Isu utang menjadi sorotan utama menjelang akhir pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla saat ini. Selama kurun waktu 2014-2018, utang pemerintah pusat naik 69% menjadi Rp 4.416 triliun. Peningkatan itu lebih tinggi ketimbang periode 2010-2014 sebesar 55%. Muncul pertanyaan, apakah jumlah utang yang besar ini membahayakan bagi Indonesia?

Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta masyarakat tidak hanya melihat utang ini dari sisi nilainya yang besar, tapi lihat juga apa saja tujuan utang ini. “Kalau cuma melihat dari utangnya saja, jadi kehilangan konteksnya,” ujarnya di Jakarta, Selasa (29/1).

Advertisement

Menurutnya, utang diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi, seperti saat mengalami tekanan harga komoditas dan pertumbuhan ekspor masih negatif. Utang juga digunakan untuk membangun infrastruktur, mengurangi kemiskinan, dan menjaga pertumbuhan ekonomi.

(Baca: Utang Kembali Ramai Dibahas, Sri Mulyani: Banyak Orang Belum Paham)

Pada dasarnya utang digunakan untuk menutupi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang masih defisit. Program pembangunan pemerintah yang cukup ambisius memerlukan dana yang besar, sedangkan sumber penerimaan negara masih kurang.

Undang-Undang (UU) 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memang memperbolehkan adanya defisit anggaran, tapi dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Utang menjadi solusi utama dalam membiayai defisit ini. Meski begitu, Sri mengatakan utang Indonesia masih rendah dan dalam batas aman.

UU 17/2003 membatasi jumlah utang maksimal 60% dari PDB, pada tahun lalu posisinya masih 29,8%. Rasio utang terhadap PDB (debt to GDP ratio) ini termasuk yang paling rendah di dunia. Rasio ini menunjukkan meski secara nominal besar, tapi kemampuan Indonesia dalam membayar utang juga masih besar.

(Baca: Disebut Prabowo Sebagai Pencetak Utang, Kemenkeu Ungkapkan Kekecewaan)

Rasio Utang Terhadap PDB
(Trading Economics)

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengakui rasio utang terhadap PDB Indonesia masih rendah. Namun, mengukur utang tak cukup hanya dengan melihat rasionya terhadap PDB. Indikator-indikator lain, akan menunjukkan bahwa utang Indonesia masih rentan dan mengancam keuangan negara.

(Baca juga: Lonjakan Utang Rp 1.809 T di Era Jokowi, Ini Penjelasan Kemenkeu)

Dia membandingkan Indonesia dengan Jepang yang rasio utangnya mencapai 230% dari PDB. Utang Jepang memang delapan kali lebih tinggi dari Indonesia, tapi negara ini memberikan utang kepada negara lain, termasuk Indonesia dalam bentuk surat berharga dan pinjaman langsung. Jepang juga merupakan pemegang surat utang Amerika Serikat (AS) terbesar kedua setelah Tiongkok.

Suku bunga surat utang yang dikeluarkan pemerintah Jepang juga sangat rendah. Yield surat utang pemerintah Jepang bertenor 10 tahun hanya di kisaran 0%, salah satu yang terendah di dunia. Ditambah lagi, hampir seluruh surat utang ini dibeli oleh rakyatnya sendiri. Dengan begitu, dana pembayaran bunga tetap beredar di dalam negeri. Makanya, beban utang tidak berdampak besar terhadap stabilitas makroekonomi Jepang.

Sebaliknya, Indonesia merupakan pengutang (debitur) murni. Surat utang pemerintah Indonesia dalam rupiah (local currency bonds) yang dipegang oleh investor asing relatif sangat besar hingga 39%. Bahkan terbesar di antara negara-negara emerging markets yang rata-rata 25%. “Kondisi ini mengakibatkan perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap gejolak eksternal,” kata Faisal dalam tulisan di laman pribadinya, Senin (27/1).

(Baca: Investasi Melambat, Sri Mulyani Sebut Karena Guncangan Global)

Utang Besar, Tapi Tak Produktif

Kementerian Keuangan mengatakan peningkatan utang dilakukan karena pemerintah sedang gencar melakukan pembangunan infrastruktur. Pembangunan ini akan terasa manfaatnya dalam tiga hingga empat tahun ke depan. Beberapa diantaranya adalah efisiensi dalam biaya logistik, kemudahan berinvestasi, sumber daya manusia yang andal, jaringan komunikasi yang kuat. "Semua ini membutuhkan biaya. Belanja negara digunakan untuk hal yang produktif sehingga dapat memberikan daya ungkit bagi adanya peningkatan produktifitas," ujar Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti.

Namun, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira berkata lain. Menurutnya, utang Indonesia kurang efektif, karena tidak diarahkan untuk hal yang produktif. Ini bisa dilihat dari rasio pembayaran utang terhadap penerimaan ekspor (debt to service ratio/DSR) yang mencapai 24-26%. Rasio ini merupakan salah satu yang tertinggi di antara negara-negara berkembang.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement