Tiga bulan menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 17 April 2019, The Economist menerbitkan sebuah artikel yang mengkritik pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla. Salah satu kritikannya soal ketidakmampuan pemerintah merealisasikan janji ekonomi Jokowi akibat terhambat kebijakan populis. Pemerintah pun langsung membantah kritikan ini dengan berbagai data.

Media ekonomi asal Inggris ini menerbitkan artikel berjudul "Indonesia's Economic Growth is Being Held Back by Populism". The Economist mengutip perhitungan Bank Dunia bahwa pertumbuhan potensial Indonesia adalah 5,5%. Potensi ini bisa diambil dengan meningkatkan investasi untuk menghidupkan sektor manufaktur, meniru negara-negara Asia lain yang menjadi bagian dari rantai pasokan global.

Pembangunan infrastruktur menjadi kunci dalam menarik investasi. Saat awal pemerintahan, Jokowi memang fokus menyelesaikan pembangunan infrastruktur yang tertunda dan belum ada. Namun, sejak tahun lalu, kebijakan anggaranya berubah arah. Fokusnya mulai terbagi, sehingga alokasi belanja modal untuk infrastruktur turun digantikan belanja subsidi. Pembenahan regulasi yang mendukung investasi juga dilakukan setengah hati.

(Baca: Pembangunan Infrastruktur Masif, Akankah Dongkrak Ekonomi?)

The Economist juga menilai tenaga kerja Indonesia kurang terampil dan selalu menuntut upah tinggi. Padahal upahnya sudah cukup tinggi, mencapai 45% melebihi tenaga kerja Vietnam yang menjadi saingan berat Indonesia dalam menarik investor, khususnya Tiongkok yang terdampak perang dagang dengan Amerika Serikat.

Sejumlah kritikan ini menjadi pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan apabila Jokowi terpilih lagi menjadi Presiden. "Kerentanan terbesar Jokowi adalah ekonomi, realisasinya belum sesuai dengan janji,” tulis The Economist dalam artikel yang diterbitkan 17 Januari lalu. Selama kampanye 2014, Jokowi menjanjikan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 7% per tahun. Namun, hingga menjelang akhir masa jabatan tahun lalu, realisasinya hanya di kisaran 5%.

Menjawab kritikan media yang didirikan James Wilson sejak 1843 ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution tidak banyak berkomentar. Dia menyadari pemerintah belum berhasil merealisasikan janji kampanye Jokowi meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 7%. "Ya memang tak ada negara yang sesuai (dengan targetnya). Mana ada, coba cari! Kan memang ekonomi global sedang bergejolak," ujarnya, Jumat (25/1).

(Baca juga: Ekonomi Global Kemungkinan Lebih Lemah, Indonesia Diprediksi Stabil)

Kritikan The Economist ini cukup berdampak besar, mengingat media ini memiliki 1,5 juta pelanggan dan menjadi salah satu referensi pelaku usaha dan sejumlah kepala negara dunia. Apalagi, banyak kalangan menilai artikel-artikel di media ini merupakan suara para pelaku usaha global.

Makanya, pihak Istana juga ikut menanggapi kritikan ini. Staf Khusus Presiden Ahmad Erani Yustika mengatakan pemerintah mengapresiasi kritikan tersebut. "Namun, banyak dari kritik itu yang perlu diklarifikasi karena tidak didasarkan kepada data yang akurat dan peta komprehensif atas kemajuan ekonomi Indonesia," katanya dalam keterangan tertulis, Minggu (27/1).

Meski belum mencapai target, menurut Erani, perekonomian Indonesia masih baik. Terbukti dengan pertumbuhan investasi yang terjaga. Sepanjang 2015 - 2017, pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) rata-rata tumbuh 5,2% per tahun. Sementara, pada 2012-2014 pertumbuhannya rata-rata hanya 3,5% per tahun.

Pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat sejak 2011 sebenarnya telah mempengaruhi laju investasi. Pada 2013, total investasi tumbuh hingga level tertinggi 27%. Namun, realisasi tersebut turun signifikan menjadi hanya 16% di tahun berikutnya dan 13% pada 2016. Laju investasi mulai pulih pada 2017 menjadi 13%.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement