Keteguhan Pelaku Usaha Batik kala Dihantam Pandemi

Para pelaku usaha batik tak hanya teguh mempertahankan ciri khas motif batiknya. Mereka juga teguh dalam menghadapi guncangan dalam bisnisnya akibat pandemi Covid-19.
Shabrina Paramacitra
29 September 2022, 12:01
Para pelaku usaha batik tak hanya teguh mempertahankan ciri khas motif batiknya. Mereka juga teguh dalam menghadapi guncangan dalam bisnisnya akibat pandemi Covid-19.
Katadata
Maharani Setyawan (kanan), Sherlita Ayu (kiri)

Motif batik lurik Prasojo yang khas tetap dipertahankan oleh pemiliknya, Maharani Setyawan. Lurik adalah motif wastra khas Solo, Jawa Tengah, yang paling sederhana dan mudah dibuat. Namun, demi menonjolkan ciri khas pada kain lurik, Rani -sapaan karib Maharani- membubuhkan berbagai motif batik di atas lurik tersebut.

Batik Prasojo diproduksi dengan menggunakan mesin tenun serta alat-alat yang memproduksi warna dan motif batik yang variatif. Untuk proses pewarnaan benang misalnya, batik Prasojo harus melalui proses cucuk yang menyisir sekitar 2.700 helai benang.

Dari proses tersebut, Rani yang sudah 15 tahun melakoni usaha batik Prasojo pun membuat kain dan pakaian ready to wear yang unik. “Karena, orang pasti bosan kalau lihat motif garis-garis saja pada lurik. Jadi, aku kasih proses membatik di atas kain lurik biar customer tidak bosan,” tuturnya.

Dengan keunikan pada motifnya, Batik Prasojo tak hanya berhasil menggaet banyak pelanggan. Rani pun sempat memamerkan batiknya pada London Fashion Week tahun 2019. Sebelumnya, produk Batik Prasojo juga pernah melintas di panggung Ottawa Fashion Show tahun 2018.

Setali tiga uang, Sherlita Ayu pun menonjolkan ciri khas batik miliknya. Batik cap produksi usaha menengah yang dipimpin Sherlita sejatinya sudah dimulai oleh ayahnya sejak era 1970-an. Kala itu, belum banyak eksplorasi yang dilakukan oleh sang ayah.

Sebagai generasi ke-2 penerus usaha, Sherlita kini berusaha menawarkan sesuatu yang berbeda kepada pelanggan. Warna pada batik Sherlita lebih beragam dan cerah.

Batik cap Sherlita Ayu diproduksi dengan proses yang berlapis. Mulai tahap pewarnaan, pengecapan batik dengan malam, hingga penguncian warna dengan menggunakan waterglass (natrium silikat) agar tidak luntur. Proses itu kemudian dilanjut dengan perebusan agar sisa-sisa malam yang telah dicap pada kain meluruh. “Prosesnya banyak dan semuanya handmade, tanpa mesin,” tutur Sherlita.

Saat ini batik Sherlita Ayu lebih banyak memenuhi pasar ekspor, terutama Amerika Serikat dan Jepang. Untuk pasar domestik, Sherlita sudah memproduksi kain untuk dipasarkan di Bali, namun belum menggunakan merek miliknya sendiri.

Ke depan, Sherlita berencana melakukan branding untuk batik-batik produksinya, khususnya untuk produk yang dipasarkan di dalam negeri. Sherlita juga bercita-cita untuk mempunyai outlet khusus sebagai area display batik-batik miliknya. Tentunya, dengan jenama yang ia patenkan sendiri.

Bertahan di Tengah Guncangan
Baik Rani maupun Sherlita, keduanya sempat mengalami kesulitan akibat pandemi Covid-19. Rani misalnya, yang terbiasa mengandalkan penjualan via outlet-nya di Solo, mengalami penurunan omzet. Itu terjadi akibat industri pariwisata yang mandek akibat berbagai pembatasan sosial.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...