencadangan karena melakukan restrukturisasi kredit kepada 2,95 juta kreditur dengan nilai total Rp 193,7 triliun.

Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja juga mangaku profitabilitas BCA tergerus karena melakukan pencadangan hingga Rp 9,1 triliun atau naik hingga 160,6% secara tahunan. "Kalau kredit itu bermasalah, harus dibikin pencadangan," katanya dalam konferensi pers secara virtual, Senin (26/10).

Rasio kredit seret bank swasta terbesar di Indonesia ini berada di level 1,9% pada akhir September 2020 atau naik dari level 1,6%. Selain itu, per Oktober 2020, BCA juga melakukan restrukturisasi kredit senilai Rp 107,9 triliun kepada 90 ribu nasabahnya.

Laba bersih BNI yang turun juga disebabkan nilai pencadangan yang naik hingga 157,4% menjadi Rp 13,97 triliun. Dengan adanya pencadangan ini, BNI berharap bisa siap menghadapi tantangan yang bisa terjadi mendatang.

"Penurunan ini merupakan bagian dari upaya BNI untuk memperkuat fundamental keuangan bank dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi di masa mendatang," kata Direktur Bisnis Konsumer BNI Corina Leyla Karnalies dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (27/10).

NPL bank milik negara ini mengalami kenaikan cukup drastis, dari 1,8% pada September 2019, menjadi 3,6% per September 2020. Selain itu, BNI juga melakukan restrukturisasi kredit kepada 170.591 nasabah dengan nilai yang direstrukturisasi senilai Rp 122 triliun.

Profitabilitas Bank Mandiri tergerus pencadangan yang dinaikan 52,81% menjadi Rp 15,69 triliun. NPL Bank Mandiri naik dari 2,53% menjadi 3,33% dan melakukan restrukturisasi kepada 525 ribu nasabah dengan total nilai kredit Rp 116,4 triliun.

Meski begitu, bank-bank milik pemerintah yaitu BRI, BBNI, dan BMRI, tercatat mengalami pertumbuhan penyaluran kredit. Berbeda dengan BCA yang hanya mampu menyalurkan kredit Rp 581,9 triliun atau turun 0,6%.

Pertumbuhan dan nilai penyaluran kredit paling tinggi dicatatkan oleh BBRI. Bank ini menyalurkan kredit senilai Rp 935,35 triliun hingga akhir September 2020, naik 4,86%. Kredit BBNI juga mampu tumbuh 4,2% menjadi Rp 582,38 triliun. Sedangkan Bank Mandiri senilai Rp 873,72 triliun atau naik 3,79%.

Kenaikan kredit di tengah lesunya permintaan kredit, salah satunya disebabkan penempatan dana pemerintah kepada bank-bank pelat merah yang totalnya mencapai Rp 30 triliun yang harus disalurkan menjadi kredit sebesar tiga kali lipat dalam tempo tiga bulan, termasuk PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN)

Pemerintah menempatkan dana tersebut pada akun deposito dengan bunga yang rendah. Puas dengan penyaluran kredit dari penempatan dana tersebut, pemerintah kembali menambahkan penempatan dana di bank BUMN. Totalnya menjadi sebesar Rp 47,5 triliun, dimana kredit yang tersalurkan mencapai Rp 166,39 triliun.

Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi berharap penyaluran kredit ini dapat membantu menggerakkan perekonomian di tengah wabah pandemi Covid-19. Dia mengatakan saat ini salah satu fokus penyaluran kredit perseroan adalah membantu para pelaku usaha, khususnya pelaku UMKM.

"Kami berharap inisiatif ini dapat ikut mengembalikan optimisme dan memulihkan denyut nadi perekonomian Indonesia yang terdampak pandemi Covid-19," katanya dalam konferensi pers secara virtual, Senin (26/10).

Penurunan Laba Berpotensi Lanjut di 2021

Kondisi tergerusnya laba bersih industri perbankan dalam negeri akibat pencadangan, masih berpeluang terjadi pada 2021 mendatang. Hal itu seiring dengan antisipasi pemulihan beberapa sektor usaha yang lambat di tengah pandemi Covid-19.

"Ada peluang rasio pencadangan masih akan naik tahun depan, hal ini seiringan dengan antisipasi perbankan terhadap perlambatan dari pemulihan di beberapa sektor," kata analis Pilarmas Investindo Sekuritas Okie Ardiastama kepada Katadata.co.id, Rabu (11/11).

Meski begitu, Okie berharap kinerja perbankan secara umum tahun depan terus membaik seiringan dengan pemulihan ekonomi. Ia melihat, bakal ada perbaikan dari perekonomian mulai triwulan II 2021 yang tercermin dari pertumbuhan kinerja industri perbankan secara tahunan.

Sehingga, kinerja perbankan mulai membaik pada triwulan II 2021 karena kinerja bank mulai anjlok sejak triwulan II 2020. "Trigger-nya dari NPL dan pertumbuhan kredit yang diharapkan dapat menopang pertumbuhan dari NIM pada tahun depan," ujarnya.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...