• Indonesia mulai mengurangi konsumsi batu bara untuk sektor kelistrikan pada 2025.
  • Selama ini produksi batu bara Indonesia lebih banyak diekspor, terutama ke Tiongkok
  • Untuk mempertahankan bisnis batu bara, para kontraktor mulai melakukan hilirisasi, di antaranya membangun pabrik DME sebagai pengganti LPG dan pabrik metanol.

Masa depan industri batu bara nasional akan terancam. Sejumlah negara termasuk Indonesia berencana mengurangi penggunaan komoditas tersebut demi target pencapaian nol emisi karbon. Kontraktor batu bara nasional pun harus putar otak untuk mengantisipasi hal ini.

Kelompok tujuh negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia atau G7 telah sepakat menghentikan pendanaan internasional untuk proyek energi batu bara, pada akhir tahun ini. Prancis berencana menghentikan listrik batu bara sepenuhnya pada 2022, sementara Italia dan Jerman menargetkan hal yang sama, masing-masing pada 2025 dan 2038.

Sementara Tiongkok yang selama ini menjadi pasar batu bara terbesar di dunia juga berencana mengurangi penggunaan komoditas tersebut mulai 2025. Sebanyak 49% impor batu bara Tiongkok berasal dari Indonesia.

Selama ini produksi batu bara Tanah Air memang lebih banyak diekspor, porsinya bisa mencapai 75%. Pemerintah hanya menetapkan alokasi khusus untuk kebutuhan batu bara dalam negeri (domestic market obligation/DMO) sebesar 25% dari produksi nasional. Dari total DMO tersebut, serapan di sektor kelistrikan mencapai 80%, sisanya 20% lagi untuk kebutuhan industri lain.

Dengan pengurangan konsumsi dunia, distribusi batu bara nasional akan mengandalkan pasar dalam negeri. Masalahnya, Indonesia juga melakukan hal yang sama. Pemerintah berencana menyetop pembangunan pembangkit batu bara mulai 2025. PLN pun akan mengganti pembangkit batu bara yang selesai kontraknya dengan pembangkit berbasis energi baru dan terbarukan.

"Dalam peta jalan (roadmap) PLN, tahun 2060 kami sudah carbon neutral," kata Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Syahril kepada Katadata.co.id, Senin (31/5).

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan kontraktor batu bara memang sudah menyadari industrinya tidak akan bertahan lama. Tak hanya akibat kebijakan negara terkait lingkungan, suatu saat sumber energi batu bara yang tak dapat diperbaharui ini juga akan habis.

Saat ini pelaku usaha tambang batu bara masih menanti arah Kebijakan Energi Nasional yang sedang disusun pemerintah. Terutama setelah pernyataan larangan pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru setelah 2025.

Para kontraktor batu bara juga belum mengetahui bagaimana peta jalan (roadmap) pemerintah dalam mengejar target net zero emissions nasional. Makanya, mereka juga belum dapat memperkirakan nasib permintaan batu bara dalam negeri setelah 2025.

"Kami tidak bisa menebak-nebak. Misalnya di 2050 PLTU batu bara sudah zero, berarti kebutuhan batu bara dalam negeri sudah dapat dihitung kan," kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (2/6).

Tahun ini pemerintah menetapkan DMO sebesar 137,5 juta ton. Dari total DMO tersebut, alokasi untuk sektor kelistrikan mencapai 113 juta ton. Alokasi untuk pembangkit listrik ini lebih besar dari realisasi tahun lalu 105 juta ton.

 

Terkait kebijakan pembatasan konsumsi batu bara untuk pembangkit mulai 2025 hingga 2050, APBI belum bisa memperkirakan berapa besar dampaknya. Pelaku usaha masih perlu menghitung kembali berapa unit PLTU yang akan berkurang tiap tahunnya. Mengingat tidak semua PLTU langsung pensiun secara bersamaan.

"Apakah industri tidak boleh menggunakan batu bara 2045-2050? Kami harus tahu dulu arah kebijakannya," ujarnya.

Mengacu pada target yang tercantum pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) saat ini, produksi batu bara akan dipertahankan pada 400 juta ton per tahun hingga 2045. Dengan pernyataan pemerintah untuk menyetop izin PLTU baru mulai 2025 dan PLN yang akan menghentikan operasional pembangkit batu bara tersebut, apakah nantinya akan merevisi RUEN sebelumnya, atau batu bara tetap digunakan dengan melakukan hilirisasi.

"Apakah target 400 juta kalau tidak ada PLTU tinggal dipakai DME atau methanol, atau seperti apa?" ujarnya.

Tahun ini pemerintah malah menambah target produksi batu bara. April lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengeluarkan Keputusan No.66.K/HK.02/MEM.B/2021 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri ESDM No.255.K/30/MEM/2020 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri Tahun 2021. Dalam Kepmen ini, disebutkan target produksi batu bara tahun ini 625 juta ton. Angka ini lebih tinggi 75 juta ton dari target awal 550 juta ton.

Estimasi Produksi Batu Bara
Estimasi Produksi Batu Bara (APBI)

Yang pasti, kata Hendra, permintaan batu bara baik domestik maupun ekspor masih akan cukup untuk satu sampai dua dekade ke depan. Mengingat negara seperti Tiongkok dan India mengurangi PLTU batu baranya secara bertahap.

PLTU yang dibangun hingga 2024 akan mulai beroperasi di atas tahun 2025. Artinya, kebutuhan batu bara masih akan bertambah dari pembangkit baru yang dibangun hingga 2024. Konsumsi baru bara untuk sektor listrik kemungkinan akan melandai setelah kebijakan penghentian izin PLTU baru pada 2025.

Menurut General Manager Legal & External Affairs PT Arutmin Indonesia Ezra Sibarani, kebijakan tersebut akan berefek pada proyek baru dalam kurun waktu lima hingga 10 tahun ke depan. Karena pembangunan pembangkit batu bara membutuhkan waktu yang tidak sebentar, sejak dari tender hingga mulai beroperasi (Commercial Operation Date/ COD).

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement