Pemerintahan Donald Trump tengah meninjau ulang pemberian fasilitas pengurangan atau pembebasan bea masuk impor dari Indonesia. Ekspor produk Indonesia ke Amerika Serikat (AS) terancam turun, apabila fasilitas Generalized Systems of Preference (GSP) ini dicabut. Pemerintah AS memberikan beberapa syarat, jika Indonesia masih ingin mendapatkan fasilitas tersebut.

Pekan lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumpulkan para menteri membahas semua persyaratan yang diminta AS, agar Indonesia masih bisa mendapat fasilitas GSP. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan Kalla meminta para menteri segera merespons, agar upaya lobi pemerintah ke negara tersebut bisa berjalan mulus.

Apalagi, hanya Indonesia satu-satunya negara yang masih menghadapi evaluasi terkait GSP ini. "Tadinya kan itu empat negara dievaluasi GSP-nya. Sekarang yang tiga negara (India, Kazakhstan, dan Turki) sudah tidak lagi," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Selasa (19/12).

(Baca: JK Minta Penyesuaian Regulasi untuk Fasilitas Bea Masuk AS Dipercepat)

Ada beberapa permintaan dari AS, jika Indonesia masih mau mendapatkan fasilitas bea masuk rendah, diantaranya terkait akses pasar, jasa, dan investasi. Pembicaraan mengenai hal ini telah dibahas AS dan Indonesia dalam rapat dengar pendapat (hearing) pertama dengan United States Trade Representative (USTR) pada 19 Juni 2018. Menurut Darmin, pemerintah telah berupaya melakukan perubahan terkait tiga isu ini sejak lama dan kini prosesnya akan dipercepat.

Pada hearing kedua, akhir November lalu, pembahasannya terkait Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Pembajakan dan kebijakan meningkatkan penggunaan komponen lokal di Indonesia menjadi tantangan atas penerapan HAKI. Hal ini dinilai bisa menghambat perdagangan dan investasi AS di Indonesia. Selain itu, kata Darmin, topik yang menjadi perhatian dalam dua kali pertemuan ini adalah mengenai National Payment Gateway (Gerbang Pembayaran Nasional/GPN) dan Data Centre.

(Baca: BI: Transaksi Debit Lewat GPN Menghemat Triliunan Rupiah)

AS menilai kebijakan GPN bisa menghambat hubungan bisnis dengan Indonesia. Kebijakan ini mewajibkan seluruh transaksi pembayaran di Tanah Air diproses oleh perusahaan nasional. Selama ini dua perusahaan raksasa AS, yakni Visa dan Mastercard, memroses seluruh transaksi di negaranya, sebelum dikirim kembali ke Indonesia. Hampir seluruh kartu debit dan Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bank di Indonesia menggunakan jasa dua perusahaan tersebut.

Dengan kebijakan GPN, Visa dan Mastercard akan sulit menjalankan bisnisnya di Indonesia. Mereka hanya boleh melakukan proses transaksi domestik jika bermitra dengan prinsipal nasional dan membangun server pusat datanya (data center) di Indonesia. Jika tidak, mereka hanya bisa memproses transaksi pembayaran dari turis asing di Indonesia. Saat ini Indonesia belum mengambil keputusan apa pun terkait perubahan aturan GPN sesuai permintaan AS. 

AS juga meminta Indonesia meninjau kembali aturan yang mewajibkan perusahaan penyelenggara Sistem Elektronik membangun pusat datanya di dalam negeri. Ini merujuk pada revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE).

(Baca: Transaksi Debit Belum Pakai GPN, Bank AS Disanksi BI)

Atase Perdagangan Indonesia untuk AS, Reza Pahlevi Chairul menjadi perwakilan dalam kedua rapat dengar pendapat. Peninjauan kedua rapat dengar pendapat bakal menjadi pertimbangan AS untuk memutuskan keberlanjutan nasib Indonesia apakah tetap menerima fasilitas GSP atau tidak.

Selama ini AS memberikan keringanan bea masuk untuk 3.547 pos tarif komoditas Indonesia melalui skema GSP. Program ini telah berlangsung sejak 1976. Pada 1980-an, AS pernah melakukan evaluasi dengan mengangkat permasalahan buruh dan berbagai tantangan terkait HAKI. Program ini juga sempat dihentikan pada 2013 dan baru kembali diberlakukan pada Juni 2015. 

(Baca juga: Tawaran Indonesia dalam Negosiasi Insentif Bea Masuk AS Tak Imbang)

April lalu, negara yang sedang perang dagang dengan Tiongkok ini mengumumkan peninjauan ulang pemberian fasilitas tersebut kepada sejumlah negara, salah satunya Indonesia. Evaluasi dilakukan sebagai upaya proteksi yang dilatari defisit neraca dagang AS dengan sejumlah negara mitra dagang. Sebelumnya, Pemerintahan Trump juga melakukan evaluasi terhadap 15 negara.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement